Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Selembar Dunia

Rafael Yanuar

5 min read

Suatu sore, saat aku duduk di samping ranjang rumah sakit, dengan tangannya yang gemetar Kakek menyerahkan selembar foto padaku. Di permukaan kertas monokrom yang sudah menguning itu, aku melihat seorang perempuan, duduk dalam naungan sebatang pohon. Perempuan itu tersenyum tenang memandang kamera seraya menangkup sebuah buku dengan dua tangannya.

Suara Kakek getir dikikis kerinduan, ketika memintaku menemui perempuan itu dan menyampaikan salam maafnya. “Kakek ingin menepati janji yang sudah kami buat bertahun-tahun lalu.”

Mendung yang sedari tadi menghias langit, mulai menumpahkan gerimis. Di jendela, burung-burung terbang dengan kepak sayap terburu-buru, suara klakson bersahut-sahutan, deru kendaraan berkejaran. Tetapi, di dekat Kakek, aku seperti terlindung dari hibuk dunia. Segala terasa nisbi di luar. Tak nyata.

“Tapi, bagaimana caraku mewujudkannya?” tanyaku, seraya menangkup tangan hangat Kakek.

“Saat mengunjungi pohon beringin yang ada dalam foto, robeklah lembarannya sejajar dengan mata. Di baliknya, ada dunia yang membeku—tempat dia menunggu. Kakek selalu ingin menjumpai dan melihatnya lagi, tapi menanti waktu yang tepat. Dan tahu-tahu, masa itu sudah lewat tanpa Kakek sadari,” ujarnya, dengan mata berkaca-kaca.

Aku hanya mengangguk dan menganggap kata-katanya dongeng belaka.

Sepanjang hidup, Kakek kerap menyampaikan dongeng yang ditimba dari sumur inspirasi yang tak kunjung habis airnya. Dan aku, sekalipun sudah beranjak dewasa, masih senang mendengarnya. Suatu peristiwa yang harusnya biasa saja, mampu diolahnya menjadi dongeng yang menghangatkan hati.

Setelah mengatakannya, Kakek terlelap dan hanya sesekali terjaga. Aku masih duduk di sampingnya, mengambil tempat di sudut ruangan, membaca buku. Karena tidak mampu berkonsenterasi, aku menutupnya lagi dan memandang jendela. Seraya menyentuh kaca yang berembun dengan ujung jari, aku melukis matahari, bunga, dan taman yang berkilau hangat, menciptakan cerah dari dunia yang kini ditumbuhi hujan kelabu. Ibu datang bakda Magrib, membangunkanku yang lelap di sofa. Leherku ngilu, mungkin karena salah tidur. Aku pulang untuk mengambil beberapa buku, kebetulan jarak rumah tidak begitu jauh, hanya perlu sekali naik angkot.

Beberapa hari setelahnya, Kakek meninggal dalam tidurnya. Kata Ibu, tanpa rasa sakit. Aku tak ada di sisinya.

Seminggu setelah kakek disemayamkan, aku teringat pesannya, lalu mencari selembar potret yang diwariskannya padaku. Ternyata, aku tahu di mana lokasinya. Sepanjang masa kanak-kanak, saat libur panjang, aku kerap menginap di sana dan bermain bersama anak-anak setempat. Kami sering berkemah di kaki gunung, yang jaraknya tidak begitu jauh, lalu memancing kunang-kunang dengan ilalang.

Bagaimana mungkin aku melupakannya—rumah kakek di desa?

Pohon beringin itu ada di halaman. Di antara semak asoka dan mawar. Pohon ketapang kencana mengapitnya di kiri dan kanan. Aku pernah memendam kucingku yang meninggal dalam naungan rimbun daunnya. Kelak, dari kubur itu, tumbuh bunga violet yang benangnya menjalar begitu panjang. Ketika aku menyampaikannya kepada Kakek, dia langsung melihatnya. Kakek selalu mengagumi kerja alam yang ajaib dan tak terduga.

Karena sudah tua dan hidup sebatang kara, Ayah dan Ibu mengajak Kakek tinggal bersama kami. Tentu aku sangat gembira, begitupun Kakek. Disediakanlah ruang di lantai bawah, di dekat kamar mandi. Butuh waktu lama untuk memindahkan buku-buku dan koleksi piringan hitam yang sudah dimilikinya sejak usia remaja.

Hari masih subuh ketika aku meminta izin kepada Ibu untuk menghabiskan akhir pekan di desa. Ibu tentu saja kaget. Aku yang biasanya lebih betah di rumah, bahkan jalan-jalan pun enggan, tiba-tiba ingin pergi sendiri.

“Kenapa? sendirian?”

Aku menjelaskan semuanya dan ibu mengerti. Tanpa berkata lagi, dia beranjak, lalu menghilang di balik pintu.

Dia kembali dengan membawa sebuah kunci dan bekal.

“Sebenarnya ada Bik Imah yang menjaga rumah Kakek, tapi buat jaga-jaga, bawa saja kunci ini.”

Setelah menaruh kunci itu dalam dompet, aku mengecup punggung tangannya. Dia tersenyum seraya mengacak-acak poniku yang sudah kusisir rapi.

“Hati-hati di jalan….”

Jika ditempuh dengan bus, butuh waktu empat jam untuk tiba di desa. Aku memilih lelap di sepanjang perjalanan, membiarkan kantuk membuai seiring laju roda. Pemandangan di balik kaca, selama berhektar-hektar, hanya menyajikan hamparan sawah yang menghijau sejauh mata memandang. Suara pendingin yang statis dan laju bus yang stabil, membuat mataku tak kuasa menahan kantuk.

Aku membuka mata saat musisi jalanan menyanyikan lagu yang aku tak tahu judulnya, tapi terasa akrab di telinga. Mungkin aku mendengarnya sebelum mengenal bahasa. Aku menyibak tirai, lalu memandang jalanan yang terbentang di jendela. Ternyata tujuanku sudah dekat. Langit berawan, tapi sepertinya tidak membawa hujan.

Setelah turun di stasiun, aku memanggil becak yang berhenti di persimpangan. Saat melewati jalan yang belum diaspal, aku duduk seraya memandang panorama sekitar. Desa ini tak pernah berubah, masih sepi seperti dulu. Udaranya yang segar membuatku memejamkan mata dan menghirupnya puas-puas.

Tak butuh waktu lama, aku pun sampai. Bik Imah, asisten rumah tangga yang sudah merawat Kakek dan Nenek hampir sepanjang hidupnya, menyambutku. Dia tinggal di samping rumah Kakek bersama suaminya yang petani.

Dengan cekatan, dia segera mempersilakanku masuk. Tapi aku hanya tersenyum dan berkata bahwa aku ingin jalan-jalan sendiri. Bik Imah mengerti dan meninggalkanku.

Sesampainya di depan pohon beringin, sebenarnya aku enggan menyobek potret peninggalan Kakek karena tidak terlalu memercayai ucapannya. Namun, aku melakukannya juga. Bagaimanapun aku harus menghormati permintaan terakhirnya.

Setelah menorehnya perlahan, melalui retakan foto, aku melihat dunia yang berbeda, benar-benar berbeda, seolah tak tersentuh waktu. Aku menemukan dia—perempuan yang selama ini Kakek rindu itu. Dia duduk dalam naungan kanopi dedaunan. Saat matanya memandangku, aku tertegun. Aku mengenalnya!

“Nenek?”

Dia tersenyum, “Nenek? Jangan-jangan kamu cucuku?” ujarnya, heran. “Di duniamu, sekarang sudah tahun berapa?”

Aku menyebutkan tahun, dan dia terkejut karena sudah lima puluh tahun berlalu semenjak Kakek memotretnya. Dia bertanya kepadaku, bagaimana aku menjalani hari-hari? Bahagiakah aku? Apakah ada sesuatu yang dapat dia bantu? Tentu saja aku menjawab bahwa aku baik-baik saja. Dan Nenek tersenyum puas.

“Lalu, di mana dia, si pendongeng tua itu?”

Ada hening di antara kami, tapi aku mengatakannya jua, dengan pelan, nyaris tidak terdengar.

Sejenak, dia melamun, lalu mengajakku duduk dalam naungan daun-daun. “Aku yakin, di duniamu aku lebih dulu tiada. Entah kenapa aku mengetahuinya, begitupun dia. Jadi, bolehlah kalau aku menganggap dia sudah menepati janjinya. Kami pasti sudah bertemu dalam potret-potret yang lain. Dan kamu benar-benar cantik, persis ibumu.”

Aku merona malu, “benarkah?”

Nenek mengangguk. “Bahkan suaranya pun mirip. Bagaimana kabar dia, gadisku itu?”

Aku tersenyum. “Dia juga baik-baik saja, Nek. Di usianya yang cukup muda, Ibu menikahi lelaki luar biasa yang kelak menjadi ayahku.”

Nenek tertawa.

“Setiap hari, Kakek selalu menyempatkan diri memandang foto Nenek. Katanya, dia tidak bisa menemukan perempuan secantik Nenek. Dia menghabiskan sisa hidup dengan merindukan Nenek.”

“Aku tahu,” katanya, tanpa mampu menyembunyikan senyum bangga. “Dia selalu mengatakannya. Setiap hari. Setiap kami memulai pagi dan menutup malam.”

Nenek bercerita padaku, Kakek punya kemampuan aneh untuk menyalin dunia ke dalam foto. “Kamu hanya perlu menorehnya sejajar dengan mata untuk dapat masuk ke dalam foto yang dibuatnya. Dia selalu menyembunyikannya dari siapa pun, tapi karena kamu datang menemuiku, sepertinya tidak masalah kalau aku menceritakannya kepadamu.”

Tanpa sempat membincangkan banyak hal, cahaya putih melumat penglihatanku. Mungkin hanya lima belas menit kami bertemu. Begitu singkat, tetapi cukup untuk mengurai kenangan. Sekilas, aku melihat senyumnya yang sepi, sebelum waktu menarikku kembali ke masa depan. Seketika, dunia berputar kembali seperti sedia kala. Aku merasakan detik berdetak gugup dalam jantungku. Aku menyatukan lagi potret kelabu di tangan dan merasa ingin menangis.

Di hari yang sama, aku memandang jendela dalam bus. Aku memutuskan terjaga di sepanjang perjalanan—merenungi sawah-sawah yang menguning di depan kaca dan langit yang berat, sarat hujan. Aku melamunkan Kakek. Dia punya banyak foto Nenek dalam lemari, dan selalu memandangnya berjam-jam. Tapi kenapa tidak ada satu pun yang ditorehnya? Bukankah begitu mudah baginya untuk menemui kekasihnya lagi? Kenapa menahan rindunya? Apa mungkin Kakek tidak benar-benar yakin Nenek yang hidup dalam foto sama dengan perempuan yang selama ini dikenalnya. Lagipula, Nenek sudah wafat sepuluh tahun lalu. Lagipula, bagaimanapun, Kakek masih dapat menemuinya dalam ingatannya sendiri. Bukankah kenangan adalah suatu jenis perjumpaan juga?

Sesampainya di rumah, aku melihat Ibu sudah menata meja dan menyiapkan makan malam. Ayah belum pulang, seperti biasa. Aku membantu Ibu membasuh peralatan dapur yang belum dicuci, tapi dia menyentuh bahuku dan menyuruhku mandi. Istirahatlah dulu, pasti capek, ujarnya. Aku mengiyakan.

Seusai berbasuh, aku memanjat undakan. Kamarku terletak di lantai dua—dan menjadi satu-satunya kamar di lantai atas. Aku sangat menyukainya. Ada jendela besar di samping kasur. Saat tengah malam hampir menjelang, aku kerap membiarkan tirai terbuka lebar, lalu memandang panorama di baliknya. Ketika jalan yang sepanjang siang penuh kendaraan, menjadi sepi seolah berada di dunia lain begitu malam memekat, perasaan takjub dan sepi menyelimutiku. Di luar, hujan masih malu-malu bertandang, laron-laron mengerubungi lampu jalan, dan rembulan memancarkan cahayanya yang manai.

Aku mengambil buku harian di lemari, lalu menyelipkan foto Nenek di dalamnya. Aku sudah merekatkan lagi torehan di foto dengan lem kertas, dan hasilnya sangat memuaskan, hampir tidak terlihat bekas sobekannya. Tentu, sebagai penggemar buku bekas, keahlianku memperbaiki kertas tak perlu diragukan.

Aku membaca-baca beberapa lembar buku harianku seraya berbaring di kasur untuk menemui Kakek yang masih segar dan sehat di masa yang belum lama. Perasaan haru menyelimuti hatiku. Di seberang sana, Kakek lagi apa, ya? Apa dia sudah bertemu Nenek?

“Aku pulang,” sebuah suara yang begitu akrab mengejutkanku. Suara Ayah. Aku buru-buru turun untuk menemuinya. Dia tampak lelah, tapi langsung tersenyum saat melihatku. Ayah melepas sepatu, lalu mengajak kami bersantap malam.

“Ayah, semasa muda, Nenek cantik sekali, ya?” kataku tiba-tiba.

Ayah menatapku heran.

“Saat kami bertemu di rumah sakit, Kakek memberiku foto Nenek. Dia benar-benar mencintainya. Kakek—Kakek pasti ingin bertemu dengannya lagi.” Aku mengusap air mata yang menetes di pipi.

Ayah mengelus rambutku, “Tidak diragukan lagi. Ayah belajar merayu ibumu dari Kakek.”

Kami semua tertawa.

“Satu-satunya yang tidak bisa dilakukannya hanya melupakan,” lanjut Ibu. “Tak sehari pun dilewatkannya tanpa memandang foto Nenek.”

“Iya,” kusantap makananku. Rasanya lebih asin dari biasanya.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email