Seismograf dan Puisi-Puisi Lainnya

Adib Arkan

2 min read

Seismograf

adzan menara pencakar

seismograf memintal hitam

hujan gelombang-gelombang 

israfil mengetuk gerbang

meminjam conga untuk ditabuh

dan bukan terompet

kau salah

semua lain di hadapanku

melucuti kesegalanyaan

magneto mengoyak

dengan gestur kibas tangan

memutar ave maria

basah pipi di seberang

menaiki tangga heli

meninggalkan kepalsuan

selamat malam dunia

tunai tektonik terbelah

conga bertalu-talu

aku duduk kala terbang

senyap dalam jerat waktu

ular tangga tunggu dadu

seismograf meledak

pintal hitam berhamburan

gelombang berserakan

bergesekan wajah lautan

nyala bohlam di kepala

pandang tercuri tangkap 

rentet mati di langit

dan karam pada daratan

tuhan hadir dalam kata berjatuhan.

Abrakadabra 

      abrakadabra

             baring di kasur baja

          kalah, tapi sementara

   menatap langit malam

     adakah burung di langit luas bertabrakan

bodoh benar jika iya

    (cari ah di youtube)

                namun lupa lalu nyenyak aku

       mimpi jadi burung

                        dan ketabrak kamu

                        dan kenapa mesti kamu

                        dan kenapa mesti tabrakan

    aku gak tahu

               biarlah kalah 

                       sementara boleh

                            selamanya gak papa

        dan jawaban dari pertanyaan-

        -pertanyaan tentang burung

        yang tabrakan di angkasa

  
                                        sebaiknya aku lupakan

                              kurasa gak semua pertanyaan

                                                mesti ada jawaban
          

                  lagian siapa sih kita

                  hingga berhak untuk

                  mem-pecah-kan 

  
                            biarin ajalah tanda tanya 

                            serta kekalahan-kekalahan

                 tumbuh bersama

                              kita-kita sekalian

                              ntar juga ada waktu 

        keping puzzle terakhir datang bersama

              kemenangan perdana dalam kepala

                   konstan bertanya bawa kita kesana

                   pernah kalah menambah manisnya              

         esensi terlahir sekaligus ter-pecah-kan                         

         pelangi tumpah di ujung jalan: abrakadabra  

                                                   (ngabrakabadaga?) 

Semua Bara Di Langit

memungut keji-keji yang kau tinggalkan;

memungut halangan, bayangan,

kesenjangan, kemunduran, nirpangan, 

angan-angan setan menyamar malaikat

yang berani bohong tanpa beban, 

yang kutemui di jalan-jalan, 

ke dalam satuan semantik peledak

lalu menyulingnya hati-hati seharian. 

menuang ekstraksi mata-pikir, lihat-amati, 

bara yang merah beku ke dalam botol kaca

bersama spiritus, tali sumbu, macis biru, 

hingga esok kulumerkan bersama matahari

kemudian kutembak lurus ke jantung langit. 

hujan bara tipis-tipis, kontras biru pagi, 

menyebar di jakarta dalam potongan kecil, 

hinggap di tembok kota bak bunga wiji, 

jadi oret-oret graffiti yang tenang, 

menusuk mata, menyala-nyala, mengerling, 

mengejarmu walau ia paralisis di dinding. 

dan sejauh, sekilat apa kau berlari, 

sia-sia tiap langkah terambil, 

sebab semua bara di langit—luka iris, 

harta raib, sensor seni, upeti-upeti, 

keruk bumi, ganas polusi, abai pandemi 

karya bidan dua tangan yang coba kau cuci

akan mengekormu dengan gigih

hingga mereka tiba pada kerah

dan menarik hantammu sampai titik;

engkau yang terlalu kecut tuk akui

tumpuk lalai di rentang kemarin hari. 

Hidup Kali Kedua

kau nyanyikan hidup di telinga

aku mendengarnya seksama

pohon anti-depresan tumbuh

di telapak yang baru kau genggam

aku ternganga, sandar di bawahnya

tunggu butir jatuh untuk kemudian

serakah kusesap sendirian

di bawah lidah perlahan-lahan

hingga kantuk mekar dan tumbuh

hingga kupejam dan tidur dan—

aku bermimpi lompat terjun

bundar sempurna gaya batu

ke riak danau hitam matamu

pada kubik air nol gravitasi

dalam-dalam terbenam kupasrahi

setengah kepala di dasar lumpur

jika mana tim SAR mencariku

kuamputasi tangan kiri dan

bungkus kirim ke permukaan

agar mereka simpulkan ku hancur

dikoyak buaya bak rusa lemah daya

lalu mereka menyerah dan pulang dan—

hening riak. aku menetap di dasar

agar dalam-dalam seisiku nyala

oleh hidup kali kedua

yang kau tiupkan di telinga

aku menyelaminya tanpa lelah

walau tanggal sebelah tangan dan

apa-apa yang hari ini terlahirkan

kan selamanya erat kugenggam. 

Manggarai

dalam gang-gang sempit manggarai aku mencarimu. sepatu menginjak keping botol. di jalan, api disulut gangster kampung melayu yang berjalan kaki menuju jembatan merah, dalam semangat tempur tentara islam di bawah al-fatih kala menyerbu konstantinopel pasca tiba dari golden horn yang membelah hutan lalu tembus ke jantung kota. 

uang masuk lewat sela-sela, jatuh ke rumah bandar lalu ke tadah tangan-tangan. aku menengok sekilas sambil membolak-balik tiang, berharap temukanmu yang kuharap berhenti dan diam. remaja bertempur, satu kubu bagi dua di jalan minangkabau, demi kecoh polisi kala narkoba padat berjejal datang dalam bagasi avanza dan kau masih hilang. 

tapak berlanjut bongkar labirin kampung kota. anak tiga tahun, di atas sepeda roda tiga, diberhentikan abang-abang, diperintahkan hisap ganja dan mereka manut. aku melihat lari bayangmu berkelebat. pandangku balik ke anak, bagaimana jalin takdir kala ia dewasa? kuharap ia mengorganisir kampung ini di masa depan hingga punah segala kehancuran. 

terus kukejar lari bayangmu melewati tebet, saharjo hingga menteng dalam. tatap akamsi gang lekat ke tiap langkahku. sajam siaga pada tangan mereka. kini kulihat jelas punggungmu dan terus kukejar. sekilas kudengar susul tapak dan kala kutengok belakang, dua orang telah lari dengan pedang. aku ingat, saat itu kau berhenti di depanku. berbalik dan tersenyum. suatu dalam matamu hantar dingin lalu aku beku. setelahnya, kurasakan bidang tajam membelah kepalaku. dengan kilat aku rebah tersungkur ke kolam darah. pada detik akhir sadar, aku menengok ke depan dan menangkap  kau tertawa, menjauh lalu hilang di ujung gang.

Semua puisi ditulis oleh Adib Arkan sepanjang 2021.
Instagram: @dibarrka
    

Adib Arkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email