Seismograf
adzan menara pencakar
seismograf memintal hitam
hujan gelombang-gelombang
israfil mengetuk gerbang
meminjam conga untuk ditabuh
dan bukan terompet
kau salah
semua lain di hadapanku
melucuti kesegalanyaan
magneto mengoyak
dengan gestur kibas tangan
memutar ave maria
basah pipi di seberang
menaiki tangga heli
meninggalkan kepalsuan
selamat malam dunia
tunai tektonik terbelah
conga bertalu-talu
aku duduk kala terbang
senyap dalam jerat waktu
ular tangga tunggu dadu
seismograf meledak
pintal hitam berhamburan
gelombang berserakan
bergesekan wajah lautan
nyala bohlam di kepala
pandang tercuri tangkap
rentet mati di langit
dan karam pada daratan
tuhan hadir dalam kata berjatuhan.
Abrakadabra
abrakadabra
baring di kasur baja
kalah, tapi sementara
menatap langit malam
adakah burung di langit luas bertabrakan
bodoh benar jika iya
(cari ah di youtube)
namun lupa lalu nyenyak aku
mimpi jadi burung
dan ketabrak kamu
dan kenapa mesti kamu
dan kenapa mesti tabrakan
aku gak tahu
biarlah kalah
sementara boleh
selamanya gak papa
dan jawaban dari pertanyaan-
-pertanyaan tentang burung
yang tabrakan di angkasa
sebaiknya aku lupakan
kurasa gak semua pertanyaan
mesti ada jawaban
lagian siapa sih kita
hingga berhak untuk
mem-pecah-kan
biarin ajalah tanda tanya
serta kekalahan-kekalahan
tumbuh bersama
kita-kita sekalian
ntar juga ada waktu
keping puzzle terakhir datang bersama
kemenangan perdana dalam kepala
konstan bertanya bawa kita kesana
pernah kalah menambah manisnya
esensi terlahir sekaligus ter-pecah-kan
pelangi tumpah di ujung jalan: abrakadabra
(ngabrakabadaga?)
Semua Bara Di Langit
memungut keji-keji yang kau tinggalkan;
memungut halangan, bayangan,
kesenjangan, kemunduran, nirpangan,
angan-angan setan menyamar malaikat
yang berani bohong tanpa beban,
yang kutemui di jalan-jalan,
ke dalam satuan semantik peledak
lalu menyulingnya hati-hati seharian.
menuang ekstraksi mata-pikir, lihat-amati,
bara yang merah beku ke dalam botol kaca
bersama spiritus, tali sumbu, macis biru,
hingga esok kulumerkan bersama matahari
kemudian kutembak lurus ke jantung langit.
hujan bara tipis-tipis, kontras biru pagi,
menyebar di jakarta dalam potongan kecil,
hinggap di tembok kota bak bunga wiji,
jadi oret-oret graffiti yang tenang,
menusuk mata, menyala-nyala, mengerling,
mengejarmu walau ia paralisis di dinding.
dan sejauh, sekilat apa kau berlari,
sia-sia tiap langkah terambil,
sebab semua bara di langit—luka iris,
harta raib, sensor seni, upeti-upeti,
keruk bumi, ganas polusi, abai pandemi
karya bidan dua tangan yang coba kau cuci
akan mengekormu dengan gigih
hingga mereka tiba pada kerah
dan menarik hantammu sampai titik;
engkau yang terlalu kecut tuk akui
tumpuk lalai di rentang kemarin hari.
Hidup Kali Kedua
kau nyanyikan hidup di telinga
aku mendengarnya seksama
pohon anti-depresan tumbuh
di telapak yang baru kau genggam
aku ternganga, sandar di bawahnya
tunggu butir jatuh untuk kemudian
serakah kusesap sendirian
di bawah lidah perlahan-lahan
hingga kantuk mekar dan tumbuh
hingga kupejam dan tidur dan—
aku bermimpi lompat terjun
bundar sempurna gaya batu
ke riak danau hitam matamu
pada kubik air nol gravitasi
dalam-dalam terbenam kupasrahi
setengah kepala di dasar lumpur
jika mana tim SAR mencariku
kuamputasi tangan kiri dan
bungkus kirim ke permukaan
agar mereka simpulkan ku hancur
dikoyak buaya bak rusa lemah daya
lalu mereka menyerah dan pulang dan—
hening riak. aku menetap di dasar
agar dalam-dalam seisiku nyala
oleh hidup kali kedua
yang kau tiupkan di telinga
aku menyelaminya tanpa lelah
walau tanggal sebelah tangan dan
apa-apa yang hari ini terlahirkan
kan selamanya erat kugenggam.
Manggarai
dalam gang-gang sempit manggarai aku mencarimu. sepatu menginjak keping botol. di jalan, api disulut gangster kampung melayu yang berjalan kaki menuju jembatan merah, dalam semangat tempur tentara islam di bawah al-fatih kala menyerbu konstantinopel pasca tiba dari golden horn yang membelah hutan lalu tembus ke jantung kota.
uang masuk lewat sela-sela, jatuh ke rumah bandar lalu ke tadah tangan-tangan. aku menengok sekilas sambil membolak-balik tiang, berharap temukanmu yang kuharap berhenti dan diam. remaja bertempur, satu kubu bagi dua di jalan minangkabau, demi kecoh polisi kala narkoba padat berjejal datang dalam bagasi avanza dan kau masih hilang.
tapak berlanjut bongkar labirin kampung kota. anak tiga tahun, di atas sepeda roda tiga, diberhentikan abang-abang, diperintahkan hisap ganja dan mereka manut. aku melihat lari bayangmu berkelebat. pandangku balik ke anak, bagaimana jalin takdir kala ia dewasa? kuharap ia mengorganisir kampung ini di masa depan hingga punah segala kehancuran.
terus kukejar lari bayangmu melewati tebet, saharjo hingga menteng dalam. tatap akamsi gang lekat ke tiap langkahku. sajam siaga pada tangan mereka. kini kulihat jelas punggungmu dan terus kukejar. sekilas kudengar susul tapak dan kala kutengok belakang, dua orang telah lari dengan pedang. aku ingat, saat itu kau berhenti di depanku. berbalik dan tersenyum. suatu dalam matamu hantar dingin lalu aku beku. setelahnya, kurasakan bidang tajam membelah kepalaku. dengan kilat aku rebah tersungkur ke kolam darah. pada detik akhir sadar, aku menengok ke depan dan menangkap kau tertawa, menjauh lalu hilang di ujung gang.
Semua puisi ditulis oleh Adib Arkan sepanjang 2021.
Instagram: @dibarrka