Sabtu kemarin, waktu menjelang malam, sesudah lenyapnya ufuk merah di Barat, kita mengobrol berdua di teras. Ditemani semilir angin malam dan dua anak kucing saling berkejaran di antara pohon mangga dan jambu air. Kita membahas perihal polisi yang rerata menikah dengan bidan. Kamu protes karena merasa itu tidak adil bagi mereka yang bukan anggota kepolisian dan ingin menikahi bidan. Dan sebaliknya. Kemudian kamu berandai, suatu hari nanti kamu marah besar dan beraksi di depan Kantor Urusan Agama. Lalu, ketua Kantor Urusan Agama dan jajarannya kebingungan.
Diam-diam aku membayangkan ekspresi Kepala KUA yang kebingungan. Itu pasti sangat lucu, walaupun ada yang lebih lucu, yaitu mimik wajahmu saat bercerita. Aku selalu suka ketika kamu bercerita. Apa saja yang keluar dari bibirmu yang merah keunguan selalu membuatku candu.
Ketika sedang hening, rumah di depan tempat kita duduk mengeluarkan suara tangis seorang ibu. Lima tahun yang lalu, rumah itu ditempati oleh ibu paruh baya dan anak laki-lakinya. Kalau tidak salah, anaknya berusia dua puluh tahun dan sedang menjalin hubungan dengan wanita kampung sebelah. Aku tahu cerita itu sebab aku tetangganya. Belakangan ini, ibu penghuni rumah itu sering sendirian di rumahnya.
“Siapa namanya?”
“Siapa yang kamu maksud?” Katamu, sebelum kamu menunjuk ke pintu rumah di depan kita.
“Oh ya, aku ingat. Ibu Kemuning.”
Kemudian, kita memilih menyimak tangisan Bu Kemuning yang semakin keras dibanding melanjutkan ke topik pembicaraan selanjutnya. Sayup-sayup, tangis Bu Kemuning reda. Dan hening kembali tercipta. Kamu mengembuskan napas berat, seolah-olah paru-parumu tersumbat batu berukuran besar.
“Kenapa?” Tanyaku.
Kamu menggelengkan kepala. Lalu, kamu menatap langit malam yang kosong. Barangkali bulan dan bintang sedang libur menghiasi langit.
“Anak Bu Kemuning totalnya ada berapa?” Tanyamu.
“Kata Ibu, kalau semuanya masih hidup, seharusnya sekarang Bu Kemuning punya sepuluh anak.”
Soal ini Ibu pernah bercerita kepadaku. Kapan tepatnya, aku lupa.
Tangan kanan kamu terulur ke atas. Menunjuk seruang langit yang kosong. Kamu memintaku untuk mengamatinya. Aku menurut saja. Tak ada yang istimewa dengan langit Sabtu malam.
“Kenapa?” Tanyaku.
Kamu menurunkan tangan kanan dan melipatnya di lutut. “Langitnya kosong.”
“Bukan itu.” Mata kita bertemu. Kulihat air mukamu muram, padahal tadi biasa saja. “Kenapa kamu memintaku melihat langit yang kosong?” kataku terus terang.
“Seharusnya, semakin malam langit semakin ramai oleh taburan benda langit. Agaknya malam ini pengecualian. Aku kira libur hanya ada di kamus manusia, rupanya itu berlaku untuk semua.”
Tuan, aku tidak mengerti kamu sedang membicarakan apa. Kita tak pernah seambigu ini dalam berbicara. Segala sesuatu kamu sampaikan dengan terus terang, seterang kenyataan dan cahaya wajahmu yang kuning langsat.
“Tapi, ini bukan tentang langit yang kosong.” Katamu.
“Lalu apa?”
“Tentang masa tua yang tak seramai masa muda. Orang tua boleh iri kepada anak muda yang menghabiskan waktu mudanya dengan bercinta. Akan tetapi, menurutku, yang seharusnya iri adalah kita, yang muda-muda ini.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kita tidak tahu, ketika tua nanti, masih ada yang menemani atau tidak. Ibu Kemuning adalah contoh nyata dari maksud omonganku.”
Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Kita bisa mengatasi kesepian masa tua sedini mungkin. “Caranya, menikahlah di usia muda lalu buat anak sebanyak mungkin supaya kelak ada anak-anak yang menemani masa tua kita.”
Kamu tidak mengatakan tidak setuju, tetapi sebagai pertanda, kepalamu menggeleng ke kanan dan kiri. Katamu, “menikah di usia muda terlalu riskan.”
Lalu, soal membuat anak yang banyak, dengan santai kamu memuntahkan pendapatmu. “Sia-sia, dong, pemerintah membuat program keluarga berencana kalau rakyat berlomba-lomba membuat anak yang banyak demi masa tua yang ramai.”
“Banyak anak tak menjamin masa tua kita menyenangkan,” katamu. “Anak-anak akan selalu tumbuh dan lekas menjalani hidupnya sendiri. Sama seperti orangtuanya, suatu saat ia akan menikah. Kalau sudah menikah, ia harus memprioritaskan keluarganya. Aku tahu sampai kapan pun anak laki-laki tetap jadi milik ibunya. Tapi, tidak mungkin kan seorang laki-laki yang sudah menjadi suami menelantarkan istri dan anaknya.”
“Sedikit atau banyaknya anak yang dihasilkan dari perkawinan, kalau sudah ditakdirkan kesepian, masa tua akan berjalan dengan sepi.” Tutupmu.
“Apa tidak ada cara untuk mengantisipasi masalah itu?”
Kamu diam sebentar. Sepertinya sedang memikirkan jawaban yang tepat untukku. Atau mungkin, kamu sedang ingin istirahat setelah berbicara banyak. “Barangkali dengan mencari pasangan yang mau diajak menua bersama.”
“Kalau pasangan kita lebih dulu dipanggil Tuhan sebelum tua, bagaimana?”
Kamu diam saja memandang langit kosong. Sementara aku mengamati suara tangis dari rumah itu perlahan reda. Entah menangis karena alasan apa, pada akhirnya tangis itu reda juga. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa memahamimu tanpa perlu mendengar jawaban gamblang dari mulutmu yang ungu itu.
***
Editor: Ghufroni An’ars