Kereta
Suara kedatangan kereta itu
Tak seperti lagu
Yang mengiringi peti mati Nairobi
Dadaku yang ringkih
Tak sanggup mengampuni
Kekejaman yang ditawarkan
Gerbong-gerbong penuh penumpang
Di dalamnya, rasa penjara
Lebih dari neraka di ujung senjata Gandia
Dan akan kueja, stasiun demi stasiun
Orang naik dan turun
Namun tak ada yang kukenal
Keasingan ini bukan milik siapa-siapa
(2020)
Sebuah Sajak Cinta di Kereta pada Jam Pulang Kerja
Aku hanya berharap kereta ini segera sampai
Dan menemukanmu
Duduk di ruang tamu, menyambutku
Sambil mengempaskan segala berita politik itu.
Namun, stasiun demi stasiun selalu merampas
Waktu. Berhenti dan mempersilakan malaikat naik
Mencatat orang-orang yang tak menunaikan maghrib
Laki-laki yang tak berjamaah di rumah ibadah
Dan malah berzikir di gerbong-gerbong dengan ponselnya
Berbincang dengan teman-teman perempuannya
Yang perawakannya tampak lebih masuk akal
Dari Tuhan yang tak pernah mereka saksikan
Aku merasa abai, dan menulis sajak cinta ini
Di ponsel buatan Cina, sambil takut-takut dituduh komunis
Menuju Tambak
Di kereta ekonomi
Menuju Tambak
Tuhan cemburu
Pada telepon seluler
Setiap penumpang asik
Memandangi layarnya
Seolah itu dunia
Dalam genggamannya
Jarinya menari
Mengikuti irama berbagai isu
Tak mau kalah
Atau dianggap bodoh
Pada tab browser
Telah dibuka mesin pencari
Ketika orang berkomentar
Bertanya berbagai hal
Kecepatan pencarian hadir
Biar dianggap pintar
Tetapi bila ada yang bertanya
Siapa Novel Baswedan
Mesin pencari itu bahkan
Tidak memberikan jawaban
Di sebuah kereta ekonomi
Menuju Tambak
Setiap penumpang berharap
Mesin pencari itu dapat dibawa
Sampai akhirat
Ketika malaikat bertanya
Siapa tuhanmu
Jari itu akan menari, mencari
Tetapi lupa ia
Telah terikat kafan
(2019)
Rem Kereta
Ia tahu
Kereta itu akan mengerem mendadak
Meski segala pemberhentian pasti sejak mula
Karena itu dilarang makan dan minum di kereta
Akan ada yang tersedak
Setiap laju yang begitu gebu
Tak pernah terasa sempurna
Seperti hidup, seperti masa muda
Tiba-tiba saja ada yang berhenti, terhenti
Dan orang-orang tak sempat merayakan kehilangan
Lalu mengenang jalan-jalan yang ditinggalkan
Gedung-gedung mewah, rumah-rumah kumuh
Sama saja debu
Ia tahu
Ia harus berpegangan
Tetapi semua tangan berebut
Menggapai tiang
Dan yang tak sempat
Mengucap selamat
Pada tangan maut
Yang hangat
Manggarai
Kini kita bosan
berebut ucapan selamat jalan
Kereta tak kunjung mengantarkan
bahasa yang pernah diucap takdir
Sepasang besi yang bersisian
Tempat ia berjalan, melaju
Tak juga pernah dipertemukan