Aku mendengar kabar kematian Teresa dari suaminya sekitar dua minggu lalu. Waktu itu pukul delapan malam dan aku masih dalam keadaan tersiksa (sekaligus menikmati) penyakit muramku yang kebetulan kambuh sejak pagi buta. Aku ingat suami Teresa menyampaikan kabar buruk tersebut seperti seorang narator dalam sebuah film; selagi menelepon ia menceritakan kronik kematian istrinya dengan runut dan tanpa menampakkan secuil pun kesedihan. Paling tidak, begitulah yang tertangkap di telingaku. Namun anehnya, ketika ia menutup telepon, aku sulit melupakan suaranya yang tiba-tiba seperti menautkanku dengan cara kematian Teresa hingga kepalaku dapat membayangkan adegan demi adegan sebelum dan sesudah nyawanya terenggut.
Aku menjerang teh dan memutar musik untuk menenangkan diri, tapi kronik kematian Teresa kian tergambar jelas di kepalaku dan, lama-kelamaan, aku bahkan seolah bisa menyaksikannya sendiri di depan mata. Dengan jelas, bisa kulihat sore itu ketika ia mengendarai sepeda motor menuju toko buku untuk membeli karya terbaruku dan sebuah truk menghantamnya di persimpangan terakhir menuju rumahnya. Sopir truk itu mengaku sedang dalam kondisi ngantuk berat saat, secara tak sengaja, menghantamkan kepala kendaraannya ke arah Teresa yang kemudian naik ke sorga beberapa jam setelah memperoleh perawatan di rumah sakit.
Bagaimanapun Teresa mati sambil membawa satu bagian kecil dari diriku (karyaku) dan itu membuat ketiadaannya seakan-akan memiliki arti tertentu. Semacam tanda yang penting dan harus kupahami. Tapi apakah itu, sulit memikirkannya di tengah kesedihan mendalam yang kualami, yang membuatku menangis hampir sepanjang malam walau sama sekali tak menderaikan air mata.
Aku melayat ke rumah Teresa keesokan harinya dan aku bertemu dengan suaminya yang memang kelihatan begitu tenang sehingga nyaris membuatku kagum sekaligus jengkel. Aku mengenal Teresa sejak SMA, juga mencintainya sejak SMA. Namun, ia menolakku dengan begitu gampang saat pertama kali kuungkapkan perasaan itu seakan-akan aku tidak berarti apa pun baginya dan beberapa tahun kemudian ia justru berlabuh di pelukan seorang lelaki menyebalkan yang bahkan bisa bersikap tenang meski telah kehilangan istri yang sempurna.
Terus terang, aku tidak begitu mengenal lelaki itu. Aku memang telah beberapa kali menyambangi rumah Teresa, tapi sang suami kelihatannya sibuk sekali dan jarang di rumah. Kami cuma beberapa kali ketemu dan itu pun tanpa obrolan yang hangat. Lagi pula, tiap kami bersitatap, baik aku maupun lelaki itu sama-sama saling menjaga jarak dan menebar aura sengit layaknya dua orang musuh bebuyutan.
Hari itu, usai pemakaman, aku menjabat tangannya dan memeluk lelaki itu seolah kami adalah kawan lama yang hampir satu dekade tak bertemu. Pada saat itulah aku bisa menangkap sebuah kesedihan besar di balik sikapnya yang tenang. Namun, aku toh tidak peduli. Aku tetap memendam pemikiran yang picik terhadap lelaki itu. Mungkin karena aku cemburu terhadapnya; sebab ia, bagaimanapun, telah menghabiskan waktu-waktu terbaik bersama Teresa dan bahkan aku membayangkan kemewahan yang ia miliki sewaktu melewatkan detik-detik napas terakhir perempuan itu hingga penghabisan.
Kecemburuanku begitu parah walau di saat yang hampir bersamaan aku lalu berpikir, mengapa lelaki itu merasa perlu menyampaikan kabar kematian istrinya kepadaku secara pribadi seakan aku memiliki tempat istimewa di tengah kehidupannya? Aku dan Teresa memang masih berkawan baik lantaran kami pernah bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja hubunganku dengannya tidak bisa dibilang akrab. Selama ini aku paham betul ia berusaha menjaga jarak denganku dan aku pun melakukan hal yang serupa. Lagi pula, selama sebulan sebelum kematiannya, kami sama sekali tak berkirim kabar. Jadi, berada di mana posisiku dalam kehidupan mereka sampai-sampai suami Teresa merasa penting untuk memberiku kabar secara pribadi, meneleponku persis di malam kematiannya, dan bahkan menceritakan kronik kematian istrinya dengan detail? Aku dan lelaki itu bahkan tidak pernah saling bertukar nomor telepon. Ia pasti mencari kontakku di ponsel Teresa. Tapi kenapa? Apakah Teresa sendiri yang memintanya untuk menghubungiku? Demikianlah aku hanya bisa menebak-nebak, dan menebak-nebak justru semakin memupuk lebih banyak tanda tanya.
Sembari memikirkan semua itu, aku memutuskan pergi ke persimpangan jalan tempat Teresa mengalami kecelakaan. Aku duduk di warung es doger sambil memperhatikan jalan di persimpangan itu. Lampu lalu-lintas bekerja sebagaimana mestinya, truk-truk, mobil, dan sepeda motor tetap berlalu lalang seperti hari-hari biasa. Bekas kecelakaan itu sendiri sudah samar. Hanya terlihat pecahan lampu kendaraan di atas aspal dan noda darah yang mulai memudar.
Ketika malam akhirnya tiba, aku beranjak dari warung es doger, dan pergi ke arah bekas kecelakaan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan waktu itu. Aku hanya ingin mengenang Teresa, menghirup sisa keberadaannya di tempat ia terakhir bersama satu bagian kecil diriku, karyaku, yang mungkin hendak ia baca dengan santai di rumah sambil menanti suaminya pulang kerja.
Aku pun berdiri memandangi sisa bagian jalan yang kuduga sebagai lokasi kecelakaannya itu dan aku tidak bisa mencegah kehadiran masa lalu kami yang mewujud sebagai kenangan serta emosi. Hari-hari saat segalanya serba mungkin dan aku menjalani hidup dengan begitu bahagia karena cintaku kepada Teresa ibarat angin yang terus bergerak mengisi dan melampui apa saja dalam diriku. Lalu kami lulus, melanjutkan kuliah, dan ia jatuh cinta pada lelaki lain dan menikahinya. Aku yang cintanya tak berbalas hanya bisa berusaha agar tak terlalu menjadi orang asing dalam kehidupan Teresa, agar kami masih bisa berhubungan meski sekadar kawan. Tidak harus kawan dekat, yang penting aku tetap punya kesempatan untuk bersamanya walau sebentar saja. Aku tahu obsesi ini tidak sehat, aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak lain adalah perbuatan menyakiti diri sendiri. Tapi aku belum tahu apakah ada cara lain untuk menjalani hidup tanpa mencintai Teresa.
Di persimpangan jalan malam itu, aku menziarahi kenangan tentangnya yang mengendap dalam diriku dan itu membawaku kembali pada masa-masa kritis ketika aku memutuskan untuk mengalihwahanakan kepedihan-kepedihan yang kualami ke dalam bentuk cerita-cerita fiksi. Dan pada suatu hari, entah bagaimana cerita-cerita itu sampai ke tangan Teresa. Sejak itulah ia selalu menanti karyaku ibarat anak kecil menunggu serial kartun favoritnya. Aku tentu senang melihat ia menyukai bagian-bagian lain dari diriku. Namun, apakah segala bentuk perasaanku selama terus mencintainya pun sampai ke dalam jiwanya, aku tidak tahu dan, terus terang, tidak terlalu berani membayangkan itu.
Selagi termenung aku tidak sadar kalau suami Teresa rupanya telah berada di sampingku sejak beberapa menit lalu. Mengapa ia berada di persimpangan bekas kecelakaan istrinya malam itu, hanya dia yang tahu. Aku agak kaget juga sewaktu mendapati sosoknya yang masih berusaha mempertahankan sikap tenang yang lama-lama memuakkan itu. Padahal aku paham betul, hatinya sedang terguncang hebat. Dan malam itu aku bahkan bisa merasakannya semakin jelas sebagaimana aku merasakan udara dingin yang kian menusuk. Anehnya, kali ini ia tidak menebarkan aura sengit sebagaimana biasanya, dan aku jadi sedikit bersimpati. Tiba-tiba saja aku merasa ia memiliki kedudukan istimewa dalam diriku seakan kami terikat oleh suatu benang takdir yang istimewa. Mungkin, pikirku waktu itu, hanya bersama lelaki inilah aku bisa berduka secara pantas dengan menziarahi kenangan-kenangan masa laluku dan Teresa, sebelum menumpahkan semuanya dalam rupa cerita-cerita sebagaimana yang sudah-sudah. Akan kuwariskan segala tentang Teresa melalui perspektifku, barangkali aku akan mengawalinya dengan membagi kisahku pada lelaki ini dan aku pun berharap bisa memperoleh perspektifnya mengenai perempuan yang sama-sama kami sayangi. Lalu kami akan menemukan sisa cinta perempuan itu dalam diri kami satu sama lain.
Namun sampai beberapa detik kemudian, aku masih merasa berat untuk memulai obrolan, dan justru lelaki itulah yang pertama kali memecah kebisuan di antara kami. Ia mengawali topik utama dengan mengungkapkan keraguannya terhadap cinta sang istri. Ia cukup peka untuk bisa merasakan itu meski samar. Kadang-kadang, ia berkata, ia menyaksikan istrinya membaca kumpulan cerita yang kutulis atau karyaku lainnya di taman depan rumah mereka dan di sela kegiatan itu ia akan berhenti sebentar untuk melamun. Dan lamunan istrinya tersebut, ia yakin sekali, tidak lain adalah sejenis laku spiritual khas para pecinta yang kalah.
Aku tidak menyangka lelaki ini akan langsung membicarakan hal seperti itu mengenai istrinya yang tanah kuburannya saja bahkan masih sangat basah. Tapi barangkali ia paham bahwa hanya aku saja yang bisa ia ajak membahas hal seperti itu sekarang. Mungkin juga ia merasa perlu segera membicarakannya denganku mumpung kami bertemu. Dengan begitu, ia bisa segera kembali berduka dan memulihkan diri untuk menyongsong cinta baru yang akan datang.
Kalau dipikir-pikir, cara ia menyinggung kehadiran karyaku dalam kehidupan Teresa menyiratkan ke mana arah pembahasannya. Namun sebelum ia melontarkan pertanyaan atau apa pun, aku lebih dulu mengungkapkan kepedihanku, yaitu fakta bahwa Teresa tidak pernah mencintaiku sama sekali.
Lelaki itu tercenung selama beberapa saat dan kemudian merokok. Gerakannya, dari mulai menjepit rokok dengan ujung bibir sampai mengisap dan mengembuskan asapnya, aku harus mengakuinya, benar-benar kelihatan anggun sehingga aku dengan cepat menikmati keberadaannya. Meski begitu, dalam keanggunannya tampak pula keresahan lelaki yang menderita karena cinta. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada istrinya dan tidak bisa memastikan apa itu. Asumsiku mengenai hal ini seketika membuat kesadaranku terpelanting kembali dalam kemuraman abstrak yang senantiasa menyerangku tiba-tiba sebagaimana penyakit bawaan.
Beberapa saat kemudian ia kembali memecah kebisuan dengan menuturkan pengalamannya membaca karya-karyaku, dan ia menyampaikan sesuatu yang cukup panjang, tapi kalau diringkas kira-kira begini maksudnya: aku juga membaca karya-karyamu supaya bisa memahami istriku, dan sejauh ini aku hanya bisa menduga kalau kamu begitu mencintainya dan istriku sadar akan ekspresi perasaan itu melalui cerita-ceritamu. Sepertinya istriku sangat menyukai caramu menggambarkan cinta itu dan barangkali melalui buku-bukumu, ia juga merasa telah dicintai dengan cara yang lebih layak, yang tak ia dapat dariku.
Aku menoleh ke arah lelaki itu dan kami saling berpandangan. Ia tahu sebagaimana aku, bahwa percakapan ini akan membuat kami semakin melebur dan pada akhirnya tak menyisakan apa-apa kecuali esensi cinta dalam kesunyian masing-masing.
Yogyakarta, 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars