Sarungku, Surgaku
Setahun belakangan, saya mengubah cara memakai sarung. Dampaknya bukan hanya pada penampilan dan gaya dari sarungnya, tetapi juga pengalaman spiritual dan ibadah saya. Sebelumnya, saya memakai sarung hanya seperlunya saja. Yang penting terpakai dan menutupi aurat. Gaya memakai sarung yang sekarang saya lakukan adalah gaya ala santri. Bisa juga disebut sarung belah tengah.
Memakai sarung gaya belah tengah menimbulkan keuntungan dan kerugian bagi saya. Saya mendapat keuntungan fungsi dan estetika. Sarung jauh terlihat lebih rapi sekaligus kuat ketika dipakai. Penilaian estetika tiap orang beda-beda, tetapi penilaian kekuatan sarung bisa dibuktikan sendiri. Coba saja sarung belah tengah dipakai tidur atau ditarik-tarik sekeras mungkin, lalu bandingkan dengan cara pakai sarung lainnya.
Yang boleh jadi dikatakan sebagai kerugian adalah pemakaiannya yang lebih rumit dan perlu ketelitian agar mendapat hasil yang sempurna. Namun, kerugian itu malah jadi keuntungan bagi saya sendiri, yang saya sendiri tidak pernah menduga.
Saya dikenalkan gaya sarung belah tengah oleh salah satu teman yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Memang santri betulan. Pada awalnya, bagi saya rumit sekali memakainya. Hanya saja, karena sarung itu kuat dan kokoh, itu menjadi motivasi saya untuk terus belajar menguasai bagaimana melilitkan sarung dengan baik dan benar.
Satu-satunya waktu yang menurut saya baik untuk berlatih memakai sarung adalah sebelum salat. Saya pribadi tidak tahu alasannya. Padahal, di waktu luang yang lain bisa saja saya manfaatkan. Bisa jadi karena saya tidak terlalu berniat menguasai tetapi hanya ingin sekadar bisa. Jadi, saya tidak berlatih terlalu gigih. Ternyata di sinilah hal yang tidak pernah saya duga itu datang. Saya akui, saya tidak pernah menunggu waktu salat. Bahkan, saat mempelajari pemakaian sarung belah tengah. Yang justru saya tunggu adalah waktu memakai sarungnya. Setelah memakai sarung, ya sudah salat seperti biasa.
Baca juga:
Di awal, ketika baru belajar, saya tidak pernah merasa benar dan sempurna ketika memakai sarung. Terkadang frustasi, tapi ya sudah, mau diulang juga rasanya cuma buang-buang waktu. Lebih baik lanjutkan saja. Poin utamanya sudah didapat, yaitu menutupi aurat, jadi tak ada lagi yang saya hiraukan. Makin ke sini, saya makin menguasai pemakaian sarung belah tengah. Kadang dapat hasil yang sempurna seperti apa yang saya inginkan. Ketika berhasil memakai sarung belah tengah dengan sempurna, rasanya saya tidak ingin melepaskan sarung itu. Kalau bisa, saya akan pamerkan ke semua orang. Khususnya teman saya yang mengenalkan sarung belah tengah.
Inilah dampak yang saya tidak pernah duga. Saya merasa lebih bahagia ketika salat, dan karena kebahagiaan itu, saya berusaha salat sesungguh-sungguhnya. Ketika salatnya selesai, saya mungkin agak kecewa karena harus melepas sarung, tetapi saya juga senang karena salatnya sudah selesai. Bisa kembali menjalani kegiatan dunia yang fana.
Mungkin sepele, tetapi itulah yang saya rasakan. Gaya sarung yang saya kira awalnya tidak ada nilai atau substansi lebih dalam kegiatan beribadah secara umum malah menjadi titik balik tersendiri bagi saya. Atau mungkin, ini yang dimaksud dengan memperhatikan penampilan ketika beribadah?
Andai Tuhan Bisa Bawa Ikat Pinggang
Saya merasa beribadah terasa begitu mudah ketika aspek sederhana kita perhatikan. Saya tidak merasa lebih berpahala ketika memakai sarung lebih baik dan salat yang menurut saya lebih sungguh-sungguh. Sederhana saja. Saya merasa lebih bahagia dan itu semua karena sarung.
Dalam perenungan yang lain, saya merasa manusia sulit menyetujui janji. Allah Swt menjanjikan surga yang begitu indahnya, tetapi begitu mudahnya untuk dihiraukan. Manusia hanya ingin mendapatkan sesuatu. Yang saya maksud dapat di sini adalah apa yang diperoleh secara instan. Salah satu contohnya adalah kebahagiaan yang saya dapat setelah memakai sarung.
Saya berani berpendapat bahwa perintah ibadah dari Allah Swt sama halnya dengan perintah ibu untuk mencuci piring. Alasannya karena kita awalnya tidak pernah senang mengerjakan keduanya. Kita lebih cenderung menuruti ibu karena biasanya ibu akan membawa ikat pinggang dan siap menyabet betis kita apabila piring kotor tidak segera dicuci. Sama saja ketika Allah Swt memberi kita ujian, azab, istidraj, atau kesusahan lainnya yang memaksa kita untuk kembali kepada-Nya.
Baca juga:
Selain itu, tidak ada yang diperoleh secara instan setelah salat dan cuci piring. Hanya kebahagiaan sesaat setelah menyelesaikan itu semua dan bisa kembali ke kegiatan yang kita hendaki. Tetapi biasanya ibu akan memerintah kita untuk menyapu dan mengepel. Sebagaimana salat yang harus diulangi sebanyak 5 kali dalam sehari. Setiap hari tanpa ada kata libur.
Yang perlu kita semua resapi adalah bagaimana kita menemukan satu hal agar kita terus ingin mengerjakan kegiatan itu secara berulang. Lewat ibu, mungkin kita bisa minta ganjaran yaitu tambahan uang jajan setelah cuci piring dan beres-beres rumah. Jangan dipikir minta uang jajan tambahan bukan bentuk pencaharian kita. Memintanya mungkin bukan, tetapi mencari cara merayu, menyusun kata-kata, keberanian untuk memohon, dan menghindar dari sabetan ibu yang selanjutnya merupakan bentuk pencaharian yang perlu dipertimbangkan dan tidak boleh disepelekan.
Janji surga dari Allah Swt bisa dibilang seperti uang jajan tambahan dari ibu. Ia sudah tertulis di lauhulmahfuz. Usaha dan ikhtiarlah yang mendatangkan itu semua kepada kita. Mungkin juga karena ia sudah tertulis, manusia cenderung bermalas-malasan. Umat Islam malas salat karena belum ada cobaan yang Tuhan berikan. Bukan karena benci atau menentang perintah, ajaran, atau bahkan agamanya sendiri.
Puasa Buat Keren-Kerenan
Latar belakang agama saya sebatas cukup untuk sekadar menjalani kewajiban. Saya dikenalkan oleh pahala dan dosa, bukan pahala atau dosa. Gampangnya, boleh melakukan keburukan, tapi tanggung sendiri akibatnya. Bersamaan dengan itu, entah ini benar atau salah, saya juga diberikan kebebasan berpikir (bukan bertindak lho, ya). Oleh karena itu, saya berani menyamakan perintah Allah Swt dengan perintah ibu.
Saya dibentuk demikian dari lingkungan. Dari lingkungan tersebut saya punya anggapan bahwa semua orang salat karena dari dulu saya ditanamkan bahwa yang nomor satu adalah salat. Apa yang saya lihat selama ini pun begitu. Sampai ketika saya melihat lingkungan yang lain, yang bagi saya itu benar-benar tabu. Sampai sekarang, saya masih bisa belum menerimanya. Baru kemudian dari cerita sarung dan cuci piring saya menyimpulkan, ternyata tingkat spiritualitas (ketakwaan) orang bisa beda-beda. Dan ini bukan persoalan keimanan.
Ini akibat dari kebebasan berpikir saya itu tadi. Saya tidak langsung menyatakan yang begini beriman, sementara yang begitu tidak karena kita semua tahu keimanan itu naik dan turun. Orang yang menganggap dirinya muslim pasti selalu memiliki keimanan. Sejatuh-jatuhnya iman itu.
Ambil contoh bulan Ramadan, yang baru saja kita lalui. Setiap Ramadan, selalu dikumandangkan surah Al-Baqarah ayat 183. Saya hanya akan mengulas awal dan akhirnya saja. Kalimat awalnya adalah yâ ayyuhalladzîna âmanû. Artinya “wahai orang-orang beriman”. Kalimat penutupnya adalah la‘allakum tattaqûn. Artinya “agar kamu bertakwa”.
Baca juga:
Jelas sekali Allah Swt membedakan antara orang beriman dan orang bertakwa. Haruskah kita bahagia karena kita semua, yang menganggap diri kita sebagai umat Muslim disebut sebagai orang beriman? Haruskah kita kecewa karena kita semua, yang dianggap sebagai orang beriman belum bertakwa sampai-sampai Allah Swt memerintahkan kita semua untuk berpuasa?
Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kita yang sudah terlanjur basah kuyup oleh kehidupan duniawi ini harusnya merenungi dua kalimat tersebut saja. Lantas kemudian perintah puasanya.
Setelah menginjak usia dewasa dan memiliki kegiatan duniawi yang aktif, banyak, dan menguras tenaga, saya merasa puasa Ramadan justru membebani. Seharian tanpa asupan makan dan minum, tidur yang lebih singkat, dsb. Pola kegiatan sehari-hari kita pasti terpengaruh. Dan ini semua untuk apa? Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya ingin mengajukan pertanyaan yang lain. Bagaimana kalau sebetulnya pola kegiatan yang kita anggap carut-marut di bulan Ramadan itulah yang seharusnya dijalani oleh umat Islam?
Kembali ke awal, ini semua untuk orang beriman yang diperintahkan untuk bertakwa. Kalau ada yang menganggap bulan Ramadan tidak mengganggu kegiatan duniawinya sama sekali dan ibadahnya juga lancar-lancar saja, bahkan setelah mendengar opini yang agak sensitif seperti di atas, bukan artinya perlu didebat. Justru lebih bagus kalau begitu. Tetapi, kalau ia merasa bulan Ramadan sangatlah mengganggu, ya jangan didebat juga. Mungkin boleh diberikan penjelasan kalau memang bulan Ramadan diciptakan begini adanya. Ngedumel aja sepuasmu. Kami dari sini cuma bisa mendoakan. Kalau memang tidak terima, ya sudah, tanggung sendiri akibatnya.
Editor: Prihandini N