Sang Penulis dan Hantu-Hantu di Ruang Tamu

Marina Yudhitia

5 min read

Sudah lepas tengah malam ketika Lidya membuka pintu depan rumah dan mempersilakan sepasang kakek dan cucu keluar, kedua tokoh di hadapannya itu menangis tersedu-sedu. Padahal, kisah mereka berakhir bahagia, batin Lidya, lalu pasrah menerima pelukan erat mereka sebelum benar-benar berpisah.

Lidya menutup pintu, membalikkan badan, dan matanya membelalak. Di ruang tamu kini sudah hadir satu orang lagi. Ia duduk di kursi pojok dan tersenyum girang. Ia tahu sekarang tiba gilirannya. Namun Lidya tidak. Otaknya kosong seketika.

Semua yang duduk di ruang tamu, berada di sana untuk menunggu. Mereka adalah tokoh-tokoh cerita yang akan dimasukkan Lidya ke ruang kerja dan hasilnya berupa karangan kisah. Lelaki itu telah lama menanti sebuah peran. Ia menyaksikan berbagai nama dan karakter silih berganti masuk-keluar rumah. Sejak ruang tamu lengang, ramai, penuh sesak, sampai kini tinggal dirinya sendiri. Selama itu pula Lidya tak punya ide cerita, premis, bahkan sekadar nama untuk lelaki itu.

Jika kini saatnya, Lidya tak bisa menunda lagi. Ia harus segera merangkai kata, menyusun kalimat, menulis lakon, apa pun itu, tentang sang lelaki.

“Tunggu dulu sebentar, aku cari ide,” ujarnya sambil berlalu ke ruang tengah dan ruang lain yang lebih dalam.

Lidya naik-turun tangga. Membuka laci, lemari, tas yang digantung, dan saku baju. Ia menggeser bagian belakang rak buku, memeriksa isi kulkas, dan kolong tempat tidur. Siapa tahu ada remahan inspirasi yang terlewat disapu. Seraya melintasi sekeliling rumah, wanita itu melongokkan kepala ke kamar mandi, dapur, kamar tidur, sampai ke gudang. Barangkali, ada tokoh lain menyelinap, yang bisa diajak sebagai tandem sang lelaki dalam cerita. Kalau tidak, mungkin ia harus mencari cara bagaimana memanggil kembali salah satu tokoh yang pernah menghuni ruang tamu. Tempo hari ada janda muda, perempuan penjaja roti, atau atlet senam indah yang bisa dijadikan tokoh pendamping.

Sekonyong-konyong terdengar lamat-lamat percakapan dari balik kotak penyimpanan di gudang yang pekat dan pengap. Belum sempat menyentuhnya, tiba-tiba di hadapan Lidya muncul sosok dua orang saling sikut-menyikut dan adu mulut. Bocah cilik berumur delapan tahunan dan gadis remaja menginjak usia sembilan belas. Hal pertama yang terlintas di benak Lidya, apakah mereka bisa jadi lawan main lelaki di ruang tamu dalam kisahnya?

Terkadang lebih mudah mengarang adegan jika tokoh-tokohnya telah lengkap. Itu yang Lidya rasakan selama ini. Ia hanya perlu menyimak tokohnya beberapa saat lalu angannya berkelana menyajikan cerita. Hari itu, sepertinya berbeda. Lidya tak bisa penuh berkonsentrasi karena dua sosok di hadapannya terus-menerus berlarian, berkejaran, sampai Lidya menghalangi langkah keduanya dan menggiring agar duduk di ruang tamu.

“Baiklah, aku bicara duluan!” keluh sang gadis kepada bocah di sampingnya yang tak henti merengek.

“Hai, Lidya! Masih ingat nggak cita-citaku mau terbang keliling dunia? Sebelas tahun lewat sudah, apa saja yang kamu lihat di luar sana?”

Pertanyaan itu membuat Lidya tepekur, memikirkan maksud kalimat yang barusan didengar.

Si bocah kecil tahu-tahu ikut terisak, “aku takut… sakit… kalau sudah besar nanti rasa ini akan hilang dan aku bisa kabur, kan? Bagaimana perasaanmu sekarang, Lidya?”

Ada yang menghujam hati Lidya seketika. Tanpa direncanakan ia menyahut, “setidaknya aku bisa bersembunyi di sini. Nanti, ada saatnya aku akan melarikan diri. Lagi.”

Meremang bulu kuduk Lidya kala tersadar dirinya dan kedua sosok di hadapannya berdiri di atas bayangan yang sama. Mereka bukan tamu-tamu, melainkan hantu dari masa lalunya sendiri.

Bocah cilik mulai menangis dan gadis remaja sibuk menyuruhnya supaya tenang.

“Kalau kamu ribut, aku nggak bisa mendengar apa-apa!” kata si gadis remaja.

“Kamu jangan melarangku seperti Ayah dan Ibu, dong!” bentak si bocah cilik dengan suaranya yang cempreng.

“Kenapa kalian bertengkar?” tanya Lidya menimpali percakapan.

“Kami cuma mau tahu, tolong beri tahu kami, keadaanmu saat ini baik-baik saja.” Hampir serempak keduanya berkata, “Lidya, kamu sekarang sudah bahagia, kan?”

“Bahagia?” Lidya tersenyum, berniat untuk meneruskannya dengan tawa, tapi yang terjadi kedua matanya berkaca-kaca.

Layar televisi datar menampilkan gambar. Tatapan ketiga makhluk itu mengerjap bersamaan. Mereka menyaksikan tayangan kilas balik hidup seseorang. Bagaikan serial drama, kisah yang mereka tonton telah diarahkan sutradara dalam wujud kedua orangtua. Masa kecil terendap dalam buku pelajaran, ancaman, dan kemarahan, membuat bocah cilik bersedu sedan. Jenjang sekolah yang dipilihkan, jurusan kuliah ditentukan, pembatasan pertemanan, memancing gadis remaja mengeraskan rahang dan kepalan tangan. Belum selesai di situ, apa yang terjadi kemudian menjadikan ketiganya saling memandang penuh kekecewaan.

Hubungan asmara hasil perjodohan, pernikahan yang dipaksakan, pasangan bermata hijau yang hadir demi harta, takhta, dan kuasa –bukan cinta. Klise. Namun begitu realitanya. Harapan yang digantung pada karier sebagai penulis, hanya untuk kemudian dijatuhkan karena atasan di tempat kerjanya meminta ia jadi “penulis hantu”, dengan tema, target, tenggat waktu teramat ketat tanpa ruang berkarya. Puluhan pengunduran diri telah dilayangkan tetapi terabaikan dan ia kadung terikat kontrak kerja. Uang denda menghantuinya.

Ia berada dalam penjara dan masih harus dikejar-kejar tuntutan utama: cepat lahirkan keturunan. Permintaan itu teramat menyakitkan –secara lahir dan batin– karena saat Lidya mengerang nyeri, suaminya malah murka dan menghujaninya pukulan bertubi-tubi.

“Apa yang terjadi, Lidya? Mengapa semakin hari hidupmu –hidupku– semakin nyeri.”

Atap rumah berderak diiringi decit tikus-tikus melangkah. Menyusul setelahnya derit kursi bergeser dari arah sudut ruang tamu. Lidya hampir lupa. Ia masih di sini. Ia masih punya rumah ini. Tempat perlindungannya dari semua yang ditayangkan layar televisi tadi. Rumah ini menjadi naungan tersembunyi. Rahasia yang hanya diketahui Lidya sendiri. Satu-satunya wadah berkarya sesuka hati. Berinteraksi dengan sebanyak mungkin tamu yang singgah. Menyuguhkan prosa tanpa batas. Setiap kali Lidya masuk ke rumah ini, jiwanya takkan tersentuh oleh tangan-tangan besar manapun yang hendak menguasainya. Dalam sepetak kotak tak seberapa luas, justru dirinya bebas berkelana ke mana saja.

Namun, sisa waktunya takkan lama lagi. Pengunjung di ruang tamunya tinggal bersisa satu. Lelaki itu telah berdiri di sisi Lidya kini. Kecuali Lidya menciptakan kisah, lelaki itu takkan pernah meninggalkan rumah. Lidya mulai curiga, mungkin yang diinginkan lelaki itu bukanlah peran, melainkan jalan terbuka ke pintu keluar.

Gelegar petir menyambar. Dinding-dinding bergetar. Lidya menangkap raungan sirine dari kejauhan. Sementara lelaki itu mengulurkan tangan dan menunjuk arlojinya. Lidya mendesah. Tak ada waktu lagi sebelum suaminya mendobrak gerbang depan. Itu salah Lidya sendiri. Terakhir kali datang kemari, ia mengendarai mobil merah kesayangan sang suami. Membuatnya jadi dicari-cari.

“Cepat, Lidya! Lakukan sesuatu, buatlah apa pun!” bocah kecil membalikkan badan, hendak kembali ke kotak penyimpanan. Tangannya menarik-narik si gadis remaja. Bahkan kedua sosok itu pun sudah merasa tak aman.

“Nggak usah banyak mikir, Lidya, pria itu sosok idamanmu selama ini dan dia cuma mau kamu. Pergilah bersamanya!” celetuk gadis remaja sebelum kemudian menghilang ke arah gudang.

Dahinya mengerut. Namun hatinya merekah. Lidya bergegas meraih tangan sang lelaki dan membawanya ke ruang kerja. Jemarinya menari lincah di atas tombol-tombol huruf. Tak memakan waktu lama, sebuah cerita tercipta. Tokohnya bernama Lidya dan Pria. Kisahnya tentang mereka berdua. Mahakarya.

Lidya tahu, bukan hanya karangan yang bisa dibuat. Bahagia pun kini ada di tangannya. Ia mengadu rasa, tergelak bersama, berbagi ranjang dan bercinta penuh kelembutan, bernyanyi dan berdansa, masak dan makan berdua. Segala hal yang tak pernah dialami di luar sana, kini jadi ceritanya bersama Pria. Sampai di penghujung asa, Pria berlutut dan menawarkan masa depan. Ia menengadahkan telapak tangan dan menyodorkan sebuah benda, perlambang janji suci dan ikatan abadi. Lidya mengambilnya. Anak kunci yang mengilap keemasan.

Menjelang dini hari, Lidya membuka lebar pintu depan rumahnya. Ia membiarkan Pria melangkah keluar terlebih dahulu, kemudian ia menyusulnya. Lidya menarik gagang pintu di belakangnya, menutupnya, dan menguncinya rapat-rapat. Pria mengulurkan tangannya ke arah Lidya. Diiringi helaan napas lega, wanita itu segera menyambut dan jemari keduanya berkelindan.

Langkah-langkah ringan Lidya dan Pria seakan melayang meninggalkan halaman. Menuju ke bawah bayangan pohon besar di mana mobil merah milik suami Lidya teronggok lama. Tak jauh di depan, pagar pemisah akan mereka lewati dan setelahnya jiwa-jiwa itu akan terbebas. Lepas.

Jadi ini yang dialami tamu-tamu pengunjung begitu pergi dari rumah, pikir Lidya semringah.

Setidaknya itu yang ia bayangkan. Namun pada kenyataannya mesin mobil merah mogok dan bannya pecah. Tak lama berselang, sinar menyilaukan menyorot dari segala arah. Disertai deru mesin-mesin yang sepertinya berasal lebih dari satu kendaraan. Mobil-mobil besar, mungkin bus, atau truk. Lidya tahu, di antara silau cahaya itu, ada sang suami yang akan menjemputnya. Memergokinya bersama Pria, menangkapnya, dan memisahkannya sebelum mereka sempat kabur.

Lidya mengangkat tangannya melindungi pandangan. Pria memeluknya lalu merenggut Lidya menjauh dari kepungan. Dalam kegelapan panjang, ia merasa tenang. Ia tahu, dari sekian banyak larangan, orang-orang yang mendiktenya di luar sana tak pernah mengucapkan satu hal: “jangan mati”.

***

Di kehidupan luar rumah –terpisah jarak dari dunia cerita– seorang suami turut memicingkan mata kala sinar-sinar lampu sorot mengarah ke sisi pembatas jembatan yang jebol. Pekerjaan alat-alat berat selama berjam-jam akhirnya membuahkan hasil. Rantai-rantai derek bergerak naik mengangkat badan mobil berwarna merah yang jatuh tercebur ke dalam sungai. Sementara hampir bersamaan regu penyelamat memekik tertahan kala menemukan jasad wanita yang tenggelam bersama mobil merah.

Lelaki itu menoleh bergantian ke dua arah. Ia memilih mendatangi tempat di mana hatinya terpatri.

“Berapa lama mobil ini bisa diperbaiki?” tanyanya pada seorang petugas.

“Masih mau diambil itu mobil? Nggak takut kalau nanti berhantu?”

Ia hanya bergumam dalam hati, “Setidaknya di sebelah sini masih ada harapan untuk menghidupkannya kembali. Tak seperti dirinya. Mau direinkarnasi pun kuyakin ia menolaknya. Cita-citanya tunai sudah. Biarlah.”

***

Marina Yudhitia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email