Ustad Safi yang bertugas menjadi imam salat magrib tak kunjung datang. Sementara muazin yang juga murid dari sang ustad telah melantukan azan. Para jamaah mulai gelisah, bukan karena mengkhawatirkan keadaan ustad Safi, melainkan siapa yang akan terpaksa menjadi imam.
Saking gelisahnya, beberapa dari mereka sengaja tidak melaksanakan salat qabliyah. Mereka menunggu muazin selesai salat qabliyah untuk menanyakan keberadaan ustad Safi dan siapa yang akan menjadi imam jika beliau tidak hadir. Muazin justru kebingungan setelah salat qabliyah, melihat banyak jamaah mendekatinya.
Kegelisahan para jamaah tak kunjung hilang ketika mereka mendengar kabar bahwa ustad Safi mendadak pulang kampung untuk mengunjungi orangtuanya yang sedang sakit. Namun, tidak ada yang berani bertanya mengenai siapa yang pantas menjadi imam. Muazin mulai meninggalkan para jamaah untuk melantukan iqomah, pertanda salat akan segera dilaksanakan. Beberapa jamaah saling bertatapan dengan senyum yang dipaksa, ada jamaah yang hanya menundukkan kepalanya, ada jamaah yang memperpanjang doa, ada jamaah yang pura-pura ke kamar kecil, agar terhindar menjadi imam.
Pintu kayu melengking seiring dengan berakhirnya iqomah. Para jamaah serentak menghadap ke arah pintu masuk masjid. Seorang lelaki memakai baju gamis berkepala botak plontos memasuki masjid yang diikuti oleh seorang pemuda yang juga plontos memakai kaos hitam polos dengan desain tipografi bertuliskan Save Our Planet. Ia ditunjuk menjadi imam lantaran baru pulang menunaikan ibadah haji. Dengan tegak ia maju untuk mengimami para jamaah. Ia membaca surat pendek Al-Ikhlas dan Al-Fil. Lelaki itu bernama Jahga.
Jahga adalah lelaki yang paling dikenal oleh para jamaah selain ustad Safi. Ia dikenal sebagai orang paling kaya dan dermawan. Pagar rumahnya saja lebih tinggi dari atap rumah tetangganya, jumlah mobilnya lebih banyak dari jumlah anak tetangganya, bahkan setengah dari biaya renovasi masjid ia tanggung. Kekayaannya berbanding lurus dengan kedermawanannya. Tiap akhir bulan ia meminta ustad Safi mengumpulkan anak-anak yatim untuk diberikan uang santunan.
Bahkan nama Jahga sering muncul dalam ceramah-ceramah ustad Safi ketika dirinya sedang membahas mengenai rezeki, sedekah, bahkan ahlak mulia. Terlepas dari kekayaannya, Jahga mulai dikenal oleh warga setempat, khususnya jamaah masjid, ketika enam bulan lalu ia mengunjungi kediaman ustad Safi.
“Saya bersama keluarga ingin masuk Islam.”
Hati ustad Safi bergetar dan beberapa kali meneteskan air mata seakan-akan hidayah langsung turun di hadapannya. Dengan suara tersedu-sedu ia meminta Jahga berserta keluarga untuk datang ke masjid setelah salat Jumat. Jahga mengiyakan permintaan itu. Ketika Jahga dan keluarga ingin pamit dari rumah kecil itu, istri sang ustad memberikan dua peci berwarna putih untuk dirinya dan anaknya, beserta kerudung hitam untuk istrinya.
Jahga beserta keluarga menunggu di luar masjid dan mendengarkan kutbah Jumat dari ustad Safi yang bertemakan hidayah, dilanjutkan dengan cerita singkat salah satu sahabat nabi yang masuk Islam dari kekufuran. Beberapa kali ia mendengar suara tersedu-sedu dari mimbar. Jemaah yang hadir sedikit kebingungan mendengar dan melihat sang ustad tersedu-sedu dalam khutbahnya sementara dalam ceramah-ceramah biasanya, ia sering menyisipkan canda.
Selesai salat Jumat, ustad Safi berdiri menghadap jemaah untuk mengumumkan berita mengenai Jahga beserta keluarga yang akan menjadi keluarga Islam. Beberapa Jemaah dengan lantang mengucapkan kalimat takbir dan tahmid. Suasana masjid semakin menggelora ketika Jahga beserta keluarga melintasi para jemaah bagaikan nabi Musa melintasi lautan yang terbelah. Dua kalimat syahadat bernaung dalam masjid. Isak tangis ustad Safi tak bisa dibendung, sembari memeluk Jahga terdengar hingga shaf paling belakang. Tak sedikit jemaah yang ikut menangis.
Jahga bersama keluarga pulang ke rumah. Sesuai ajaran Islam dan juga perintah dari ustad Safi, ia harus menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ritual agama Hindu. Awalnya semua berjalan baik-baik saja sampai Jahga, istri dan anaknya harus menyingkirkan patung dewa Ganesha yang besar ke luar rumah. Selintas terbayang kala ia dan istrinya bersaksi di hadapan patung itu saat menikah, saat anaknya lahir, dan saat mereka kesulitan mencari uang.
Tetangga melihat Jahga berserta keluarganya menggotong patung berbentuk gajah ke luar rumah. Keluarga yang dulu dianggap kafir itu sekarang menjadi sahabat seiman.
Selepas dua minggu menjadi mualaf, ia menjadi orang paling kaya. Mobil baru yang terpampang di halaman rumahnya disebut-sebut sebagai rezeki seorang mualaf. Sepekan kemudian, tempat huniannya telah jadi dua tingkat. Semakin lama menjadi mualaf, semakin kaya raya. Para tetangga mulai curiga, bahkan sedikit ketakutan oleh rumor yang beredar bahwa kekayaan itu didapatkan dari organisasi teroris dunia. Rumor itu bukan muncul dari rasa iri warga setempat, tetapi seorang kurir perusahaan kerajinan tanah liat menjadi kaya raya, rasanya tak masuk di akal.
Perusahaan tanah liat itu bernama Patrol. Patrol adalah perusahaan yang menyediakan apa pun kebutuhan dalam pembuatan kerajinan tanah liat. Mulai dari bahan mentah, alat produksi, sampai kerajinan itu sendiri.
Jahga beruntung bisa bekerja di perusahaan yang bisa memberikan gaji terbilang besar untuk seorang kurir. Dari ribuan calon kurir yang melamar, Jahga dan dua puluh orang lainnya terpilih untuk mengantarkan berbagai produk perusahaan. Gaji yang didapat cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya beserta keluarga. Diterima sebagai salah satu kurir Patrol juga membuatnya semakin dekat dengan Tuhan. Ia meyakini bahwa keburuntungan itu berkat doa yang dikabulkan oleh patung Dewa Ganesha di rumahnya.
Dua bulan bekerja, ia mulai jenuh menjadi seorang kurir. Ia merasa bisa bekerja lebih dari sekadar pembawa barang dan menghasilkan lebih banyak uang. Sialnya hal itu tidak mungkin terjadi untuk seseorang yang tidak memiliki riwayat pendidikan tinggi dan tidak memiliki keterampilan khusus selain mengendarai mobil dan motor. Perasaanya semakin memburuk ketika ia mencurigai istrinya,yang sering lupa memberikan selai srikaya untuk bekal makan siang.
***
Beberapa polisi berjaga di depan gerbang Patrol untuk menjaga demo yang sedang berlangsung. Ratusan demosntran menggunakan atribut yang didominasi warna hijau. Demonstran itu dipimpin seorang pejuang aktivis lingkungan yang memiliki pengikut Instagram sebanyak 300 ribu. Spanduk besar bertuliskan Save Our Planet terpampang jelas di barisan terdepan. Demonstrasi seperti itu sudah sering terjadi di Patrol, tapi baru kali ini seorang aktivis terkenal ikut serta.
***
Pintu masuk rumah tidak terkunci, suara pembawa acara gosip favorit istri Jahga terdengar lantang, dan sepasang sepatu kulit warna putih terhampar berantakan di rak sepatu. Seorang lelaki muda berkulit putih sedang menggandeng istrinya di hadapan pembawa berita gosip. Ia panggil nama istrinya dengan gemetar ketakutan. Serentak mereka berdua menghadap ke arah Jahga. Seakan waktu berhenti, mereka berdua lekas berdiri dari sofa panjang, istrinya sibuk merapikan kancing baju yang terbuka pada bagian dada sementara lelaki yang tak dikenalnya memasang kembali ikat pinggangnya. Ia tahu persis ketika istrinya berbohong. Lubang hidungnya mengembang. Tapi ia memalingkan wajahnya saat memperkenalkan lelaki itu sebagai sahabat kecilnya. Tak lama lelaki itu pamit tanpa berani menatap wajah Jahga.
Karena begitu mencintai istrinya, ia bersikap seoalah tak terjadi apa-apa. Ia masih mencium keningnya sehabis pulang kerja, masih menyuapi makan malam, masih mengajaknya berdoa di hadapan patung Ganesha. Sampai seminggu kemudian sang istri mengatakan yang sebenarnya bahwa sahabat kecilnya itu adalah lelaki yang dibayar untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Semenjak Jahga menjadi kurir, keintiman yang dilakukan dengan istrinya berkurang. Sering ia pulang larut malam dan tak sempat untuk melakukan hubungan seksusal lantaran sang istri tidak bisa menahan kantuk terlalu lama. Mendengar keluhan dari sang istri, Jahga rela tidak masuk kerja esok hari hanya untuk melakukan hubungan seksual, sekuat-kuatnya, dan segila-gilanya.
Niatnya untuk berhenti sebagai kurir gagal ketika ia dipanggil ke ruang pertemuan utama. Petinggi perusahaan, selebritas, polisi, ubernur, wakil presiden, dan tiga pengusaha paling kaya telah berada dalam ruangan. Bagai kumpulan serigala yang menyambut anak domba. Ruangan seketika gelap, sebuah kutipan “Bisnis Adalah Risiko” terpampang jelas di layar besar. Petinggi perusahaan naik mendekati layar, ia mengenalkan sebuah proyek baru dengan semboyan “Gajah Kita, Untuk Kita” dilanjutkan dengan tampilan proyeksi bangunan besar.
Perlahan-lahan Jahga mulai mengerti mengenai proyek baru Patrol untuk membangun sebuah museum gajah dengan bahan-bahan tanah liat. Seorang selebritas diundang untuk ikut serta mempromosikan museum, polisi bertugas untuk menjaga warga yang menolak penggusuran lahan pemukiman, gubernur dan wakil presiden datang untuk mengumumkan kepada warga negara, sementara seorang kurir?
Lampu ruangan menyala, para hadirin serentak berdiri untuk memberikan tepuk tangan, satu per satu mulai meninggalkan ruangan, perkenalan proyek baru selesai. “Tunggu, ada proyek baru” adalah kata pertama yang diucapkan petinggi perusahaan kepada Jahga selama ia bekerja di Patrol.
“50 juta sekali pengiriman.”
Entah apa yang harus ia katakan kepada istri tercinta, langit seakan ingin runtuh selama perjalanannya pulang ke rumah. Awalnya sang istri begitu riang mendengar besarnya penghasilan yang akan diperoleh oleh Jahga, tetapi perasaan itu berubah menjadi bimbang saat ia tahu risiko yang akan didapatnya. Ia tidak ingin melihat suaminya melanjutkan hidup dalam sel penjara, dan mungkin neraka. Namun, apa pun yang akan terjadi, ia berjanji untuk selalu mendampingi Jahga.
Jahga mencoba meyakinkan istrinya untuk masuk Islam dengan mengatakan bahwa dewa tidak ingin melihat kita sengsara di dunia. Sang istri menyetujui keputusan batin itu.
Proyek baru sang kurir segera berjalan, dua polisi yang ikut dalam proyek ini lebih dulu sampai Patrol, mereka berjaga di gudang penyimpanan barang tanah liat. Tatapan mata yang tidak lepas kepada Jahga membuatnya sedikit gelisah. Tidak ada yang berbeda dari kerja Jahga sebagai kurir biasa. Ia mengambil berbagai macam bentuk gerabah dari gudang untuk dimasukan kedalam truk kargo sebelum diantar ke tujuan. Puncak kegelisahan muncul ketika ia melihat gerabah tempayan berukuran besar digotong oleh empat polisi.
Tidak ada kurir lain bahkan ratusan pekerja Patrol yang tahu bahwa tempayan itu berisikan gading gajah. Gading gajah bernilai ratusan juta diselundupkan dalam gerabah tempayan. Tugas utamanya untuk mengantarkan gerabah tempayan itu ke Museum Gajah yang baru akan dibuka untuk umum di pusat kota.
Perjalanan itu memakan waktu setengah hari. Selama itu pula jantungnya berdetak cepat. Tiap jarak yang ditempuh seakan memanjangkan dosa atas berpalingnya ia dari Sang Dewa.
Jahga terpaksa harus pindah agama Islam. Ia tidak ingin menjadikan simbol dewa sebagai bisnis kotor dalam hidupnya.
Setelah sebulan menjalankan proyek baru, Jahga merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, termasuk dosa murtadnya. Uang yang didapatnya juga semakin banyak, utang-utang terlunasi, dan tiap hari mampu bersenggama dengan sang istri tanpa harus takut kelaparan esok hari.