Aku sudah sering ditunjuk sebagai juri lomba menulis. Namun, menentukan posisi pemenang selalu tak mudah kulakukan. Penentuan posisi kedua dan ketiga adalah hal yang pelik. Ada banyak pertimbangan yang harus kupikirkan. Memilih kedua posisi itu bukan hanya soal kriteria teknis, melainkan juga atas pertimbangan nama baik penulis.
Baru-baru ini aku diminta menjadi juri sayembara cerita pendek yang diselenggarakan salah satu akun media sosial. Sebulan yang lalu seseorang memperkenalkan diri sebagai perwakilan panitia. Ia memintaku menjadi juri tunggal. Tentu saja dengan senang hati aku menyambut tawaran itu sambil mengucapkan terima kasih karena memberikan kepercayaan kepadaku untuk melakukan penjurian. Tidak sampai dua minggu, ia kembali menghubungiku dengan melampirkan dua ratus manuskrip cerita pendek bertema bebas. Tenggat diberikan, penjurian mulai dilakukan.
Awalnya aku selalu menolak ketika diminta menjadi juri sayembara sastra media sosial. Sebagai seorang yang telah menerbitkan tiga novel, rasa-rasanya sayembara semacam ini tidak bisa disebut sayembara sastra bergengsi. Seharusnya penulis seperti aku terlibat penjurian karya yang dimuat surat kabar selama satu tahun, untuk menemukan selusin karya terbaik sebelum diterbitkan dalam bentuk antologi. Sudah sepantasnya karya-karya milik penulis bergengsi yang aku nilai, karya milik penulis-penulis yang setidaknya pernah menerbitkan buku sebanyak diriku. Seharusnya begitu, bukan malah menilai karya penulis amatir yang menulis karena coba-coba.
Namun idealisme selalu rapuh dan lekas terkikis. Pikiranku berubah usai mengetahui honorarium yang mereka berikan bisa membayar biaya makanku selama satu bulan. Honor dari penjurian sayembara sastra–yang selalu tampak sepele di mataku–selalu lebih besar dibanding honor pemuatan karyaku di media massa. Pekerjaanku sebagai juri sayembara sastra media sosial ternyata lebih menghidupi dibanding menulis untuk kemudian menanti royalti.
Aku hanya tertawa ketika mendengar celoteh kawanku sesama sastrawan–yang belum menerbitkan buku sebanyak aku. Ia berkata karya sastra hasil sayembara media sosial adalah karya sastra dadakan yang tidak bernilai seni. Persetan dengan omongannya. Karya-karya itu justru membuat hidupku makmur. Kawanku pasti sebenarnya iri karena tidak pernah ada panitia sayembara yang memintanya menjadi juri.
Semua semakin menarik ketika panitia sayembara memberikan bonus kepada juri yang menyelesaikan penilaian lebih cepat dari tenggat. Tentu penjurian dengan iming-iming ini selalu aku kerjakan lebih dulu, bahkan mendahului pekerjaanku yang lain. Maka jangan heran jika beberapa panitia sayembara memberiku julukan ‘Juri Kilat’. Penjurian karya cerpen dan puisi dapat aku selesaikan dengan cepat. Penjurian seratus manuskrip cerpen bisa aku selesaikan dalam waktu dua hari. Karya puisi jelas lebih cepat. Aku memang belum pernah diminta menjadi juri sayembara novel, meski aku yakin karya novel juga dapat dinilai dengan cepat. Kecepatanku dalam melakukan penjurian justru menjadi daya jual. Panitia sayembara semakin banyak berdatangan memintaku menjadi juri karena mengetahui kecepatanku dalam memberikan penilaian.
“Kami mengucapkan banyak terima kasih karena Anda telah melakukan penjurian dengan sangat cepat. Kecepatan Anda dalam menilai karya memang bukan hanya kabar burung, ” kata panitia sayembara A.
“Berikut ada sedikit bonus honorarium karena Anda telah menyelesaikan penilaian lebih awal dari tenggat kesepakatan. Memang tidak banyak. Kami berharap Anda tidak kapok menjadi juri untuk sayembara kami selanjutnya,” kata panitia sayembara B.
“Senang sekali bisa bekerja sama dengan Anda. Sebagai juri, Anda selalu bersedia memperhatikan catatan-catatan kami dalam pemilihan pemenang,” kata panitia sayembara sastra C.
Kecepatanku sebagai juri sayembara sastra sebenarnya hanya soal teknik. Jika panitia memintaku memilih lima puluh sampai lima belas karya terbaik, tentu aku akan memilih judul-judul karya yang menggugah keinginan untuk membacanya. Bagaimana sebuah karya menjadi menarik jika judulnya saja sudah tidak menarik? Tahap ini adalah tahap pertama yang aku lakukan ketika menilai karya.
Bayangkan betapa mudah prosesnya. Tanpa perlu membaca keseluruhan isinya, dalam satu hari aku mampu menggugurkan separuh lebih karya hanya dengan membaca judulnya saja. Jika panitia memintaku memilih sepuluh karya terbaik, tentu aku tinggal memilih sepuluh judul karya yang menarik sembari memperhatikan catatan-catatan dari panitia sayembara.
Sebenarnya pekerjaanku menentukan juara semakin mudah dengan keberadaan catatan-catatan panitia. Biasanya mereka sudah memberikan catatan nama-nama penulis yang perlu dimasukkan ke daftar pemenang. Panitia biasanya memberikan catatan tersebut ketika aku harus memilih sepuluh besar pemenang. Penentuan sepuluh besar dari peringkat sepuluh hingga peringkat empat biasanya harus diisi dengan kombinasi penulis senior dan penulis junior.
“Anda harus memasukkan nama-nama penulis baru di dalam daftar pemenang sepuluh besar. Jika semua juara diisi oleh penulis yang telah menerbitkan karya, maka penulis-penulis pemula enggan mengikuti sayembara kami selanjutnya. Penulis-penulis pemula akan berpikir bahwa saingan mereka di sayembara kami terlalu berat,” pesan panitia sayembara D.
“Nama Karto Senja harus masuk dalam urutan lima besar. Kompetisi ini terselenggara karena beliau merupakan salah satu donatur kami. Kemudian nama Karti Pagi harus dimasukkan dalam sepuluh besar. Meskipun Karti Pagi penulis baru dan karyanya tidak memenuhi kriteria, dia harus tetap terdaftar sebagai juara karena dirinya adalah anak dari Karto Senja. Sayembara ini harus menjadi bukti berita bahwa darah kepenulisan Karto Senja telah muncul dalam diri anaknya. Berita-berita akan menyoroti sayembara ini sehingga membawa keuntungan bertambahnya pengikut akun media sosial kami,” pesan panitia sayembara E.
“Kami dari panitia berpesan untuk memasukkan nama Gembong Sedeng, Gandi Semeru, Tri Asmara, Yudojiwo, dan Arahyunanik, ke dalam daftar sepuluh besar. Empat penulis ini sedang naik daun karena produktivitasnya. Karya Gembong dan Yudojiwo memang selalu bertengger di media massa cetak dan digital, sedangkan Arahyunanik rajin memenangkan beragam sayembara sastra media sosial. Jika mereka tidak menang, kami takut mereka akan tersinggung. Mereka-mereka ini adalah ‘Wajah Segar Penulis Baru Indonesia’,” kata panitia sayembara G.
Ketaatanku kepada panitia akhirnya ikut menjadi daya jual. Aku jadi semakin laku dalam ranah penjurian sayembara sastra media sosial. Setelah terlibat dalam obrolan singkat bersama beberapa panitia, ternyata tidak semua juri–yang adalah sastrawan–setuju dengan catatan yang diberikan panitia. Beberapa dari mereka dengan tegas menolak sambil mengatakan catatan-catatan itu menodai estetika. Ada juga yang memilih untuk mengundurkan diri menjadi juri ketika menerima catatan-catatan dari panitia.
Betapa bodoh keputusan itu. Apa sulitnya mengikuti kemauan seseorang yang jelas-jelas akan memberi kita makan? Kewajiban seorang pekerja adalah mematuhi atasan yang memberikan pekerjaan dan penghasilan. Ketika panitia memberikan arahan, maka sudah kewajibanku sebagai pekerja mereka untuk mematuhi arahan itu. Penerbit yang mencetak dan menerbitkan karya-karyaku saja selalu patuh dengan permintaanku untuk meniadakan beragam proses seleksi dan kurasi, setelah aku memberikan honor cetak dan terbit lebih besar sekian persen dari tarif normal.
Sudah seharusnya para sastrawan–yang diminta menjadi juri sayembara semacam ini–menyadari bahwa penjurian bukan hanya soal estetika, melainkan keuntungan kedua belah pihak juga.
Namun sebuah pekerjaan selalu membawa tantangan. Kali ini panitia memintaku memilih sepuluh peringkat juara dari dua ratus manuskrip cerita pendek. Seleksi judul yang biasa aku lakukan telah menggugurkan seratus delapan puluh karya. Orang-orang ini masih perlu belajar menyusun judul cerpen yang menarik. Lagi pula mereka yang tersisih akan melupakan rasa kecewa soal biaya pendaftaran usai memperoleh sertifikat keikutsertaan. Dengan cara ini, mereka yang tersisih di awal akan berbesar hati tanpa mengusut intrik-intrik yang ada. Tugasku kini tinggal mengurus sepuluh nama yang menjadi formasi juara.
Panitia telah memberi tujuh nama penulis di dalam catatan. Mereka terdiri dari satu penulis donatur sayembara, tiga penulis senior yang sudah jarang menerbitkan karya, dan tiga orang penulis baru yang terkenal tiga bulan belakangan. Otomatis aku tinggal perlu mencari tiga penulis yang akan menyandang gelar juara. Urutan sepuluh hingga urutan enam aku susun dengan memberikan variasi antara penulis senior dan penulis junior. Urutan lima aku isi dengan nama sastrawan donatur sayembara ini agar dia tidak terlalu merugi. Urutan empat aku isi dengan sastrawan senior yang pernah memberikan endorsement untuk antologi cerpen pertamaku. Hitung-hitung balas budi. Uang hadiahnya bisa untuk menyambung hidup. Aku juga punya kebajikan dengan memperhatikan nasib penulis-penulis senior yang rela ikut sayembara semacam ini demi mendapat penghasilan tambahan.
Persoalan terbesar justru menentukan urutan dua dan urutan tiga. Ada dua sastrawan yang menarik bagiku, Tajiayam Agung dan Gembong Sedeng. Tajiayam menulis cerpen bertema kerusakan alam–atau menurut istilah sastrawan akademisi disebut cli-fi–yang bercerita tentang penebangan pohon terakhir di bumi karena akan digunakan sebagai kertas untuk menerbitkan karya novelis keturunan penulis cli-fi ternama, Arman Asbad.
Setelah menggali informasi lebih jauh, ternyata Tajiayam Agung benar-benar penulis pemula. Belum ada cerpen atau puisinya yang diterbitkan media massa. Prestasi tertingginya adalah menempati tiga puluh besar salah satu sayembara sastra media sosial untuk nomor cipta puisi. Bagaimana bisa seseorang berpotensi seperti Tajiayam hanya mendapat peringkat tiga puluh besar? Sudah pasti juri sayembara itu hanya menempatkan namanya secara sembarangan.
Gembong Sedeng dikenal sebagai penulis baru yang langsung produktif menghasilkan karya. Aku sangat menghormati beliau meskipun usianya lebih muda dariku dua tahun. Beliau menulis cerpen tentang tradisi perburuan macan di Sawahlunto Sumatera Barat. Setelah debut menerbitkan antologi cerita pendek, Gembong langsung menerbitkan puisi dan novel tanpa henti setiap tahunnya. Rasa hormatku pada beliau semakin besar ketika karyanya sebagian besar diterbitkan oleh penerbit mayor. Jika diterbitkan oleh penerbit indi, karyanya tidak pernah absen dalam daftar nominasi penghargaan karya sastra bergengsi. Sebagai penulis yang belum lama terjun ke dunia penulisan, kemampuan menulis dan kualitas karya Gembong dapat dikatakan setara dengan sastrawan-sastrawan senior lainnya.
Jika berbicara soal selera, sebenarnya cerpen Tajiayam lebih layak menempati peringkat kedua. Kerusakan iklim tengah menjadi topik yang seksi di beragam medium. Aku menilai Tajiayam memiliki kepekaan terhadap isu lingkungan sekitar, dan mampu menulis dengan perhatian terhadap estetika sehingga menghasilkan cerpen yang adiluhung. Namun akhirnya Gembong tetap aku tulis sebagai juara kedua dan Tajiayam sebagai juara ketiga.
Pertimbanganku adalah Gembong Sedeng pernah membeli novelku yang ketiga dan membantu menawarkan novelku kepada rekan-rekannya. Beliau juga bersedia memberikan endorsement untuk buku terbaruku yang sedang dalam proses cetak. Kebaikan dan sikap rendah hati Gembong Sedeng memang luar biasa. Jika aku memberinya peringkat di bawah penulis pemula, aku takut beliau lantas tersinggung dan mengurungkan niat untuk membantu melariskan buku terbaruku nantinya. Sudah sepantasnya Gembong mendapatkan sesuatu yang lebih, dibanding sosok Tajiayam yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Lagi pula Tajiayam seharusnya tetap berbangga karena karyanya bukan hanya dibalas sertifikat keikutsertaan melainkan juga menerima hadiah uang pembinaan dari panitia sayembara.
Juara pertama tidak perlu aku pertimbangkan dengan rumit. Sebelum aku menerima manuskrip-manuskrip dari para peserta, namanya telah aku tetapkan sebagai juara pertama. Arahyunanik menjadi juara pertama sayembara sastra media sosial kali ini. Arahyunanik adalah nama pena yang aku pakai khusus untuk mengikuti beragam sayembara sastra media sosial. Setiap kali aku diminta menjadi juri dalam suatu sayembara, aku langsung ikut mengirimkan karya dengan menggunakan nama Arahyunanik. Aku akan memberikan nilai yang paling tinggi pada semua aspek, sehingga karya Arahyunanik–karyaku sendiri–dinyatakan meraih kemenangan. Tentu panitia tidak akan sempat dan peduli untuk menyelidik identitas asli nama pena. Mereka selalu sibuk membuat sertifikat, mengirim hadiah kepada pemenang, menghitung keuntungan dari biaya pendaftaran, dan menyiapkan sayembara selanjutnya. Seperti yang sudah-sudah, panitia hanya akan mengirimkan seperangkat hadiah ke alamat Arahyunanik–kepada diriku sendiri.
Kini daftar pemenang telah aku kirim kepada panitia. Tak sampai menunggu lama, mereka membalas pesanku sambil mengucapkan terima kasih karena penjurian selesai lebih awal. Mereka juga mengucapkan terima kasih karena ketaatanku memasukkan nama-nama pesanan ke daftar pemenang. Sekarang aku hanya perlu menunggu. Menunggu uang honorarium penjurian, bonus kecepatan penjurian, dan uang pembinaan sebagai juara pertama sayembara. Menunggu permintaan panitia sayembara lain datang untuk memintaku menjuri sayembara selanjutnya.
***
Kutoarjo, 07 Desember 2021