Pemasaran produk sekali pakai semakin masif. Produsen memakai klaim kemasan yang lebih efisien dan harga yang lebih terjangkau dalam mempromosikan produk. Padahal, ada masalah besar di balik kehadiran produk-produk tersebut. Seperti pengelolaan sampah yang belum berhasil dilakukan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Kemana sampah-sampah kemasan sekali pakai yang mengandung plastik ini berada? Terpisah dalam wadah sampah kering atau ikut hanyut bersama aliran air di sungai? Pertanyaan ini bukan saja ditujukan kepada masyarakat sebagai konsumen, tetapi juga kepada produsen sebagai pihak yang secara masif memproduksi, serta kepada pemerintah yang mempunyai hak dan kewajiban dalam menjamin pengelolaan sampah.
“Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.”
Begitulah bunyi Pasal 15 Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam pasal tersebut, secara hukum jelas bahwa produsen wajib mengelola barang yang telah diproduksi. Namun, dalam implementasinya, masyarakat sendirilah yang masih harus bertanggung jawab penuh atas pengelolaan produk sekali pakai.
Keterlibatan produsen dalam pengelolaan sampah ini berkaitan dengan prosedur peta jalan pengelolaan sampah yang telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) No. 75 Tahun 2019. Keterlibatan tersebut meliputi: produksi penggunaan bahan yang mudah diurai, pendaurulangan sampah, dan pemanfaatan kembali produk melalui penyediaan fasilitas penampungan.
Namun, nyatanya, produsen malah semakin masif memasarkan produk sekali pakai kepada masyarakat dengan pola promosi efektif, efisien, dan terjangkau. Selain itu, tidak banyak juga produsen yang menyediakan fasilitas penampungan kembali sampah, atau program signifikan yang mendorong masyarakat untuk mengembalikan produk yang telah menjadi sampah. Bahkan, masyarakat sebagai konsumen publik pun tidak tahu-menahu bagaimana selama ini kebanyakan produsen mengolah kembali produknya yang telah menjadi sampah.
Baca juga:
Minimnya Fasilitas Pembuangan
Tidak hanya produsen yang tak menunjukkan greget tanggung jawab terhadap sampah yang diproduksinya. Pemerintah, sebagai penjamin dan penegak hukum, juga absen dalam penanganan sampah. Masih banyak masyarakat di perkotaan maupun di daerah yang tidak mendapatkan fasilitas pembuangan dan pengangkutan sampah. Hingga akhirnya, masyarakat terpaksa membuang sampahnya ke sungai, membakarnya di depan rumah yang jelas menimbulkan polusi, atau juga melempar bebas sampah ke lahan sekitar yang kosong.
Karena jumlah bank sampah atau tempat pemrosesan akhir yang minim, masyarakat yang telah sadar melakukan pemilahan sampah sendiri pun harus rela mengeluarkan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk mengantar sampah yang telah dipilah ke bank sampah.
Selama ini, sosialisasi dan kolaborasi pemerintah dengan masyarakat kurang komprehensif dan konsisten. Hanya ada program sesaat tanpa adanya evaluasi atau peninjauan kembali. Kenyataannya, pemerintah sendiri tidak menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi dan penyediaan fasilitas sarana dan prasarana pembuangan dan pengelolaan sampah.
Absennya Pemerintah dan Produsen
Hasil studi Unilever Indonesia yang bekerja sama dengan Sustainable Waste Indonesia dan Indonesia Plastic Recycles menunjukkan bahwa saat ini sebesar 11,83% sampah plastik di perkotaan Pulau Jawa berhasil didaur ulang. Selebihnya, 88,17% diangkut ke TPA dalam keadaan telah tercampur dan berserakan di lingkungan sekitar.
Sebagai upaya mewujudkan ekonomi hijau Indonesia dalam mengurangi sampah sebesar 30% pada tahun 2029, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang telah mendorong produsen untuk mengurangi produksi kemasan sekali pakai dan menggantinya dengan produk daur ulang. Namun, entah sejauh mana harapan ini dikerjakan secara konsisten dan komprehensif. Malahan, produk sekali pakai pada produk yang dikonsumsi masyarakat kini semakin menjamur. Contohnya galon sekali pakai yang beberapa waktu lalu memantik perdebatan publik.
Pemerintah seolah memanjakan para produsen dengan kelonggaran hukum yang berlaku. Tidak ada upaya signifikan untuk melihat sejauh mana produsen telah menjalankan kewajiban dalam mengolah produknya yang telah menjadi sampah. Adapun produsen yang telah mendaur ulang sampah harus berjalan sendiri tanpa ada keterlibatan pemerintah yang tak mampu mengakomodir.
Masyarakat memanglah yang membeli, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk. Namun, pekerjaan pengelolaan ini bukan pekerjaan sepihak yang hanya dibebankan kepada masyarakat. Bahkan, lama kelamaan, kesadaran masyarakat bisa menurun hingga enggan memilah, membuang, dan mengelola sampah dengan baik karena absennya produsen dan pemerintah dalam membangun semangat kesadaran bersama.
Untuk menjaga kesadaran bersama, perlu kolaborasi secara komprehensif dalam pelaksanaan sosialisasi, pengawasan, penegakan hukum tegas, dan evaluasi secara teratur. Segala kewajiban ini harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya slogan saat peringatan hari bumi atau hari lingkungan hidup.
Agar kesadaran masyarakat meningkat dan tidak terus-terusan bertanggung jawab sendirian atas masalah sampah, perlu ada upaya serius dari pemerintah sebagai regulator dan penjamin pelaksana, serta tanggung jawab produsen dalam urusan pengelolaan sampah.
Semoga kita selalu ingat bahwa penyelesaian isu lingkungan ini perlu dukungan yang berkesinambungan. Menjaga keseimbangan lingkungan hidup di bumi adalah tantangan bersama. Sudah seharusnya kita berkolaborasi dan berintegrasi.
Editor: Prihandini N