A writer willing to linger in the book corner even just wading through a page-turner

Salju di Puncak Musim Sakura

Asep Wijaya

6 min read

Naru hana o

oikakete yuku

Arashi Kana1

 

Bunyi bangkis yang berulang dari salah satu kamar di lantai dua membuatku tersentak dari lamunan. Ogawa-san yang belum lama menata baki saji makanan langsung menyetop ligat gerak tangannya dan menghambur menuju tangga. Ia mengecek ke satu per satu kamar pasien hingga kemudian mendapati gorden penyaput jendela di kamar Yamada-san berkelebatan tertiup angin. Rupanya aku lupa menutup pintu jendela kamar dan membiarkannya setengah terbuka usai souji².

 

Ogawa-san yang kembali bersisian denganku sontak memuntahkan teguran untuk tidak lagi lupa menutup jendela kamar pasien. Sebab, Yamada-san menderita kafunsho³. Ia akan sangat tersiksa kalau serbuk sari yang terbang bersama angin menyelinap masuk ke kamarnya dan hinggap di hidungnya. Terlebih, dunia sedang dilanda pandemi. Jadilah bunyi batuk atau bangkis yang berulang akan sangat mengundang cemas.

 

Kalau sudah kena tegur begitu, aku langsung meminta maaf sambil membungkukkan badan seperlunya dengan harapan supaya kelalaianku tadi tidak masuk ke dalam daftar kesalahan harian. Namun, respons Ogawa-san yang dingin menguapkan asa itu. Ia hanya mengangguk untuk kemudian menatapku dan mengarahkan telunjuk ke salah satu piring sebagai isyarat agar aku segera kembali menata hidangan untuk santap siang penghuni panti jompo.

 

Aku yakin, Ogawa-san adalah satu-satunya orang di panti yang sanggup menoleransi kesalahan kerja semacam itu. Biasanya, dengan kealpaan yang kubuat, wajah rekan kerjaku pasti sudah berubah masam dengan mulut yang bersungut menggumamkan ocehan yang tak kumengerti sepenuhnya. Kelalaian itu akan dicatat dan menjadi poin pembahasan di rapat pergantian sif. Namaku pun akan terus dipergunjingkan selama sepekan atau setidaknya hingga terjadi kesalahan lain yang lebih besar. Aku begitu paham akan hal itu karena pernah beberapa kali mengalaminya. Namun, dengan Ogawa-san yang menjadi partner kerjaku, kekhawatiran itu sedikit teratasi.

 

Sambil menata hidangan, ocehan penyiar berita di televisi tiada hentinya mengabarkan krisis iklim yang terjadi di Jepang. Kata si penyiar, salju bakal turun di puncak musim sakura. Fenomena itu jarang sekali terjadi. Kalau sampai kejadian, warga Jepang akan sangat singkat menikmati bunga sakura. Sebab, sakura akan diterjang angin dan disaput salju yang kemudian akan menghentikan perkembangan bunga. Namun, bukankah suasana kota akan menjadi lebih indah karena kombinasi warna putih dan merah muda?

 

Belum juga terjawab pertanyaan itu, Ogawa-san memintaku segera membasuh wajah dan mengaso sejenak untuk kemudian bersiap menyuapi Yamada-san di kamarnya. Sepertinya, ia mengetahui beban berat yang menggelayut di kepalaku lantaran tatapan mataku terpaku pada siaran televisi meski sedang menyiapkan sajian. Atau mungkin ia masih sebal dengan keteledoranku?

 

Usai mampir di toilet, aku menikmati selesa rehat itu dengan menghela udara di serambi panti sambil menikmati pemandangan pohon bunga sakura yang sedang bermekaran. Di sana, aku menyempatkan diri untuk mengaktifkan ponsel yang sejak sepekan terakhir selalu kumasukkan ke saku rompi kerjaku. Memang semestinya ponsel itu kutaruh di loker panti. Namun, sejak ada kiriman surel dari pacarku, Bara, pekan lalu, gawai itu kubawa serta setiap saat dan terus menemani rasa cemasku.

 

Tentu saja aku tidak nyaman dengan perasaan tersebut. Namun, sungguh sulit rasanya menghindari perasaan jeri itu. Aku begitu bingung. Bagaimana harus merespons surat yang memintaku segera pulang ke Indonesia dan menanggapi tawarannya untuk menikah? Permintaannya pun tidak main-main. Ada tenggat waktu sepekan untuk menjawabnya. Dan itu adalah hari ini.

 

Usiaku memang sudah cukup matang untuk berkeluarga. Namun, memaksaku untuk menikah segera sungguh begitu memuakkan. Bukan aku tak mencintai lelaki yang kupacari sejak awal kuliah itu. Akan tetapi, masih banyak hal yang ingin kujalani sebelum mantap melangkah ke jenjang pernikahan dan menjalani kehidupan rumah tangga.

 

Aku masih harus mengikuti dan lulus ujian kaigo4 agar profesiku tersertifikasi, sehingga rekan kerjaku bisa menerimaku sepenuhnya. Aku juga masih mau pelesiran keliling Jepang seorang diri. Aku pun masih ingin berteman dengan banyak orang tanpa terganggu dengan tanggung jawabku sebagai istri. Pada intinya, aku masih ingin melakukan beberapa hal seorang diri.

 

Namun, di sisi lain, Bara adalah sosok laki-laki yang begitu spesial bagiku. Ia adalah pacar pertamaku. Hubungan kami sudah berusia delapan tahun. Ia mengajariku banyak hal, mulai dari cara berpikir, bersikap, hingga bergaul. Ia juga yang mengenalkanku dengan keindahan puisi yang dari sana pula aku belajar untuk menghayati hidup.

 

Jadi, sangat mustahil bagiku untuk sanggup melepaskannya begitu saja. Apalagi aku sudah kenal dekat dengan keluarganya dan ia pun begitu akrab dengan ibuku. Buktinya, sehari setelah kuterima surat darinya, Ibu menghubungi ponselku yang salah satu ucapannya masih melekat kuat di benakku.

 

“Perempuan kalau menolak lamaran orang bisa kena tulah melajang seumur hidup,” katanya. “Ibu tidak siap melihatmu begitu, Nak!”

 

“Iya, Bu. Kasih Neng waktu untuk pikir-pikir.”

 

“Jangan lama-lama, Nak! Laki-laki itu pantang menunggu lama!”

 

*****

 

Saat memasuki kamar Yamada-san, mataku seketika tertuju pada sebuah vas kaca tempat kombinasi bunga matahari, gerbera, dan mawar berwarna cerah bersemayam. Bunga itu tampak begitu segar meski semestinya sudah harus diganti dengan yang baru. Biasanya, akan ada seorang nenek pembawa bunga yang rutin dua pekan sekali mendatangi Yamada-san. Namun siang itu, ia belum juga datang.

 

Dari desas-desus yang kudengar, nenek itu adalah mantan kekasih Yamada-san sebelum menikahi istrinya yang sudah wafat setahun lalu di panti ini. Sejak ditinggal berpulang oleh istrinya, kesehatan Yamada-san terus menurun hingga ia mengalami kelumpuhan. Pada momen kritis itu, datanglah nenek pembawa bunga yang membuat hari Yamada-san kembali ceria.

 

Laiknya seorang anak, aku selalu menyimak cerita unik dari Yamada-san saat menyuapinya. Meski ia sudah berusia 81 tahun dan tidak lagi mampu menggerakkan tangan dan kakinya dengan sempurna, tetapi Yamada-san masih lancar bertutur. Ia suka berkisah tentang banyak hal. Jika sudah memasuki pengujung musim semi, Yamada-san pasti memintaku menghadapkan duduknya ke arah jendela agar bisa menikmati keindahan sakura. Kebetulan di siang yang agak kelabu itu, kombinasi bunga berwarna putih dan merah muda itu mekar begitu lebat dan indahnya.

 

“Kau tahu makna bunga sakura?” tanya Yamada-san kepadaku yang tentu saja kujawab dengan gelengan kepala.

 

“Sakura adalah simbol harapan dan kehidupan. Bunga ini mengingatkan kita bahwa hidup itu singkat, sesingkat umur sakura yang hanya mekar sempurna dalam lima hari,” katanya dengan tatapan yang begitu dalam ke arah jendela.

 

“Untunglah salju tidak turun di musim ini. Sebab jika muncul, sakura pasti bakal terkoyak dan berguguran sebelum waktunya,” tutupnya sambil menatap lagi ke arahku untuk menerima suapan terakhir.

 

Rupanya, Yamada-san tidak menangkap warna langit yang kelabu dan merasakan tiupan angin di luar yang mulai mendingin. Tentu ia juga belum menyimak ramalan cuaca hari ini. Jika mengetahuinya, ia pasti akan kecewa. Daripada merusak suasana hatinya, aku memilih untuk tidak menanggapi obrolan itu lebih lanjut.

 

“Kamu tahu haiku5?” katanya yang kembali kurespons dengan gelengan kepala.

 

“Ada satu puisi jenis itu yang mesti kamu tahu,” ungkapnya yang kemudian dilanjutkan dengan membacakan salah satunya.

 

なる花を

追いかけてゆく

嵐哉6

 

“Meski singkat, tapi makna puisi pendek ini bikin hati tersayat. Sebab, tiupan badai pada akhirnya akan datang dan meluluhlantakkan bunga sakura. Namun begitu, aku tidak perlu khawatir. Sebab aku masih punya bunga yang bisa kupandangi di kamar ini,” katanya dengan bibir terkembang.

 

Dan selagi ia semringah, kusempatkan waktu untuk menggodanya sebelum keluar kamar. Aku memintanya untuk segera bersiap karena tidak lama lagi pengunjung rutinnya akan datang menemuinya dan memberinya bunga yang segar. Ia pun terkekeh.

 

“Oh iya, Nak, meski kau orang asing, tetap pahamilah filosofi sakura. Apapun masalah yang kau hadapi, berbahagialah, karena hidup itu begitu singkat.” serunya yang kubalas dengan anggukan dan senyuman.

 

*****

 

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Tinggal setengah jam lagi sebelum waktu pulang. Adapun warna langit di luar makin gelap. Tiupan angin pun makin deras menggoyang ranting pohon dan menerbangkan sebagian bunga sakura yang masih segar. Sepertinya, ramalan cuaca yang menyebutkan salju bakal turun pada puncak musim sakura akan segera terwujud. Sambil melanjutkan menulis laporan harian, aku mencuri waktu untuk mengecek pesan di ponselku. Rupanya, ada email masuk 5 menit yang lalu. Ternyata dari Bara. Ia menuliskan surat yang panjang, yang pada pokoknya mau meminta maaf karena harus memutuskan hubungan denganku.

 

Aku kecut. Pikiranku kalut. Bagaimana mungkin Bara memutuskan sesuatu yang sungguh di luar dugaanku? Bukankan hubunganku dengan Bara sudah lama? Tidak semestinya ia mengakhiri semua ini hanya lewat surat elektronik.

 

Belum juga surut gemetar di tanganku, layar ponsel tiba-tiba memampangkan nama ibu. Ibu menelepon! Jantungku serasa mau copot. Apalagi Ogawa-san mulai melirik ke arahku yang mungkin mulai mencurigai gelagat janggalku yang sudah terlalu lama menatapi saku rompi kerjaku.

 

Suasana canggung itu berakhir seturut dengan bunyi bel panti yang berkoak. Tanpa mengacuhkan telepon ibu, aku bergegas menuju mesin intercom untuk menanyakan maksud kedatangan penekan tombol bel. Rupanya, di tangan si tamu tergenggam setangkai bunga shiragiku7. Saat aku menerimanya terlampir pula sepucuk surat untuk Yamada-san.

 

Sore itu, senyum dan aura penuh harap yang selalu tampak dari wajah Yamada-san seketika pudar. Apalagi setelah membaca surat yang terlampir di rangkaian bunga yang masih tergeletak di lengannya. Air mukanya begitu berbeda sekali dengan yang ditunjukkannya sewaktu aku menyuapinya. Sambil duduk, ia terus menatap ke arah jendela seperti ingin memastikan bunga sakura di luar masih mekar dan melekat di dahan. Ia seolah ingin meyakinkan diri bahwa masih ada harapan. Namun, rangkaian bunga berwarna putih di lengannya itu sungguh mengganggu pikiranku.

 

Bukankah itu tanda duka?

 

*****

 

Sesaat setelah pergantian sif, aku beranjak ke kamar salin baju. Dari balik jendela, kulihat di luar salju turun dengan derasnya disertai tiupan angin yang begitu kencang. Tak ayal, sakura di sekitar panti pun berguguran. Bunga itu rontok sebelum waktunya.

 

Di keheranan itu, Ogawa-san mengetuk pintu seraya menyampaikan kabar darurat. “Yamada-san tak sadarkan diri! Sekarang sedang bersiap dirujuk ke rumah sakit!”

 

Aku langsung bergegas menuntaskan salin baju agar bisa segera melihat kondisi Yamada-san sebelum dibawa ke ambulans. Namun, sore itu, yang terlihat hanya rupa kepalanya yang tergolek pada bantal putih. Sementara wajah dan badannya tersaput perawakan petugas medis berbaju putih yang tampak tergesa-gesa menyorong ranjang dorong.

 

Air mataku tiba-tiba meremang saat memandangi iring-iringan petugas medis itu. Aku pun kembali teringat dengan haiku yang dibacakan Yamada-san tentang badai yang datang meruntuhkan sakura. Di saat itu juga, aku pun teringat dengan petikan sajak pemberian Bara yang menjadi penutup surat terakhirnya.

 

“Bangun, Neng, isilah cangkir kebahagianmu itu sebelum kosong membuatnya kering.”

 

“Awake, my Little ones, and fill the Cup

Before Life’s Liquor in its Cup be dry.”

The Rubaiyat of Omar Khayyam, terjemahan Edward Fitzgerald

 

Kanagawa, Desember 2021

Cerpen ini adalah memori saat salju turun menyaput Sakura pada 29 Maret 2020

 

===—===

Keterangan:

¹ Sakura gugur; Lihatlah, badai datang; Ia menerjang

² Souji: Bersih-bersih

³ Kafunsho: Alergi serbuk bunga

4 Kaigo Fukushi-shi Kokka Shiken: Ujian Nasional Perawat Lansia di Jepang

5 Haiku: Puisi khas Jepang yang terdiri atas tiga baris dan memiliki 17 suku kata yang membentuk pola 5-7-5

6 Naru hana o; oikakete yuku; Arashi Kana Sakura gugur; Lihatlah, badai datang; Ia menerjang

7 Shiragiku: Bunga krisan putih, biasanya diberikan sebagai bentuk ungkapan duka cita

Asep Wijaya
Asep Wijaya A writer willing to linger in the book corner even just wading through a page-turner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email