Wacana penambahan waktu cuti melahirkan yang semula 3 bulan menjadi 6 bulan banyak diperdebatkan di media sosial sepekan terakhir. Banyak yang menyambut baik wacana penambahan waktu cuti melahirkan ini, tapi tidak sedikit juga yang khawatir aturan baru ini bisa menjadi bumerang bagi para pekerja perempuan.
Penambahan waktu cuti ini merupakan salah satu poin dari draf RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang sedang digodok oleh DPR dan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Penyusunan RUU KIA ini merupakan perwujudan dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, di mana Indonesia ingin mewujudkan sumber daya manusia unggul dan punya daya saing, salah satunya dengan memberikan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Selain menambah waktu cuti melahirkan untuk ibu, RUU KIA juga menambah waktu cuti untuk bapak menjadi 40 hari.
Dalam naskah akademik RUU KIA, dijelaskan bahwa yang melatarbelakangi lahirnya RUU ini salah satunya adalah tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu pada 2021 mencapai 6.865 orang. Jumlah tersebut meningkat dibanding 2019 yang tadinya 4.197 orang.
Angka Kematian Ibu
Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan oleh banyak faktor. Yang pertama adalah keterlambatan mengambil keputusan untuk merujuk sang ibu ke sarana kesehatan. Saat ini masih banyak daerah yang tidak memiliki rumah sakit dengan fasilitas yang mumpuni. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah rumah sakit di Indonesia sebanyak 3.112 unit pada 2021, tetapi persebarannya tidak rata. Tercatat jumlah rumah sakit di Kalimantan Utara menjadi yang paling sedikit, yakni 11 unit dan Sulawesi Barat dengan 13 rumah sakit. Keterbatasan rumah sakit di beberapa daerah ini menyebabkan ibu yang akan melahirkan tidak mendapatkan penanganan maksimal, terutama ketika terjadi komplikasi pada saat melahirkan.
Yang kedua adalah rendahnya pengetahuan masyarakat serta kompetensi petugas dalam mengenali tanda bahaya pada ibu hamil. Hal ini bisa menyebabkan ibu terlambat mendapatkan penanganan yang tepat.
Faktor ketiga yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu adalah usia yang terlalu muda untuk melahirkan (melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun) atau terlalu tua untuk melahirkan (melahirkan pada usia lebih dari 35 tahun), serta jarak melahirkan yang terlalu dekat (kurang dari 2 tahun). Sedangkan angka kematian bayi berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik mencapai 28.158 jiwa pada 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 20.266 balita (71,97%) meninggal dalam rentang usia 0-28 hari (neonatal). Faktor penyebabnya antara lain karena kelainan perinatal, berat badan rendah, pneumonia, atau infeksi penyakit lainnya.
Baca juga:
Faktor lain yang menjadi latar belakang dari RUU KIA ini adalah faktor risiko kekurangan gizi pada bayi, khususnya pada kasus stunting. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4%. Guna memastikan gizi pada bayi terpenuhi, maka cuti melahirkan pada ibu ditambahkan menjadi 6 bulan, sebab 1000 hari pertama setelah kelahiran adalah masa paling penting bagi perkembangan bayi, dan ibu diharapkan memberikan ASI ekslusif kepada bayinya selama masa 6 bulan pertama tersebut. Itulah yang mendasari perpanjangan waktu cuti menjadi 6 bulan.
Aturan yang Bisa menjadi Bumerang
Perpanjangan waktu cuti melahirkan menjadi 6 bulan tentu saja menjadi angin segar bagi para ibu ataupun calon ibu, hanya saja aturan ini dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi pekerja perempuan. Tidak sedikit perusahaan yang keberatan atas wacana perpanjangan waktu cuti ini, terlebih dengan aturan yang menyebutkan bahwa ibu yang cuti melahirkan berhak mendapatkan gaji penuh di 3 bulan pertama, dan 3 bulan selanjutnya gaji akan dibayarkan hanya sebanyak 70 persen.
Bukan tidak mungkin jika akhirnya para pengusaha akan lebih memilih untuk merekrut pekerja laki-laki daripada perempuan. Hal lain yang mungkin terjadi adalah makin tingginya kesenjangan upah pekerja laki-laki dibanding perempuan, sebab pekerja laki-laki dianggap lebih produktif. Nilai tawar pekerja perempuan pun akan menjadi lebih rendah. Dan efek terburuk yang akan terjadi adalah malah semakin menarik mundur perempuan kembali ke ranah domestik. Kekhawatiran-kekhawatiran ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan pemerintah sebelum memutuskan untuk menambah waktu cuti bagi pekerja perempuan.
Kita patut mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk menambah waktu cuti melahirkan ibu dan ayah. Namun, jika melihat kembali latar belakang lahirnya RUU KIA ini, rasanya untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, selain menambah waktu cuti melahirkan, ada hal lain yang lebih krusial. Jika yang menjadi pokok permasalahan dari lahirnya RUU KIA ini adalah tingginya kasus kematian ibu dan anak, solusi yang ditawarkan seharusnya bagaimana mengurangi dan mengendalikan kasus kematian ibu dan anak. Salah satunya dengan penyediaan fasilitas kesehatan yang mumpuni oleh pemerintah di setiap daerah sehingga kasus keterlambatan penanganan pada ibu melahirkan dapat diminimalisasi.
Selain menyediakan fasilitas kesehatan yang merata, pemerintah juga sebaiknya menyediakan layanan masyarakat untuk memberikan pendampingan khusus bagi ibu, baik selama masa kehamilan maupun setelah melahirkan. Sering kali, faktor yang menyebabkan bayi kekurangan gizi—selain tentu saja kemiskinan—adalah ketidaktahuan dari para ibu akan nutrisi dari makanan yang mereka berikan kepada bayi.
Besar harapan saya, semoga saja RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang memiliki tujuan mulia untuk menyejahterakan ibu dan anak dapat menjadi langkah awal yang baik dari pemerintah untuk mewujudkan sumber daya manusia yang sehat dan unggul.
Editor: Prihandini N