Rumah Mimpi dan Puisi Lainnya

WD Gafoer

2 min read

RUMAH MIMPI

aku bermimpi tentang sebuah musim
yang gugur dalam rangka jendela
tersungkup benih-benih cinta purba
kau duduk memangku tanya dan bila

lambat-lambat kurapikan gelisah
menuntun tanganmu yang putus asa
menyusun sobekan-sobekan kertas di atas meja
dan puntung-puntung cerita yang terlupakan

karena waktu masih harus berlenggang
dalam pelukan yang tak lagi unggun
dalam sentuhan-sentuhan yang mulai pikun
kita menua dan tuli dengan anggun

aku bermimpi
tentang sebuah akronim
yang bersemi dalam kata intim
saat pagi oktober sedang genap
tercecer di kisi-kisi kursi
menunggu november yang ganjil
datang membawa injil

di tepi bantal
aku terbangun
di sepi kamar
dalam mimpi
aku bermimpi

 

KEKASIHKU

inilah hari-hari yang indah
dalam alegori-alegori nan tabah
saat kuncup-kuncup kasturi terbuka
merambah degub-degub yang telah cukup

inilah hari-hari yang gagah
dalam kelam ocehan nuri
padam; berhenti segala keluh hati
menyudahi gelisahnya mimpi-mimpi

inilah hari-hari yang basah
di malam-malam yang esa
kau dan aku
kekasihku

 

DI AMBANG PINTU

dengan tanpa alasan
ingatan pasti kembali berdatangan
seperti sore hari saat musim ikan tiba
jauh berlalu tahun-tahun yang sudah

aku berdiri di tepi jalan lama
di bahu setapak yang menyatukan
kuburan dan pohon mangga;
melihat satu per satu wajah-wajah muram
menapaki kepulangan demi kepulangan
menuju beranda rumah dengan langkah ringan

roman-roman yang tak mudah lapuk di rayap waktu
pada ‘gaki-gaki’ ikan yang masih berdarah
di tangan para nelayan
pada kilauan mutiara yang masih basah
dalam dada-dada mereka
dan deru ombak yang tertinggal jauh di belakang sana
melambaikan tekad dan keinginan

aku sendiri di tepi jalan lama
saat dunia terkoyak dalam kebencian
harapan-harapan yang tersedak dalam tenggorokan
senja yang kelam kian berbilang
sedang malam akan datang terburu-buru
merasuki dinding rumah-rumah tua
aku berdiri di ambang pintu
menunggu ayah meracik huruf demi huruf
merapal kata demi kata
sambil mengelus-ngelus ketakutan
di pundakku yang sedang goyah
ia berkata:

“Jangan menangis, nak
jangan sia-siakan air mata;
Tuhan akan terbahak-bahak
—jika itu kau lakukan.”

pilih nafasmu–hidup matimu
di manapun langkah berpijak
tegaklah berdiri menantang kehidupan

 

HALIMA

setelah berbagai bila dan andaikata
Halima tiba untuk yang terakhir kalinya
saat Arjuna sedang duduk
mencukur bulu kuduknya

Halima tega,
Halima mau
tapi Halima dilema;
berpisah dengan Arjuna
atau melepas celananya
atau tidak kedua-duanya
Halima ingat suatu malam
ia pernah memergoki Arjuna menggigit lidahnya
pernah pula melihat Arjuna mengencingi kuburan ayahnya
lagipula Arjuna memang anjing yang hemat dan jinak

tapi anjing-anjing biasanya akan liar pada waktunya
begitulah yang bergumam dalam kepala Halima
tapi Arjuna bilang “itu halusinasi saja”
Halima ragu-ragu menabur sianida ke dalam hatinya

Halima tega
Halima mau
tapi Halima lupa;
baru saja sedetik yang lalu
Arjuna jatuh sebagai sisa-sia makanan
sia-sia rasanya Halima membanting pintu
(kamar mandi di kamarnya)

Halima sadar, dipeluknya bantal kepala
sambil lalu tertidur sepulas-pulasnya

 

ARJUNA

Kami bertemu,
dan rupanya ia telah pensiun
dari mabuk bertahun-tahun
masalahnya mereka yang mati lebih dulu
para bandar seloki itu
hanya mewarisi padanya
botol-botol infus
nomor antrian
sekali seminggu
merayu Tuhan
di rumah sakit

Arjuna menatapku dengan cermat
ia mencari sesuatu dalam mataku
mungkin karena Halima pernah tinggal di situ
tapi Halima sudah mati
dengan membawa serta sendalnya
sendal jepit milik Arjuna

setelah berjam-jam
di bawah terik lampu
kami mendapati gerombolan semut
menyerbu jantung Arjuna
menghancurkan tulang rusuknya
mengunyah urat-urat nadi
sampai tak tersisa

Arjuna panik,
bangkit dari kursi pengantin
Arjuna bingung,
“Halima sudah mati,”
“Arjuna yang menguburnya.”
tapi Halima ada dalam mataku
dengan sendal jepit milik Arjuna
melompat-lompat dengan bahagia

Arjuna merampas pena-ku
dengan malu-malu
meneriakkan kegilaannya;

“Ulo! Ulo! Ulo! …”
“Halima, Dilema, Delima-ku”
“Siapa yang tahu dia dimana?”

“Aku hanya ingin mabuk,
Kelimpungan menabrak bibirmu dengan sengaja,
Aku ingin mabuk, tanpa ciu dan anggur,
Cukup segelas gelisah dan selinting cemburu.”

Arjuna belum bangun dari pingsan
belum pulih sepenuhnya
ia masih bertanya mengapa
Halima yang dilema
delima yang dicintai Arjuna
dibawa lari anjing liar
dan tertidur pulas
di sebelah laki-laki
yang bukan Arjuna

WD Gafoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email