“Ceker ayamnya dikumpulkan semua di dalam baskom hitam, nanti biar Mbah Dolah doakan sebelum dimasak.”
Tiap Jumat, entah hujan ataupun badai, rasanya tidak pernah berujung. Situr tidak memungkiri bahwa malam Jumat di rumahnya tidak hanya berlangsungkan doa-doa yang entah didengar Tuhan atau tidak. Malam Jumat di rumahnya berarti juga pesta makanan. Orang-orang akan berkumpul di rumah Dolah Rosyid, tak terkecuali anak-anak seusia Situr. Sorak para pemuda di bagian dalam rumah menjadi sirkadian, mereka suka sekali menonton apa pun yang ditayangkan, bahkan jika hanya siaran berita di TVRI. Sang pemilik rumah menyediakan televisi yang tidak mewah, tapi setidaknya ia tidak pelit seperti Kades Kadirun yang membeli kotak bergambar itu untuk dirinya sendiri. Mbah Dolah dikenal sebagai orang yang baik, tabib yang mujarab, juga dukun yang mumpuni. Kalaupun kau cuma sakit gigi, dia hanya akan memberikanmu sepotong tahu yang sudah dibisik-bisiki mantra. Sekalinya dimakan, langsung hilang rasa sakitnya.
Tentu saja masalah sakit para manusia yang bertengger ke rumah Dolah bisa bermacam-macam. Situr ingat ketika ia—sebagai cucu ketiga Dolah Rosyid—mendapati seorang pria asing berkulit putih yang nyaris tak bisa kencing. Kelaminnya turun, entah kalau bahasa sekarang disebutnya apa. Tidak cuma penis (dan rangkaiannya pula) yang turun itu, kulitnya melepuh di beberapa bagian dan ia nampak selalu kesulitan berjalan.
“Ubah namamu,” ujar Dolah tegas. “Jangan pakai nama yang perkasa. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi namamu terlalu berat untukmu yang lembut. Kunamai kau Slamet Tembayat.”
Tiga bulan pria dengan penis turun itu menginap di rumah Dolah. Menjadi satu bagian dengan keluarga Dolah dan diasuh oleh Minten, istri Dolah Rosyid. Seperti ia mengasuh anak-anaknya sendiri saat mereka masih bayi. Ia basuh tubuh pria dewasa itu, ia cuci penis pria itu juga seolah membasuh penis anak laki-lakinya saat mereka belum bisa kencing dengan benar. Hari demi hari, Dolah hanya akan membaca-baca sesuatu di ruangan tempat Bayat tidur sehari-hari. Selebihnya ia tinggal ke ladang, bersemedi, pokoknya hanya itu waktu di mana mereka bertemu. Tepat dua bulan berlangsung dan kencing pria itu sudah tak pernah sakit lagi. Tiga bulan kemudian barulah pulih sepulih-pulihnya pulih dan Dolah hanya berpesan sebentar sebelum sesi pengobatannya benar-benar selesai.
“Pergi dan tinggallah di Danaraja. Selain namamu yang perlu diubah, kau juga perlu tinggal di tempat lain. Singaraja tidak cocok untukmu, terlalu lantang, dan kau yang terlalu lembut, anakku.”
Sejak saat itu Bayat pergi meninggalkan rumah dan keluarga Dolah. Tak pernah ada yang tahu apakah Bayat benar-benar pergi ke Danaraja atau tidak, seperti perintah Dolah.
Selain Bayat, ada banyak sekali sebenarnya orang-orang yang sering pergi ke rumah Dolah. Tidak hanya orang yang mengharapkan kesembuhan, orang yang mengharapkan kekuasaan kekal dan penuh ambisi pun sering mampir. Dari sanalah tiap Jumat rumah Dolah bisa menghasilkan sebaskom ceker ayam jago kekar-kekar itu. Orang-orang itu biasanya datang dengan berkuda. Kuda jantan yang gagah perkasa luar biasa, tidak mungkin peranakan kuda Jawa yang bungkuk dan kecil. Kuda jantan orang-orang itu mengilap indah, biasanya warnanya kalau tidak hitam, ya cokelat.
Para perempuan sibuk berkutat di dapur, merajang beragam bahan bumbu sebagai olahan. Tak ada satu pun yang mengeluh, toh nanti bisa membawa sebakul masing-masing untuk menyuapi anak. Selepas itu, dengan makan ayam tiap minggunya pun susu mereka jadi lebih montok untuk menetek suami. Mereka sudah terbiasa memasak di rumah besar Mbah Dolah Rosid, tanpa henti, tiap Jumat. Kaki mereka seperti sudah disetel untuk bisa berdiri berjam-jam di depan gentong yang memancarkan uap panas yang cukup membuat gosong wajah.
***
Dolah Rosyid memang sudah hidup sejak Jepang masih memerintah Nusantara. Ia menikah dengan Suti tanpa persiapan apa pun, hanya berjodoh karena dipertemukan oleh kedua orangtua mereka. Suti dari kabupaten sebelah, desanya bernama Gerdiyah. Mereka menikah di umur 19 tahun, kemudian mempunyai anak tunggal perempuan yang kemudian diberi nama Subuh, karena lahir pagi buta.
“Aku hendak berangkat ke Harjuna,” ujar Dolah. “Kalau ada pejabat yang mencariku, bilang saja untuk kembali lagi besok.”
“Hati-hati, Kang,” jawab Suti pendek. Ia segera memakai kebayanya, kemudian beranjak untuk bekerja.
Jarang sekali ada istri orang terpandang seperti Dolah yang tetap mau bekerja. Ini juga mengherankan, sebab semua orang tahu, Dolah merupakan dukun sakti yang namanya sudah harum sampai ke pelosok negeri. Namun, tidak ada yang menanyakan lebih lanjut. Orang-orang hanya sebatas tahu bahwa Suti bekerja bantu-bantu di rumah seorang pejabat Jepang. Siapa dan di mana rumahnya, Suti tak pernah bilang.
Sampai pada kejadian itu. Tugem mengabarkan pada semua orang bahwa Dolah Rosyid hampir ditangkap oleh orang Jepang.
“Alasannya?” tanya Pariyem, anak yang masih diteteknya kemudian menangis sebab ibunya bergerak-gerak dengan tergesa-gesa. “Tidak boleh begitu! Tidak boleh ada yang mengambil juru makam Harjuna! Nanti malam bapakku akan dimakamkan. Aku butuh Pak Dolah!”
Orang-orang lebih ribut lagi, tapi tidak ada yang benar-benar mencari di mana istri Dolah. Tugem hanya membalas bahwa Dolah memanjat pohon kelapa saat sedang dikejar prajurit Jepang itu, kemudian entah bagaimana, para prajurit itu seperti kebingungan dan meninggalkan Dolah di atas pohon. Semua orang juga setuju bahwa menangkap Dolah bisa menjadi perkara yang sangat sulit, sebab orang itu klenik, para prajurit itu pasti diberi mantra.
Kemungkinan lain, ada suatu hal yang ingin dibicarakan pihak Jepang dengan Dolah. Kalau memang Dolah telah berbuat salah, pasti dia akan ditembak di tempat. Meski begitu, orang-orang lebih percaya bahwa para prajurit itu berhenti mengejar Dolah karena diberi mantra.
Di situ, hanya Subuh, anak semata wayang Dolah yang sudah mulai belia, yang hanya terpekur. Ia juga tidak benar-benar mengkhawatirkan bapaknya. Ia masih sibuk melihat cermin, mendapati kulitnya yang makin putih bukannya kuning langsat. Matanya yang sipit, dan hidungnya yang kecil. Para pemuda kampung memujanya. Sebagian mengatakan bahwa kecantikannya lebih mirip kecantikan orang Jepang dibanding orang Jawa.
***
Editor: Ghufroni An’ars