Rumah Bapak

Kaisar Deem

13 min read

Hampir semua orang akan menyebut rumah yang terletak di salah satu sudut perempatan utama kota itu sebagai rumah Pak Djafar. Tak ada yang salah, kecuali bahwa penamaan itu terdengar aneh apalagi jika mereka sedang berbicara denganku, anak dari lelaki yang dimaksud.

Alih-alih bertanya apakah aku akan tidur di rumahku malam ini, mereka, seolah tak peduli dengan keberadaanku justru menyebut lengkap nama bapakku.

“Jadi kau akan menginap di rumah Pak Djafar malam ini?”

Aku menduga ini adalah latah yang telah berlangsung lama, mengendap dalam kesadaran orang-orang kota dan terhubung jauh ke belakang sewaktu konflik yang mengakibatkan kematian Bapak.

***

Aku tiba pukul delapan menaiki angkutan antar kabupaten dan sedikit terkejut karena malam di sini terasa sangat hidup seolah kehidupan baru saja dimulai. Suara mesin minibus yang berlalu segera berganti bunyi denting mangkuk dan sendok tukang bakso, penjual kacang, suara sempritan tukang parkir di sebuah toko perbelanjaan seberang jalan.

Sewaktu usiaku delapan tahun, kota ini tak lebih dari rumah-rumah tembok sederhana beratap seng yang dibangun di sepanjang jalur lintas kabupaten. Jalanannya dipenuhi lubang sana-sini akibat gilasan roda mobil-mobil truk sepanjang hari. Kini semua citra itu telah lenyap digantikan oleh nuansa gemerlapan lampu neon berwarna-warni. Bangunan dua tingkat, kafe dengan nama syahdu yang asyik dilafalkan lidah, dengan muda-mudi berpakaian modis yang tertawa-tawa di balkon atas. Lampu reklame penanda minimarket berdiri sejauh mata memandang.

Aku meregangkan badan sebentar dan berpikir. Kunaikkan kembali ransel kecil ke punggung dan berjalan kaki ke Warung Haji Basok.

Dari depan tak banyak yang berubah dari bangunannya. Rumah makan kecil itu tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya dua puluh tahun lalu. Dulu bangunan itu diapit oleh pabrik pupuk dan satu keluarga Tionghoa yang pintu rumahnya selalu tertutup sepanjang waktu bahkan di hari-hari panas. Warna dindingnya telah pudar dan terkelupas, memperlihatkan berlapis-lapis cat lain di bawahnya. Dari rang kawat berpola wajik aku melihat beberapa lelaki tua sedang asyik bermain domino di sebuah meja.

Yang berjaga adalah seorang lelaki belasan tahun duduk di meja kasir sambil menepuk bayi di ayunan gantung di dekatnya. Ketika aku menyebutkan pesananku, ia mengernyit tak mengerti lalu berpaling ke sekelompok orang tua yang sedari tadi menghentikan permainannya, memperhatikan ketika aku masuk.

“Menu itu sudah lenyap di warung sini, Nak,” sahut seorang bapak. “Mereka tak menjualnya lagi karena orang-orang tua seperti kami yang peduli dengan masakan seperti itu hampir semuanya telah mati.” Lalu mereka tertawa.

Aku berusaha mengenali orang-orang ini. Berharap setidaknya pernah bertemu salah seorang di masa lalu.

“Itu betul,” kataku sesaat kemudian. “Lawar ikan pari makanan kesukaan almarhum Bapak.”

“Kau ini siapa?” mereka bertanya nyaris bersamaan.

***

Bapak meninggal akibat terkena santet. Meski tak mengatakannya secara terang-terangan, hampir semua orang bersepakat bahwa yang membunuh Bapak adalah tetangga kami sendiri. Namun, semuanya tetap menjadi bisik-bisik yang tak keluar dari percakapan meja makan tetangga sampai kemunculanku di tengah-tengah mereka malam ini serupa keran berkarat yang telah lama menunggu untuk dibuka, mendorong setiap orang memberi kesaksian atas peristiwa tersebut.

Beberapa bulan sebelum meninggalnya Bapak, keluarga Yasir Kareng Nuntung, yang rumahnya tepat sebelah kiri rumah kami muncul marah-marah di halaman depan. Mereka adalah suami istri dengan empat anak, salah seorang anak perempuannya yang bernama Andi’ Eka bahkan teman sekelasku di sekolah dasar. Kareng Nuntung mengusir tukang batu yang baru saja didatangkan Bapak untuk memugar dinding depan rumah kami demi kebutuhan perluasan.

Tetangga kami itu berdebat dengan Bapak, mengatakan bahwa beberapa meter tanah yang diukur telah masuk ke pekarangan miliknya.

Aku tak ingat detil perdebatannya meski aku ada di sana bersama orang-orang lain yang berkerumun, tapi peristiwa itu menandai awal dari memburuknya hubungan kami. Malam harinya Bapak dan Ibu terlibat pembicaraan serius terkait kejadian pagi tadi. Haidir, kakakku yang sulung kemudian muncul di kamar berkacak pinggang, mengancam akan menendang pantat kami semua jika melihat ada adik-adiknya yang menyeberang dan bermain di pekarangan Kareng Nuntung lagi.

Yang kutahu setelah itu, Andi’ Eka juga mulai menjauhiku. Di sekolah ia meminta bertukar tempat dengan anak lain di kelas, tak mau menjadi partner dudukku lagi. Aku tanya kenapa, ia malah membentakku, mengatakan bahwa bapakku jahat. Sepulang sekolah aku memberitahukan Bapak, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Bapak berpandangan dengan Ibu lalu membuka mulutnya lama, dan berakhir tanpa sepatah kata pun. Ia kembali ke mesin ketik miliknya, mengetik dengan serius. Belakangan hari kutahu bahwa Bapak sedang menyusun dokumen persidangan setelah keluarga Andi’ Eka membawa masalah ini ke pengadilan.

***

Bapak dulunya bekerja sebagai kepala seksi di kantor kelurahan. Usianya sudah tak muda lagi ketika ia menikahi Ibu, gadis kampung berusia enam belas tahun dari pesisir selatan. Bapak lalu membawa Ibu bersama Haidir, yang saat itu masih menyusu untuk pindah ke ibu kota kecamatan yang baru berdiri, tempatnya ditugaskan mengurusi masalah pertanahan. Waktu itu tahun delapan puluhan awal dan Bapak membeli dengan harga murah sebuah rumah tepat di satu-satunya perempatan yang membelah kota.

Bangunannya, menurut Bapak, lebih mirip kandang kambing Nenek di desa. Dindingnya terbuat dari papan dan atap sengnya beberapa telah lepas tertiup angin. Pada zaman Jepang di tempat itu berdiri sebuah pos jaga untuk mengamankan jalur truk yang mengangkut panenan tebu dari Marajoka ke Makassar. Setelah perang dunia usai dan Jepang pergi, bangunan itu diambil alih gerombolan rampok legendaris Sampara’ Cikku’ yang terkenal sadis di seluruh wilayah, yang sering menghadang para pedagang yang lewat. Secara aneh, bangunan itu berubah menjadi front pertahanan ketika huru-hara besar terjadi di Sulawesi Selatan. Rumah kami, tepatnya bakal rumah kami, dijadikan markas gerilyawan pimpinan Sampara’ Cikku’ yang terpapar patriotisme setelah mendengar belasan anak buahnya dieksekusi oleh Raymond Westerling.

Cerita mereka yang berhasil memukul mundur Belanda agar tak bergerak lebih jauh ke selatan menjadi salah satu, jika bukan satu-satunya dongeng revolusioner yang diturunkan dari generasi ke generasi kota kami.

Itu adalah tahun-tahun awal yang sulit. Beberapa kali Haidir terkena diare, sementara rumah sakit berjarak dua puluh delapan kilometer ke kota kabupaten. Pagi hari Bapak akan keluar pukul tujuh, menenteng tas koper kulit cokelatnya, berisi dokumen-dokumen. Ia mengenakan seragam yang kebesaran tapi selalu disetrika rapi dan berbau deterjen kuat. Penduduk kota menggambarkan Bapak sebagai lelaki santun, serius, dan irit bicara. Sebuah kacamata bersangga di hidungnya, rambut mengilap, dengan dahi tinggi, membuatnya selalu terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Siapa pun yang menyaksikannya berjalan kaki dari rumah ke kantor kelurahan di bawah terik siang hari tak akan bisa menentukan harus bereaksi kagum atau kasihan.

Sementara Ibu adalah tipikal gadis desa yang penurut tapi senang melamun. Bapak menduga ia terlalu merindukan kehidupan lautnya, jadi dibelikannya Ibu bibit bunga untuk ditumbuhkan di pekarangan. Ketika Haidir berusia dua tahun lahirlah Husna dan itu sangat membuat ibu senang. Dua anak yang lahir setelahnya berturut-turut adalah laki-laki, sampai-sampai Bapak cemas tak akan memiliki anak perempuan lagi. Syukurlah Hana lahir setelah itu. Di saat Ibu mulai berbicara tentang keinginannya mengikuti program KB, Bapak sedikit keberatan. Ia mengatakan bahwa lima bukan jumlah yang tepat. Bagaimana jika satu lagi, berharap perempuan supaya jumlahnya seimbang. Ibu bilang itu ide yang bagus tapi mereka tak pernah membicarakan tanggapannya kepadaku ketika beberapa bulan kemudian anak keenam lahir sebagai laki-laki. Itulah aku.

Bisa dibilang keluarga kami adalah generasi antara yang menghubungkan masa lalu kota dengan masa depan. Di bawah rezim pembangunan Soeharto kami menyaksikan perubahan besar-besaran terjadi di kota kecil kami yang di dalamnya Bapak berperan besar. Terkadang Bapak tidak pulang sampai kami semua tidur. Di kantor, Bapak mengurusi banyak sengketa pertanahan, mendebati pegawai tua sok pintar dan tidak efisien. Selain itu warga baru muncul dan mengetuk pintu rumah kami tanpa kenal waktu, berkonsultasi tentang izin membangun rumah. Bapak yang merupakan sedikit di antara orang berpendidikan di kota yang mendahulukan pikir daripada adu jotos sering dimintai bantuan oleh bapak-bapak tentara, termasuk ketika banjir bandang terjadi pada tahun 1991 sebagai dampak proyek bendungan gagal yang menimbulkan perubahan jalur sungai dan memancing protes dari para peladang.

Tapi satu hal yang tak pernah terpikir oleh Bapak bahwa ia akan menemukan dirinya sendiri terseret ke dalam masalah yang selama ini ditanganinya.

***

Di ujung satunya, keluarga Yasir Kareng Nuntung merupakan perpanjangan dari sejarah masa lalu. Kakeknya dikenal sebagai bangsawan sejak zaman kolonial. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan mereka berada di Santiria. Namun, sependek ingatanku mereka telah mendapatkan reputasi istimewa di mata orang-orang. Jika keluarga mereka berkunjung ke rumah kami, Ibu akan mengeluarkan semua isi dapur untuk menjamu mereka dengan baik. Andi’ Eka selalu lolos dari hukuman para guru di sekolah. Suatu hari anak mereka yang lain, Andi’ Rewa, berkelahi dengan pemuda udik dari gunung dalam sebuah festival tujuh belasan. Polisi harus menembakkan pistol ke langit untuk melerai mereka. Keduanya diamankan ke atas mobil polisi, si pemuda udik ditahan di Polsek berhari-hari, sementara Rewa dipulangkan sebelum pagi karena alasan harus bersekolah.

Mengenai tanah yang diklaim keluarga mereka, ini juga tak lepas dari cerita yang diturunkan dari mulut ke mulut. Namun, tak ada cara bagus untuk membuktikan itu selain kesaksian di antara orang-orang yang telah lama mati. Bapak menduga, konflik pagi itu semacam pintu masuk untuk memperkarakan semua tanah yang ada di Santiria. Tak berhenti di rumah kami, empat rumah ke barat, lahan puskesmas, beberapa petak tanah dan tempat bangunan kantor kelurahan juga diklaimnya. Hal ini membuat keluarga Kareng Nuntung berhadapan dengan hampir semua orang.

Di sisi warga, mereka mendorong Bapak sebagai perwakilan. Kareng Nuntung marah besar sehingga memasang patok kepemilikan tanah di depan rumah kami. Di situ tertulis dengan huruf besar nama leluhur mereka, TANAH INI MILIK XXX. Bapak memperingatkan kami untuk tidak terpancing dan setengah tertawa mengatakan bahwa waktu akan membuktikan siapa yang benar.

Bagaimanapun keberadaan benda itu sungguh memalukan buat kami. Aku dan kakakku harus mengambil jalan memutar sepulang sekolah dan masuk melalui pintu belakang demi menghindari pertanyaan dan gosip teman-temanku. Ada saat-saat ketika seseorang berhenti di depan rumah kami, membaca papan itu lama, lalu berpaling ke arah pintu yang tertutup dengan pandangan bertanya-tanya.

Bapak mengakali keluhan kami dengan memindahkan kehidupan rumah ke pekarangan belakang. Bapak mengatur meja dan kursi-kursi kayu di bawah pohon-pohon kelapa yang rimbun. Halaman belakang kami cukup luas. Ada sebuah sumur peninggalan Jepang dan tembok kecil untuk menendang-nendang bola. Sesekali beberapa warga tertuntut muncul untuk membicarakan perkara tersebut dan Bapak selalu bisa mengubah keresahan menjadi semacam acara minum kopi yang santai. Ibu akan mengeluarkan kopi dan penganan kue-kue, sementara Bapak akan mulai memperlihatkan keahlian terpendamnya. Ia mulai membelah ikan pari dengan kelincahan seorang koki profesional. Bapak menyiapkan pembakaran, parutan kelapa, bawang, recak mangga dan cabai. Setengah bercanda ia berkata bahwa meskipun Warung Haji Basok telah mewarisi resep lawar selama turun-temurun tapi ia bisa bertaruh jika dirinya membuka bisnis yang sama maka warung kawannya itu bakal gulung tikar pada hari itu juga.

Hari berganti, dan seperti optimisme Bapak, kebenaran memang berpihak pada kami. Kareng Nuntung menggunakan segala cara untuk menang termasuk membayar pengacara muda dari Makassar yang sepertinya tidak begitu membantu. Haidir, yang selalu bolos sekolah untuk mengikuti persidangan akan menceritakannya kepada kami semua. Menurutnya, ada jurang yang sangat lebar antara pemahaman hukum dan klaim.

“Di masa lalu, para raja memang bebas memiliki tanah tak terbatas, kalau mereka mau kasih orang cukup dengan meludah saja dari atas kudanya dan bilang, dari sini petanda ludahku ini sampai ludah berikutnya kau boleh miliki,” katanya memeragakan di ruang tengah dan kami semua duduk berbaris menonton.

“Jadi, apakah itu berarti rumah kita ini memang berdiri di atas tanah mereka?” tanya Husna.

“Belum tentu. Di hadapan hukum pertanahan modern kepemilikan mensyaratkan bukti sertifikat yang sah. Nah, di masa itu sangat sedikit yang menyadari pentingnya hal tersebut sampai pembangunan di kota mulai ramai dan konflik-konflik pertanahan bermunculan. Kita mesti bersyukur karena Bapak termasuk orang pertama yang memiliki surat itu di kota ini.”

Kami kompak berpaling ke Bapak, dan ia tersenyum sambil mengangkat bahu. Menurutnya, apa yang dikatakan Haidir itu, meski terkesan ngarang, tapi mengandung separuh kebenaran. Bapak menambahkan bahwa gambaran itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kami optimis berada di posisi yang menguntungkan.

Pada hari putusan, aku dan kakakku yang lain meminta izin sekolah untuk pulang lebih awal. Kami mengenakan pakaian terbaik dan dijemput oleh Kepala Puskesmas yang sedari mula mendampingi Bapak dalam kasus ini. Aku tak menyangka bahwa dukungan kepada Bapak begitu besar. Di luar gedung pengadilan, orang-orang kota berkerumun. Mereka menggelar tikar, mengeluarkan rantang berisi nasi dan sop kari, lalu kami makan bersama. Suasananya seperti festival. Satu-satunya yang tidak tersenyum di sana adalah Ibu yang percaya bahwa tindakan orang-orang yang berpesta sebelum waktunya akan membawa sial.

Pengadilan akhirnya menolak gugatan keluarga Kareng Nuntung yang dinilai cacat formil. Sesaat setelah putusan dibacakan, ruang sidang riuh oleh suara. Bapak diarak keluar dari pintu di atas bahu seorang penduduk yang kusadari sebagai lelaki bersuara sengau yang ada di warung malam ini.

***

Lelaki bersuara sengau mengatakan bahwa vonis kematian Bapak sebenarnya telah tersebar tak lama setelah putusan Hakim. Kareng Nuntung, berusaha menutupi malu dari atas motornya, singgah di mana pun dilihatnya orang berkumpul dan memberitahu mereka bahwa Bapak akan menerima balasan yang setimpal atas perbuatannya.

“Tapi kami pikir itu hanya igauan kosong orang kalah,” kata Dg. Gassing. Kini aku mulai mengenali orang di warung ini satu persatu. Dg. Gassing dulunya seorang penarik dokar, dan kini tampaknya masih sama.

“Ya, itu benar,” sahut lelaki bersuara sengau. “Nuntung memang mabuk waktu itu, tapi hanya orang gila yang akan membocorkan rencananya membunuh orang.”

Sebenarnya kami juga tahu hal ini. Namun, seperti semua orang, kami menganggap itu hanyalah frustrasi sesaat. Kadang pada malam hari terdengar suara teriakan dari rumah sebelah. Umpatan dan makian yang ditujukan kepada kami, mengatakan bahwa keluarga kami tak punya malu. Kareng Nuntung bersumpah atas nama ibu, nenek, dan buyutnya, tak akan pernah memaafkan Bapak.

Haidir tak bisa menahan diri lalu meminta Bapak untuk membalasnya sekali saja. Namun, adalah upaya sia-sia untuk mengharapkan Bapak bertengkar. Bapak bilang selama itu tidak melibatkan serangan fisik ia tak akan beranjak dari kursinya. Lagi pula, jika Haidir tidak senang dengan itu ia boleh menutup telinga.

Bapak benar. Dan memang selalu benar. Setelah didiamkan, provokasi mereka akan berhenti dengan sendirinya. Hari-hari selanjutnya berlangsung seperti biasa. Tak ada lagi teriakan atau makian kepada kami. Sebagai gantinya seorang perempuan tua muncul di rumah itu. Usianya mungkin delapan puluhan, terlalu tua untuk diperkerjakan bahkan sekadar sebagai tukang sapu halaman. Hal itu membuat Ibu curiga tapi Bapak merespons dengan ketidakpedulian yang sama seperti kepada Haidir, bahwa jika Ibu tidak suka, ia toh cukup berhenti melihat ke rumah sebelah.

Menjelang akhir tahun, Bapak pensiun dari pekerjaannya dan mulai melanjutkan rencana perluasan rumah. Suatu pagi ia sedang menandai jalur galian fondasi dengan membersihkan ilalang ketika menemukan bangkai ayam mati di pekarangan. Bapak mengangkat ke udara ayam itu, mengamati keanehannya. Lehernya tergorok nyaris putus dan darah masih menetes. Terdapat ikatan bawang merah dan jarum pada tungkai hewan mati itu. Aku dan Hana yang sedang dalam perjalanan ke sekolah menyaksikan itu berjanji kepada Bapak akan menanyakan ke teman-teman sekelasku apakah ada di antara mereka yang telah kehilangan ayamnya. Siang hari ketika kami pulang Bapak tidak ada di rumah. Ibu bilang ia sedang tidak enak badan dan pergi ke rumah nenek untuk mencari tukang pijat.

Kami semua duduk di teras rumah sore itu menunggu bunyi Astrea tua Bapak masuk ke pekarangan ketika Om Rungka’, sepupu Ibu muncul mengendarai angkot kosong dan menyuruh kami semua naik ke atas mobil. Bapak sedang sekarat.

“Pilihan hari yang benar-benar bagus untuk mati,” kata Dg. Gassing. “Malam Jumat, bukan?”

Aku mengangguk. Bapak meninggal Kamis sore.

Dg. Gassing mendesis. “Kukira itu akhir yang pantas untuk orang baik sepertinya. Tak ada sakit, kegilaan, atau semacamnya.”

“Bahkan sebelum meninggal pun, ia masih bisa memberikan satu pukulan terakhir bagi keluarga Nuntung,” sahut Haji Awing, bekas pemilik wartel yang tanahnya juga ikut diklaim. “Fakta bahwa Bapakmu bisa mati dengan tenang harusnya membuat Nuntung malu. Kalau aku jadi dia aku tak mau menampilkan muka lagi di depan umum.”

“Tapi apakah itu bisa dijadikan alasan untuk… mmm…” Pak Siswoyo, orang Jawa generasi awal di kota kami berpaling kepadaku sebagai isyarat kesopanan dan aku mengangguk mengerti. “Maksudku, alasan untuk menghabisi Pak Djafar?”

“Yah, menurutku demikian,” Haji Awing melirik kepadaku, memperjelas. “Kami orang Makassar boleh kehilangan apa saja di dunia ini asal jangan harga diri. Meski kita tahu bahwa bapakmu hanya membela hak kami semua.”

Harga diri benar-benar melucuti akal sehat Kareng Nuntung. Di pasar, berita itu sampai ke telinga setiap orang bahkan yang paling tak peduli sekalipun. Ibuku mendapat beberapa kali bisikan dari para pedagang, memperingatkannya untuk waspada. Tapi satu-satunya solusi yang terlintas waktu itu dalam pikirannya hanyalah memaksa Bapak untuk berjaga-jaga dengan meminjam revolver dari Pak Kasim Muhtar, bekas kepala polisi yang sering bertamu ke rumah kami.

Seiring berjalannya waktu dan keterlibatan polisi dalam masalah ini, Ibu terlena dan melupakan desas-desus itu begitu saja. Sampai ia sadar semuanya telah terlambat. Ketika sedang mencuci piring pagi itu, Bapak muncul memperlihatkan kausnya yang kotor oleh percikan darah. Ibu mengira Bapak sedang dimintai tolong oleh orang lain menyembelih ayam, karena Bapak juga dikenal sebagai imam pengganti di mesjid yang hafal banyak doa. Ketika Bapak menanyakan keberadaan sekop dan menceritakan tentang bawang dan jarum secara sambil lalu, segera jelas dalam kepala Ibu keterhubungan semuanya; keberadaan perempuan tua itu, desas-desus di pasar, dan bangkai ayam. Ia diserang sejenis mati rasa sesaat, saking takutnya Ibu bahkan tak mampu memberitahukan hal ini kepada Bapak dan hanya menggumam ke langit melepas suaminya keluar rumah untuk terakhir kalinya dengan kemungkinan kembali sebagai jenazah.

“Tapi aku kira ia akan mati celaka ditabrak mobil atau ditikam orang tak dikenal,” kata Ibu setiap kali mengenang peristiwa naas itu. Di usia tuanya Ibu tinggal bersama kakakku Husna di peristirahatannya yang damai di pesisir selatan merawat cucu-cucunya. “Nyawa bapakmu cukup panjang untuk sampai di rumah nenek dan mati di atas ranjang masa kecilnya.”

***

Aku meninggalkan para lelaki tua di warung itu dengan rasa penasaran yang menggantung di antara mereka. Semua orang terkejut mengetahui tujuan kedatanganku untuk bertemu dengan calon pembeli rumah kami besok hari.

“Tapi kenapa?”

“Anda sekalian pasti mengerti bahwa hidup kami tak lagi sama setelah kematian bapak,” aku bangkit dari kursi. “Rumah itu ikut mati bersamanya.” Lalu aku pamit diri.

Aku berdiri di depan pagar kayu yang nyaris ambruk. Rumput setinggi lutut memenuhi jalanan masuknya. Penampakan rumah yang terbengkalai memberikan kesan dingin dan kesepian. Jam di tanganku menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat.

Suara jangkrik menggema ketika aku sampai di pintu. Gagang yang sama, berdebu, dan tak tersentuh semenjak kami meninggalkannya dua puluh tahun lalu. Aku ingat sore itu, cahaya jingga menyirami rerumputan bersamaan dengan hawa lembah yang turun ke pemukiman. Mesin truk yang dipenuhi barang-barang pindahan kami telah menyala. Aku duduk di bak belakang melompat turun dan berlari kembali ke rumah. Mengabaikan teriakan kesal kakak-kakakku, aku mengungkit gagangnya berkali-kali, memastikan pintu telah terkunci rapat seolah kami hanya pergi untuk sementara.

Kematian Bapak yang tiba-tiba tidak meninggalkan satu pun alasan bagi Ibu untuk bertahan di kota ini. Ada bulan-bulan panjang ketika kami tak diperbolehkan pulang ke rumah oleh sebagian kerabat yang berpikir bahwa bahaya tidak akan berhenti setelah kematian Bapak. Mereka menahan Ibu, memperingatkan bahwa bisa jadi mereka sedang menanam santet baru untuk kami. Di saat itulah kami menyadari betapa pentingnya keberadaan Bapak sebagai jangkar dunia kami. Semasa hidupnya Bapak memang tidak jago kelahi tapi jika terjadi hal-hal buruk ia selalu memiliki sesuatu dalam dirinya yang membuat orang-orang kota akan berpihak kepada kami.

Bahkan ketika kami sudah cukup berani untuk kembali setahun kemudian, rumah telah berubah menjadi sesuatu yang asing dan jauh. Hari-hari yang kami lalui terasa hampa. Ibu pernah mencoba menyingkirkan meja tempat Bapak menghabiskan banyak waktunya dengan membaca koran atau mengetik surat-surat. Kupikir kami semua sepakat bahwa keberadaan benda-benda yang mengingatkan kami kepada sosoknya hanya akan melemahkan hati. Tapi sudut manakah di rumah ini yang tak memiliki jejak Bapak. Sisir yang tergantung di dinding, cangkir logam bermotif loreng, engsel pintu yang dinaikkan setengah meter demi mencegahku menjangkaunya untuk keluar rumah di malam hari. Semuanya. Ketiadaan benda-benda itu di tempatnya justru mencabut satu persatu hubungan kami dengan rumah ini. Keterikatan yang tercipta berubah menjadi antagonisme seolah rumah itu sedang mengancam kami, jika kalian menghapuskan kenangan tentang Pak Djafar di rumah ini, maka kalian akan kehilangan diriku juga.

Hal itu membuat Ibu larut dalam histeria berkepanjangan. Ia jatuh menangis di sudut mana pun di rumah setiap kali ingatan tentang suaminya muncul kembali. Sungguh sangat disayangkan bahwa rumah yang diperjuangkan Bapak mati-matian harus kami tinggalkan begitu saja. Kami terus dihantui penyesalan sepanjang dua puluh tahun sebelum memutuskan untuk menghapus semua kenangan itu sekali selamanya dengan memberikannya kepada penawar pertama dari perusahaan kredit yang ingin memperluas pasar di wilayah kami.

“Tapi kalian bisa memanfaatkannya tanpa menjualnya, bukan?” protes Haji Awing. “Kudengar minimarket tertentu menyewa tanah orang selama lima tahun. Jika bisnis berjalan bagus, mereka akan melanjutkannya hingga lima tahun lagi. Tanah di tengah kota seperti itu sewanya pasti mahal.”

Satu hal yang tak diketahui oleh orang-orang ini bahwa yang berubah karena ketidakhadiran Bapak bukan hanya sekadar hilangnya semangat, melainkan hidup kami secara keseluruhan. Mengandalkan gaji pensiun Bapak, Ibu memboyong kami semua kembali ke rumah Nenek. Selama beberapa waktu Ibu membiayai sekolah kami berenam dengan membuka toko kelontong dekat pantai yang melayani pelancong pada musim liburan. Haidir yang berusia delapan belas tahun sewaktu Bapak meninggal mengambil pekerjaan sambilan di toko bangunan dan terus berpindah-pindah pekerjaan sampai hari ini. Sementara Husna selain membantu Ibu juga memulai bisnis yang dikelola bersama suaminya dengan berjualan kain di pasar. Dua kakakku yang lain, Haris dan Hasyir, ikut dengan Om Rungka’ ke Kalimantan dan melanjutkan sekolah di sana dan bekerja sambilan sebagai tukang cuci mobil. Keduanya kini telah menikah dan punya anak. Sementara kakakku Hana yang paling akrab denganku, saat ini tinggal satu kos denganku dan bekerja sebagai waitress di sebuah hotel di Makassar. Ia terus menopang hidupku, memastikan bahwa aku akan menyelesaikan kuliah akuntansiku tahun ini.

Kadang aku berpikir betapa banyak hal yang tidak kita pahami dalam hidup. Tak ada yang menyangka bahwa anak-anak seorang lelaki terpelajar seperti Bapak akan berakhir terpencar-pencar tak keruan seperti ini. Lelaki yang menyelamatkan hidup banyak orang sampai harus dibayar dengan hidupnya sendiri. Aku sering dihinggapi perasaan marah mengetahui tak ada seorang pun yang bisa disalahkan atas kemalangan yang menimpa kami selain keadaan. Mungkin itulah alasan mengapa kami semua tak pernah lagi bisa hidup akur dengan suasana kota ini.

Aku membuka pintu. Muram dan sunyi. Pemerintah telah memutus listriknya belasan tahun lalu. Satu-satunya cahaya yang tersisa adalah sebaris sinar diagonal putih dari lubang besar di atap yang jatuh pada meja kayu tepat di tengah-tengah ruangan. Aku berjalan pelan, bunyi gemeretak tegel di bawah sepatuku membubarkan gerombolan tikus, debu mengambang menyesaki udara. Di meja, mesin ketik tua Bapak tak bergeser seinchi pun dari tempatnya. Aku lalu menengadah ke langit. Di luar sana bulan berwarna tembaga bersinar sempurna. Rumah bapakku adalah lelaki tua yang sedang terlelap. Aku bisa merasakannya bernapas.[]

Kaisar Deem

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email