Tak ada yang ingat siapa nama asli pria itu. Tua-muda memanggilnya dengan sebutan yang sama: Kang Oding. Beberapa orang bahkan beranggapan bahwa “Kang” memang nama depannya. Ia adalah pemilik warung paling besar di kampung itu. Selain berdagang dan bersantai menikmati hidup, ia tak punya pekerjaan lain. Harta warisan dari keluarganya cukup banyak untuk membuat ia bermalas-malasan sampai tua.
Sepanjang hari ia bergoleran di kursi rotan, di teras yang sejuk karena penuh dengan tanaman. Kalau bosan, ia iseng berjaga di warung bersama istri dan satu-satunya pegawai. Tiap ada yang beli, ia menyambut dengan senyum ramah dan sebatang rokok terselip di gigi. Giginya itu sudah tak karuan bentuk dan warnanya karena nikotin yang menumpuk bertahun-tahun. Kebanyakan sudah hancur dan sisi-sisinya berwarna coklat. Ada lubang yang pas sekali dengan batang rokok di salah satu giginya, yang ia pamerkan pada istrinya, “Lihat, aku tak perlu repot lagi mengempit rokok di bibir.” Lalu, diselipkannya rokok di lubang itu dan diisapnya dengan nikmat.
Orang-orang tahu persis bahwa Kang Oding tak pernah lepas dari rokok. Kalau ditanya, Kang Oding akan menjawab begini, “Aku sudah merokok sejak orok, sebab Emak dan Bapak juga merokok di rumah.”
Jadi, begitulah, Kang Oding dan rokok adalah satu kesatuan tak terpisahkan.
Waktu bungkus rokok diganti jadi foto-foto mengerikan, Kang Oding malah menertawakannya. “Cih,” komentarnya, “itu kan cuma pura-pura. Kayak kuntilanak yang di pelem. Itu palsu, tahu.”
“Rokok bisa bikin mati, Pak,” begitu kata istrinya selalu.
“Tahu dari mana? Habis ngobrol sama Tuhan, ya?” tanyanya sinis.
“Dari tipi. Makanya kalau nonton sambil diliat iklannya juga,” balas istrinya keki.
“Aku nonton iklan rokok. Semuanya bagus. Banyak perempuan seksi dan laki-laki gagah. Bukannya mati, mereka malah pesta. Atau naik gunung. Atau naik mobil bagus,” tukasnya cepat, lalu terkekeh melihat wajah istrinya yang geram. “Sudah kubilang, rokok itu bikin hidup nikmat,” ujarnya puas.
Istrinya cemberut.
Nikotin, tar, dan sekian banyak kandungan lain dalam berbatang-batang rokok yang ia konsumsi akhirnya menimbulkan efek yang lebih mengerikan ketimbang gigi yang menguning dan busuk atau bibir yang lama-lama menghitam. Beberapa minggu ke belakang, Kang Oding sering batuk dan sesak napas. Tiap istrinya bertanya, ia hanya menjawab, “Ah, ini cuma selesma.”
Tapi suatu hari, istri Kang Oding terbangun karena batuk suaminya yang ingar-bingar. Ramai sekali batuk itu beruntun-untun dengan suara mengerikan. Istrinya bergegas ke kamar mandi. Suaminya sedang membungkuk sambil terus terbatuk-batuk. Pekikan keluar dari mulutnya ketika melihat darah yang berceceran di lantai dan di bibir suaminya.
Mereka bergegas ke rumah sakit. Di sana, selepas memeriksa dengan teliti, dokter meminta Kang Oding untuk melakukan rontgen. Kang Oding menurut meski bersungut-sungut. Ia dipanggil ketika hasilnya sudah siap. Bukan main terkejutnya ia ketika melihat foto yang mengerikan dipajang di sebuah papan yang berpendar. “Sejak kapan benda mengerikan itu ada dalam badan saya?” tanyanya terkejut. Dokter mengerutkan kening. “Ini paru-paru, Pak,” jawabnya. “Sudah ada dari Bapak di kandungan. Hanya saja dulu tidak mengerikan.”
“Paru-paru saya?” tanya Kang Oding tak percaya.
“Ya, paru-paru siapa lagi memangnya? Mang Agus? Ya, punya Bapak, atuh!” sambar istrinya. Ia terduduk di kursi dengan lemas. “Dok, suami saya bisa hidup sampai kapan?”
“Bu!” protes Kang Oding, terkejut dengan betapa optimis istrinya bahwa ia akan segera mati.
Dokter itu meminta Kang Oding duduk, lalu ditatapnya suami-istri yang balas memandangnya ketakutan. “Berdasarkan diagnosis saya, Bapak terkena infeksi paru-paru akut,” ujarnya. Begitu kabar itu sampai di ujung kalimat, istri Kang Oding sudah meraung-raung. Kang Oding sendiri melongo. “Bagaimana bisa?” tanyanya, seakan takjub ada penyakit seberat itu yang berani hinggap di tubuhnya.
“Apanya yang ‘bagaimana bisa’?” bentak istrinya disela tangis. “Rokok yang Bapak isap itu barangkali sebanding dengan rokok laki-laki sekampung disatukan, tahu?”
Kang Oding terenyak. “Berarti… saya harus mengurangi merokok, Dok?” tanyanya.
“Pak,” jawab dokter itu dengan sabar, “berhenti merokok, ya, mulai sekarang.”
Dan itulah, bagi Kang Oding, vonis yang sesungguhnya. Ia mulai ikut menangis seperti istrinya.
Mulai dari hari itu, semua rokok Kang Oding dibuang. “Paru-paru sialan! Aku jadi tidak bisa merokok gara-garanya,” ia memaki. Istrinya kesal, namun iba juga ia melihat suaminya muram. Diulurkannya sebutir permen ke tangan suaminya. “Ini, buat diisap,” katanya.
“Ada yang rasa Marlboro?” tanyanya sedih.
Hilang sekejap rasa kasihan istrinya, diganti dengan kesal. Ia mulai mengomel panjang-pendek. Kang Oding mendesah. Akhirnya, ia terpaksa juga memasukkan permen itu ke mulutnya demi menghilangkan rasa sepat.
Sepanjang hari itu, ia berkali-kali merogoh saku bajunya, merabai tempat rokok-rokoknya bersemayam selama ini. Berkali-kali juga ia menghela napas kecewa karena sakunya kini sudah kempis macam semangat hidupnya. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan gugup ke bibir. Aneh rasanya, gerakan yang sebegitu familiar itu kini kehilangan makna tanpa rokok yang menyelip. Dengan sedih, ia menghirup aroma nikotin yang mengerak di jemarinya. Ketika dirasanya aroma itu memudar, ia mengais-ais pakaiannya yang biasanya memiliki aroma rokok yang mengendap. Sedih hatinya ketika sadar semua bajunya sudah dicuci bersih dan kini harum deterjen.
Berbulan-bulan telah lewat, kondisi Kang Oding makin parah. Kini ada suara mengkhawatirkan tiap ia menarik napas. Batuknya makin sering. Tubuhnya yang memang sudah kurus tambah kurus lagi. Orang-orang datang menjenguk. Mereka mengirim buah dan sayuran segar, sambil mendoakan semoga Kang Oding segera pulih.
Kang Oding tidak menunjukkan semangat untuk melawan penyakit yang bersemayam dalam tubuhnya. Istrinya sering menangis melihat Kang Oding hanya diam di dipan seperti menunggu malaikat kematian. Dokter juga mulai putus asa karena jelas sekali Kang Oding tak menunjukkan kemajuan.
“Apa kiranya yang bisa membuat Bapak membaik?” tanyanya selalu. Bagaimana pun, ia ingin pasiennya menjalani pengobatan dengan senang hati, supaya ada perkembangan baik ke arah sembuh.
Jawaban Kang Oding hanya satu. “Saya mau merokok, Dok.”
Ketika ia melihat bulir air mata di pipi Kang Oding, ia menyerah. “Baiklah. Bapak boleh merokok. Sebatang saja, ya,” katanya.
Bukan main senangnya Kang Oding mendengar kabar baik itu. “Terima kasih, Dok. Terima kasih. Saya senang sekali.”
“Tapi, Bapak harus minum obat ekstra. Makan ekstra juga. Bapak janji?”
“Janji,” ikrar Kang Oding sepenuh hati. Saat itu, ia rela berjanji apa pun demi bisa merokok lagi.
Kang Oding pulang dengan hati berbunga-bunga. Ia makan dengan lahap. Obatnya ia tenggak tanpa terpaksa. Lalu, ketika menjelang malam, ia duduk di teras, ditemani istrinya. Ia meletakkan sebatang rokok di sela bibir. Tangannya gemetar menyalakan pemantik dan membakar ujung rokok itu. Ia menyesap dan merasakan tubuhnya merinding ketika akhirnya ia bertemu lagi dengan kenikmatan yang ia kenal selama ini. Kepulan asap diembuskannya dengan pelan. Aahh… ini baru namanya hidup.
Malam itu, ia tidur dengan nyenyak dan bahagia. Betapa nikmat rasanya rindu yang bertemu. Ia bisa merasakan seluruh inderanya bersorak ketika bersua kembali dengan rokok. Tenaganya pelan-pelan kembali. Dan beberapa malam kemudian, Kang Oding sudah nyaris terlihat sehat.
Dokter mengamati perubahan yang terjadi dalam diri pasiennya itu dan harus mengakui itu adalah perkembangan yang baik. Ia menyampaikannya pada Kang Oding dan istrinya. “Merokoknya harus tetap dikontrol, ya, Pak. Ingat, rokok tetap berbahaya buat kesehatan Bapak.”
Namun, justru rokok bagaikan obat mujarab bagi Kang Oding. Ia sudah bisa berdiri dan berjalan-jalan di pekarangan. Batuknya masih hadir, tapi sudah tak terlalu menyakitkan. Orang-orang berkata kagum, “Obat Kang Oding pasti mahal sekali. Sembuhnya bisa secepat itu.”
Kang Oding makin jumawa. Ia merasa sudah sembuh total. Makin hari, makin banyak rokok yang ia isap. Lebih dari batas yang diberikan dokter. Tentu saja tidak terang-terangan. Biasanya, ia pergi ke pekarangan belakang, ke tempat Ujang—tukang kebunnya—menyiangi tanaman. Ujang hanya melirik takut-takut ketika melihat majikannya itu duduk di antara kantong-kantong pupuk dan asyik mengisap rokok. Ia tahu persis istri majikannya akan mengamuk jika mengetahui hal itu.
“Hus, jangan berisik,” begitu kata Kang Oding waktu Ujang mengingatkannya untuk tidak menambah sebatang rokok lagi. “Kata dokter boleh, kok,” kilahnya. Ia menangkap wajah sangsi Ujang. “Kalau nggak ketahuan, ya, boleh… hehehe,” tambahnya sambil terkekeh.
Suatu siang, ketika istrinya sedang pergi arisan, Kang Oding mengendap-endap masuk warung yang tutup sementara. Rokoknya sudah habis. Ia bermaksud untuk mengambil satu di warung. Betapa kecewanya ia ketika tahu persediaan rokok ternyata kosong. Celingak-celinguk ia mencari Ujang, namun pemuda itu tak terlihat di mana-mana. Akhirnya, Kang Oding bertekad hendak ke warung depan. Bibirnya sudah gatal ingin merokok.
Di tengah perjalanan, ia bertemu Ujang.
“Eh, Jang! Dicari-cari dari tadi,” sapa Kang Oding.
“Kang, maaf, saya tadi dari rumah. Kenapa, Kang?” tanya Ujang. Heran melihat majikannya berkeliaran di luar.
Kang Oding mengulurkan segenggam uang. “Beliin saya rokok, sana. Marlboro merah, ya.”
Ujang ragu-ragu. “Tapi Kang, kalau Ibu tahu…”
“Ya, jangan tahu,” tukas Kang Oding segera.
Ujang yang malang terpaksa menurut. Ia berbalik menuju warung yang barusan ia lewati. Kang Oding menunggu di pinggir jalan. Ia duduk di sebatang tunggul pohon sambil bersiul-siul. Sudah lama juga ia tidak berjalan-jalan di luar. Jalan yang ada di hadapannya adalah jalan utama kampung itu. Satu-satunya jalan yang diberi aspal. Jalan yang lengang itu tidak disia-siakan orang-orang dengan berkendara santai. Kebanyakan kendaraan lewat macam orang ngibrit diburu setan.
Ketika sedang asyik memandangi kendaraan hilir mudik, ia melihat Ujang di seberang jalan. Mulut Ujang komat-kamit, seperti hendak memberitahunya sesuatu. “Apaaa?” tanyanya.
“Marl… sedang… mau… apa…” Begitu suara Ujang terdengar dari tempatnya duduk.
Kang Oding berdecak. Anak muda zaman sekarang ini kalau ngomong memang suka tidak jelas, begitu pikirnya. Ia berdiri dengan tidak sabar. Tanpa tengok kanan-kiri ia melangkah menuju Ujang. Tak disadarinya beberapa kendaraan terkejut dan berkelit karena kemunculannya yang dadakan.
“Kang Odiiiiing!” teriakan Ujang terdengar panik. Pemuda itu menunjuk-nunjuk sesuatu di samping Kang Oding. Kang Oding mengerutkan kening, lalu menoleh.
Yang ia sadari adalah moncong truk yang terlalu dekat dengan wajahnya, lalu tubuhnya terbang macam daun dibawa angin.
***
Kang Oding terbangun. Ia berada di suatu tempat yang gelap gulita. Di hadapannya, ada seseorang berbaju hitam. Tudungnya menutupi muka. Auranya mengerikan.
“Man robbuka?” tanya sosok itu dengan suara menggelegar.
“Hah? Bukan, bukan, saya tadi minta Marlboro, tahu!” jawab Kang Oding kesal. ***