Sepeda Motor Tua Pinjaman
selain menempelkan namaku
pada lirih doa-doa panjang
istriku yang periang
sangat senang membekaliku
makan siang
ini untuk perang
sebab tanggal tua
sudah lebih dulu
menyerang
katanya
kubawa bekal itu pelan-pelan
dengan sepeda motor tua pinjaman
yang roda-rodanya
kerap mengaduh kesakitan
ketika menciumi jalanan
jangan kau sakit-sakitan
di tengah jalan
kumohon
bawa aku ke Matraman
walau kau mati-matian
siang nanti
aku harus menang
lawan kemiskinan
yang menjalar
bagai api
pada kemarau
yang meradang
senja melamun
pada kaca jendela
suara faksimile
mesin fotokopi
dering telepon
memudar dan
menyisakan suara
sepatu karyawan
yang melangkah
pulang
di parkiran
sepeda motor tua pinjaman
masih saja mengerang kesakitan
–
Rindu yang Diperam Harus Dilesakkan Bertubi-tubi Layaknya Meriam
di atas peron
bibir kita menjelma
sepasang lemper yang
dilekatkan satu sama lain
di atasnya waktu adalah sambal kacang
menetes pelan-pelan
melahirkan segala senang dan kenang
pada ujung rindu yang panjang
dan rindu yang diperam
adalah ribuan penumpang
melesak masuk ke dalam kereta
pada rel-rel rahasia menuju
stasiun kecil di dada kita
yang gigil
seumpama nanti
akhir bulan ini
ada tanggal merah
untuk birahi kita
yang kian bedebah
kita bebaskan kata
dari basa-basi
dan rentang jarak
Jogja-Bekasi
di sana
di kamar kosan
rindu kita
yang diperam
harus dilesakkan
bertubi-tubi
layaknya meriam
–
Burung Kasuari
malam pekat
cahaya semburat
lahir dari neon
di atas kubikel segi empat
malam jahanam
aku dan lembur
saling menikam
saling menghujam
hingga babak belur
kupulang bawa punggung remuk
menyeret mimpi patah
mengantungi dua mata redup
yang hampir mati tergelincir kantuk
siapa yang akan
selamatkanku nanti
dari nasib kian landai
selain panjang doa istri
di antara gegas kaki
menuju rumah
siapa yang akan
rawatku nanti
dari usia pensiun kian sampai
selain deret angka asuransi
menepuk-nepuk
getas punggung ini
aku ingin mati
untuk hidup seribu
tahun lagi
hanya sebagai
burung kasuari
–
Fortuner Berstrobo
pagi ini
laparku terbit sebelum
matahari tergelincir
muncul pelan-pelan
seperti ormas jaga parkir
mau ke mana lapar ini kularungkan
haruskah kepada genang kuah soto
di bawah tenda itu
di situ
dua tahun lalu
air matamu jatuh ke dalam
menghablurkan segala kenang
canda dan senang
aku di sini mencoba menenangkan
rindu yang bergerak kencang
laksana fortuner berstrobo
kesetanan
–
Meteor
di seberang sana, matamu rembulan
dari seberang sini, mataku meteor
menumbuk matamu bertubi-tubi
gelisah mengeriap sedari tadi
adakah cinta jatuh dari mata ke hati
kasihku
aku rela mati
laksana ormas berteriak
NKRI harga mati!
*****
Editor: Moch Aldy MA