Bapak-bapak kantoran yang kepingin jadi penyair

Rindu yang Diperam Harus Dilesakkan Bertubi-tubi Layaknya Meriam dan Puisi Lainnya

deni oktora

1 min read

Sepeda Motor Tua Pinjaman

selain menempelkan namaku
pada lirih doa-doa panjang
istriku yang periang
sangat senang membekaliku
makan siang

ini untuk perang
sebab tanggal tua
sudah lebih dulu
menyerang
katanya

kubawa bekal itu pelan-pelan
dengan sepeda motor tua pinjaman
yang roda-rodanya
kerap mengaduh kesakitan
ketika menciumi jalanan

jangan kau sakit-sakitan
di tengah jalan
kumohon
bawa aku ke Matraman
walau kau mati-matian

siang nanti
aku harus menang
lawan kemiskinan
yang menjalar
bagai api
pada kemarau
yang meradang

senja melamun
pada kaca jendela
suara faksimile
mesin fotokopi
dering telepon
memudar dan
menyisakan suara
sepatu karyawan
yang melangkah
pulang

di parkiran
sepeda motor tua pinjaman
masih saja mengerang kesakitan

Rindu yang Diperam Harus Dilesakkan Bertubi-tubi Layaknya Meriam

di atas peron
bibir kita menjelma
sepasang lemper yang
dilekatkan satu sama lain

di atasnya waktu adalah sambal kacang
menetes pelan-pelan
melahirkan segala senang dan kenang
pada ujung rindu yang panjang

dan rindu yang diperam
adalah ribuan penumpang
melesak masuk ke dalam kereta
pada rel-rel rahasia menuju
stasiun kecil di dada kita
yang gigil

seumpama nanti
akhir bulan ini
ada tanggal merah
untuk birahi kita
yang kian bedebah
kita bebaskan kata
dari basa-basi
dan rentang jarak
Jogja-Bekasi

di sana
di kamar kosan
rindu kita
yang diperam
harus dilesakkan
bertubi-tubi
layaknya meriam

Burung Kasuari

malam pekat
cahaya semburat
lahir dari neon
di atas kubikel segi empat

malam jahanam
aku dan lembur
saling menikam
saling menghujam
hingga babak belur

kupulang bawa punggung remuk
menyeret mimpi patah
mengantungi dua mata redup
yang hampir mati tergelincir kantuk

siapa yang akan
selamatkanku nanti
dari nasib kian landai
selain panjang doa istri
di antara gegas kaki
menuju rumah

siapa yang akan
rawatku nanti
dari usia pensiun kian sampai
selain deret angka asuransi
menepuk-nepuk
getas punggung ini

aku ingin mati
untuk hidup seribu
tahun lagi
hanya sebagai
burung kasuari

Fortuner Berstrobo

pagi ini
laparku terbit sebelum
matahari tergelincir

muncul pelan-pelan
seperti ormas jaga parkir

mau ke mana lapar ini kularungkan
haruskah kepada genang kuah soto

di bawah tenda itu
di situ
dua tahun lalu

air matamu jatuh ke dalam
menghablurkan segala kenang
canda dan senang

aku di sini mencoba menenangkan
rindu yang bergerak kencang
laksana fortuner berstrobo
kesetanan

Meteor

di seberang sana, matamu rembulan
dari seberang sini, mataku meteor
menumbuk matamu bertubi-tubi

gelisah mengeriap sedari tadi
adakah cinta jatuh dari mata ke hati

kasihku
aku rela mati
laksana ormas berteriak
NKRI harga mati!

*****

Editor: Moch Aldy MA

deni oktora
deni oktora Bapak-bapak kantoran yang kepingin jadi penyair

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email