Rencanaku Baca Buku Puisi Hasan Aspahani Gagal Lagi
Pada Sabtu yang masih pagi
dengan sigap kuraih buku puisi Hasan Aspahani; Nang Tabayang, Nang Taganang
kumasukkan dalam tas selempang bagian belakang
agar terlindung dari hujan dan cercaan, dekat-dekat kudekap
kujadikan bantal, lalu mimpi kupintal
rencananya aku mau membaca buku puisi
yang sudah kutandai sejak pagi
tetapi belum juga jadi
sepanjang jalan hendak kubuka
tapi tak sempat-sempat juga
tanganku digenggam ponsel
kepalaku disergap WhatsApp
clentang-clenting bunyi pesan masuk
bertubi menghabisi detik-detik yang asyik-masyuk
rencanaku membaca buku puisi
buyar lagi
di jalan tol yang macet siang itu
badanku kuyup diguyur keringat
pikiranku gerah, sebab antrean tak kunjung sudah
suasana kian parah kala melihat peta di ponsel berwarna merah pekat
berjam-jam terjebak cuma bisa pasrah
(padahal maunya marah-marah, tapi kepada siapa?)
rencanaku membaca buku puisi
gagal lagi
segagal malam Minggu
yang diguyur hujan sampai pagi
sampailah kami di tanjakan yang amat curam
(setelah berjam-jam dijemur macet di tengah jalan)
mobil buatan Jepang yang kami tumpangi
tak kuasa melaju saat berpapasan dengan kijang dari arah atas
terhenti, akhirnya kami turun untuk mengurangi beban
sambil mencari bantalan batu pengganjal agar mobil tak nyelonong ke belakang
sudah bisa ditebak
rencanaku membaca buku Hasan Aspahani gagal lagi
segagal petani bawang di brebes yang didera apes
peta digital menunjukkan perjalanan kami tinggal tujuh ratus meter lagi
dengan medan amat menanjak mobil terus beranjak
kami yang turun menyusul sambil mengusap-usap dengkul
sambil menyambung napas yang senin kamis
dan menata irama jantung yang hampir lepas
sepuluh menit lagi, ya sekitar sepuluh menit lagi
kami akan tiba di tujuan, vila matahari cigombong
dan rencanaku membaca buku puisi Hasan Aspahani
semoga tidak gagal lagi
kami naik mobil lagi, lega rasanya
gantian, tinggal mobil buatan Jepang itu yang ngos-ngosan
hingga kami pun sampai tujuan
dan aku lupa apa yang sudah kurencanakan.
23 September 2021
Americano, Robusta, dan Insomnia
Kuhirup aroma americano yang kuseduh di gelas plastik. Hujan kian mendukung, kunikmati hawa sejuk di tepi bukit cigombong yang ranum. Harum dan pahit bergumul jadi formula yang seolah sempurna. (Setidaknya untuk memaknai sore-sore yang hujan). Ditambah gigil yang tak punya kata reda.
Kabut menemani sore dingin yang gabut (gaji buta: kerap dimaknai tak ada kerjaan). Robusta di gelasmu tampak murung. Kian hambar dan dingin. Tak sepedas semangkuk popmi yang kauseduh dengan terburu. Sebab kau sibuk melulu dengan ponsel yang susah sinyal, minim baterai, dan miskin kuota itu.
Menjelang malam, kita ramaikan obrolan dengan segelas kopi tubruk. Segelas puisi cinta. Dan berbait-bait doa. Kepada-Nya kita ajukan gugatan. Ini doa atau ancaman? Sungguh, Tuhan, betapa aku belum mengenal-Mu. Betapa jarak begitu lebar menganga di antara kita. Engkau memang Maha Pengampun, tapi duh Gusti, aku terlalu pelamun. Banyak bengong minta ampun.
Lalu, di tengah baris akhir doa (sebelum lafaz amin) insomnia tiba mengajak ngobrol. Sepanjang malam kami habiskan. Ia, sebagai kebiasaan kurang baik (setidaknya begitulah kata dokter), selalu memberiku obrolan yang kurang bermutu. Seperti, dengkuran Pak Imam atau celoteh Pak Asep. Dan curhatan Mang Ato perihal hidupnya. Aku jadi pendengar saja. Ya, mendengar saja.
Cigombong, 19 September 2021
Cerita di Seberang Bukit Cigombong
Angin ini begitu sigap mengantarkan dingin. Begitu luwes mengembuskan sepi yang tak sudah. Tepian kaki lama-kelamaan basah, diterpa tempias dari hujan yang tiba-tiba.
Di bukit seberang sana, kabut tampak gimbal memahkotai pucuknya. Beberapa lekuknya tampak tumpul (tak mengerucut seperti nasi tumpeng). Hijau pepohonan terlihat segar, lebat, meski sebagian telah rumpang akibat ditebang dan ditanami fondasi rumah.
Kurenung sejenak, kericak-kericik air dari tepi talang menyapa telinga. Kita yang kedinginan diperangkap gelap (sebab mendung belum usai dan pipimu yang basah belum juga kering), mencoba menghangatkan suasana dengan obrolan.
Kita nikmati hidangan di meja itu dengan haha hihi. Lalu, terdengar seorang anak ceriwis bertanya, “Ini apa? Itu apa?” Sambil menunjuk kabut yang turun pelan-pelan. Langit masih gelap. Belum tampak pula akan reda. Tapi kisahmu agaknya masih panjang lebar, biar mengalir dan kutulis di puisi yang lain.
Cigombong, 18 September 2021
Tampak Asap Mengepul
/1/
Di seberang sana, tampak bukit-bukit berjajar. Kabut turun hinggap di pelupuk jurang. Kita tertambat di tepian mata. Yang sedari tadi membelalak. Tak bisa pejam barang sebentar. Menatap awan-awan yang menggelap.
/2/
Asap kembali mengepul. Tampaknya kau tengah membakar sampah dengan penuh amarah. Berharap segera usai segala gundah. Memang, dari sini tampak indah. Bak lukisan di tembok istana megah. Tapi, hanya itu yang kulihat. Barangkali kau lebih tahu pasti apa yang tengah terjadi.
/3/
Sementara, di seberang nun jauh, asap bergumpal-gumpal. Monster hitam mengangkang di langit. Menyeberang laut dan pulau. Melibas batas negeri. Dan kita dihimpit wangi hangus hutan sawit. “Kebakaran… kebakaran…!” suara orang-orang berlari sembunyi. Apa daya, duit sudah berbicara.
Cigombong, 18 September 2021
Dua Paragraf Menuju Pulang
Di ceruk alinea pertama, kita mulai sebuah perjalanan. Menuju ke ruang kamar yang begitu nyaman. Menuju ruang yang sangat rumah. Tempat berkeluh kesah juga menuai harap dan doa. Kita berjalan perlahan mengendarai mobil tua yang agak rentan. Sangat hati-hati. Sebab jalanan terlihat sangat ngeri.
“Sudah berapa belokan kita lewati?” tanya seorang anak kecil yang mulai bosan. Hanya sunyi, tak ada jawaban. Pak sopir hanya fokus pada setirnya. Yang lain sibuk memintal mimpi. Lalu, anak itu melongok ke luar jendela. Rupanya telah tiba di paragraf kedua. “Sebentar lagi tiba di pengujung kalimat,” ujarnya lega. Sambil menahan kantuk ia membawa titik hingga ke kamarnya. Dengan lekas, lelap menyelimutinya.
23 September 2021