Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis merupakan salah satu karya sastra yang cukup dihormati dalam dunia sastra Indonesia. Novel yang mengangkat isu kawin campur, perjodohan, dan kehidupan pada masa penjajahan Belanda ini dianggap sebagai karya sastra dengan perpaduan yang lengkap nan ciamik. Meski begitu, terdapat hal yang dirasa cukup anomali di dalam novel ini, yaitu penggambaran tokoh Corie, sosok perempuan Belanda yang justru memiliki sifat dan sikap seperti perempuan pribumi.
Seperti yang sama-sama akrab dalam pengetahuan kita bahwasanya perbedaan adat dan budaya antara Timur dan Barat sangat kontras. Budaya Timur terkesan lebih tertutup, sementara budaya Barat terkesan sangat terbuka dan bebas. Perbedaan budaya ini mestinya diimplementasikan juga melalui tokoh Corie yang digambarkan sebagai perempuan Belanda. Namun, dalam novel ini, tokoh Corie justru digambarkan sebagai sosok perempuan yang sangat “ketimuran”.
Hal ini tergambar dari salah satu adegan, yaitu ketika Hanafi mencium tangan Corie dan terlihat oleh Tuan dan Nyonya Brom. Di situ Corie digambarkan sebagai sosok perempuan yang pemalu. Padahal jika melihat posisinya sebagai perempuan Belanda, penggambaran tokoh Corie ini tidak seharusnya memiliki sifat “ketimuran” dan malah mengesampingkan sifat “kebaratan”.
Keanehan ini bisa terjawab manakala kita menelisik lebih dalam terkait sejarah kelahiran novel Salah Asuhan. Sebelum Abdoel Moeis mengirimkan naskah novel ini ke Balai Pustaka, ternyata novel ini mulanya berbentuk cerita bersambung yang diterbitkan di harian De Express. Ketika berbentuk cerita bersambung, tokoh Corie ini memanglah digambarkan bak perempuan Belanda pada umumnya, yaitu suka bersolek, terbuka, dan bebas. Bahkan ternyata, di dalam cerbung, tokoh Corie diceritakan suka bermain api hingga akhirnya bercerai dengan Hanafi dan terjerembap dalam dunia pelacuran, lalu mati dengan cara ditembak oleh “pelanggannya”.
Penggambaran tokoh Corie di dalam cerbung yang diterbitkan oleh harian De Express berbanding terbalik dengan tokoh Corie yang ada di dalam novel Salah Asuhan terbitan Balai Pustaka. Dalam novel Salah Asuhan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, tokoh Corie digambarkan bak perempuan yang sangat sempurna, seolah ia adalah perempuan yang turun dari kayangan. Bahkan, meski sama-sama dikisahkan meninggal di akhir cerita, dalam novel terbitan Balai Pustaka ini, tokoh Corie justru meninggal dengan cara yang mulia, yaitu mati karena penyakit kolera yang menjadi wabah mengerikan pada masa itu.
Perubahan drastis yang terjadi dalam penggambaran tokoh Corie dalam cerbung dan novel, dikarenakan proses penerbitan novel ini yang cukup dipersulit. Ketika Moeis mengirimkan naskah novel ini ke Balai Pustaka, naskah ini ditolak karena dianggap menjatuhkan citra orang Belanda. Hal ini dilakukan karena Balai Pustaka merupakan penerbit buatan pemerintah Belanda (wadah propaganda) yang bertujuan untuk mengempaskan “bacaan-bacaan liar” pada masa itu. Sementara, naskah (sesuai dengan cerbung yang terbit pada harian De Express) yang dikirimkan oleh Abdoel Moeis dianggap sangat menjatuhkan citra perempuan Belanda yang terkesan buruk.
Maka, atas persyaratan agar naskah novel ini bisa diterbitkan melalui Balai Pustaka, penggambaran tokoh Corie yang subal ini diubah drastis menjadi bidadari. Hal ini sesuai dengan kriteria dari Balai Pustaka yang hanya ingin membagus-baguskan citra Belanda dan menjatuhkan citra orang Bumiputra. Pada akhirnya, walaupun terdapat perubahan pada tokoh Corie, selalu ada amanat dan nilai-nilai yang tersampaikan melalui novel ini. Dan amanat ini, bisa diambil melalui sudut pandang masing-masing pembaca.
Editor: Ghufroni An’ars