Refleksi Kritis dan Strategi Melawan Imperialisme dan Zionisme

M Geofani Heryandi

2 min read

Perenggutan tanah dan nyawa bangsa Arab Palestina oleh kolonialisme pemukim ala zionis merupakan peristiwa kelam dan tragis dalam lembar sejarah peradaban manusia, mengakibatkan setiap mata dan telinga orang di segala penjuru bumi terbuka lebar untuk melihat dan mendengar luka jeritan rakyat tertindas di sana.

Ada begitu banyak reaksi dan respons di media massa atas genosida di Palestina. Mulai dari individu sampai kelompok dengan berbagai latar belakang. Mulai dari kalangan paling kiri, tengah, hingga yang paling kanan. Mereka terus menuangkan berbagai pandangannya. Pandangan yang berbeda-beda ini tentu saja menentukan keberpihakan mereka atas peristiwa ini.

Baca juga:

Instrumen teknologi ChatGPT juga sempat dimintai pandangannya tentang konflik Israel dan Palestina. Bassem Youssef, komedian Mesir menyampaikan itu pada sesi wawancaranya bersama jurnalis kawakan amerika serikat, Piers Morgan.

Pertanyaan Youssef sederhana, “Do Israelis deserve to be free?” Lalu dijawablah oleh ChatGPT, “Yes, Israelis deserves rights like any other people.”

Ketika pertanyaan sebaliknya ditanyakan, “Do the Palestinians deserve to be free?” jawabnya, “It’s complex. It’s sensitive issue.”

Setelah dipublikasikan, wawancara itu viral hingga mengubah algoritma ChatGPT. Ketika ditanya perkara kedua pertanyaan sebelumnya, keduanya dijawab dengan jawaban yang sama, “It’s complicated.”

Pada tataran struktural ini, kita bisa yakin bahwa setiap pengetahuan pasti memiliki muatan ideologis, bahkan teknologi. Makanya setelah pertanyaan dan jawaban diberikan oleh ChatGPT, Youssef kemudian mengatakan “This AI is artificial but not intellegence or intellegence but not artificial.” Artinya dia bukan buatan atau dia tidak intelek. Ia masih bergantung pada siapa yang menyusun dan mengatur algoritma serta caranya mengambil kesimpulan. Itu sebabnya ketika kita menanyakan sesuatu yang sifatnya politis, tentu bahasa dari jawaban tersebut memiliki maksud ideologis terselubung, yang sekali lagi menentukan di posisi mana ia berpihak.

Resisten dan Berpihak

Kolonialisme zionis ini telah membangunkan solidaritas masyarakat internasional. Di titik ini, setiap kelompok yang resisten semakin didesak untuk mengidentifikasi diri mengenai siapa lawan dan musuh sebelum menyusun strategi gerakan yang relevan dan dibutuhkan oleh rakyat tertindas.

Apa yang terjadi di Palestina membuat kita paham bahwa ternyata tidak hanya umat Islam yang sedang melawan segala bentuk penindasan zionis, di sana terdapat pula umat Kristen yang turut dalam perlawanan.

Jika mereka masih taat pada Kristus, sudah selayaknya mereka melawan kekuasaan yang menindas, sebab Yesus Kristus melawan kekuasaan sampai-sampai ia harus mengorbankan dirinya dengan cara disalib demi menebus umatnya.

Apakah wujud pembelaan mereka hanyalah untuk mempertahankan kehidupan mereka sendiri? Atau wujud cinta mereka terhadap Kristus adalah dengan menafikan perlawanan Sang Kristus? Saya kira tidak. Jika demikian, maka sudah seharusnya mereka mengidentifikasi diri secepatnya untuk mengetahui siapakah di antara mereka yang merupakan judas-judas modern yang hendak menyalib keyakinan itu.

Selain kelompok agamis, ada pula faksi gerakan kiri yang turut aktif melawan, yakni PLO atau Organisasi Pembebasan Palestina. Proses identifikasi ini tentu sejalan dengan mereka yang mengupayakan pembebasan Palestina, yang secara teoritik dibenarkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Pasangan ini telah melakukan pembacaan terhadap marxisme dengan menggunakan paradigma posmodernisme yang mendekonstruksi kelas proletar sebagai aktor tunggal perubahan sosial, menghancurkan perannya, lalu menyusun ulang posisinya sesuai dengan konteks zaman.

Baca juga:

Misalnya saja dalam teori konflik. Secara umum, terdapat dua kelompok besar dalam masyarakat, quasi group dan interest group. Quasi group (kelompok lepas) adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki kepentingan yang sama ataupun tidak memiliki tujuan yang jelas. Ruang realitas mereka terpisah sehingga tidak memungkinkan untuk terjadi konsolidasi gerakan. Sedangkan interest group (kelompok kepentingan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama, tujuan yang jelas, hidup dalam konteks ruang yang sama, sehingga sangat memungkinkan untuk mengonsolidasikan gerakan demi tercapainya tujuan bersama.

Bersatu karena Ketertindasan dan Kepentingan yang Sama

Konflik dapat mewujud jika interest group terbentuk dan berbenturan dengan interest group yang lain, sebab ada pertentangan tujuan dan kepentingan. Nah pada titik ini saya kira, dalam konteks kolonialisme zionis, gerakan kiri mampu mengonsolidasikan gerakan mereka bersama kelompok yang juga terjajah dan berkepentingan untuk membebaskan diri mereka. Persoalannya jelas, bagi kelas pekerja, musuhnya adalah rezim imperialisme-zionisme atau pihak-pihak yang mendukungnya. Sedangkan lawan sebelumnya, kelas yang tidak teridentifikasi dalam pertikaian moda produksi, ia telah mewujud dalam interest group.

Inilah yang saya sebut konsolidasi gerakan sebagai langkah awal strategi perlawanan. Meski mungkin dari sisi pandangan filosofis identitas-identitas ini berbeda, dalam wilayah strategi setiap gerakan perlawanan memiliki spirit yang sama. Kita paham bahwa masing-masing faksi gerakan memiliki isu universal yang saling menyatukan.

Para kelompok yang telah menyadari bahwa mereka tertindas sudah seharusnya menyusun kerangka perlawanan sistemik bersama-sama untuk menghadapi para penindas yang menjalankan tindakan mereka secara sistemik pula. Untuk itu, wahai akhi wa ukhti, pribumi, bung dan nona, kamerad sekalian, mari menghilangkan egoisme kelompok dan meleburkannya pada sebuah strategi demi perlawanan yang lebih cepat dan masif.

Dari Sungai Yordan hingga Samudera Mediterania, Palestina merdeka. Merdekalah kaum tertindas!

 

Editor: Prihandini N

M Geofani Heryandi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email