Isu pendidikan pernah menjadi isu terhangat di negeri ini. Saat zaman pergerakan, semua orang berdebat tentang isu pendidikan. Di antara mereka terjadi polemik, manakah yang lebih penting? Merdeka lebih dahulu atau mendidik lebih dahulu?
Sukarno yang terkenal radikal memilih opsi pertama. Baginya, kemerdekaan lebih penting daripada usaha mencerdaskan rakyat. Untuk itulah jalan politiknya didasarkan atas strategi pengerahan massa.
Bagi Sukarno, kemerdekaan adalah jembatan emas. Setelah Indonesia merdeka, usaha-usaha untuk mewujudkan cita-cita adil dan makmur baru bisa dilakukan dengan serius. Khususnya, dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, gagasan Sukarno itu ditolak mentah-mentah oleh Mohammad Hatta. Bagi Hatta, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud tanpa didahului usaha mencerahkan rakyat. Hatta sempat bertanya, bila para pemimpin pergerakan ditangkap sedangkan rakyat belum pernah dididik untuk memimpin, siapa yang bisa mengisi kekosongan kepemimpinan tersebut?
Bagi Hatta, pendidikan rakyat harus lebih didahulukan daripada kemerdekaan. Untuk itulah usaha-usaha mengkader atau mendidik rakyat harus diperkuat. Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru sengaja didesain khusus oleh Hatta untuk mengisi kekosongan kepemimpinan pergerakan pasca Sukarno dipenjara karena tuduhan subversi.
Polemik di antara dwitunggal ini menarik karena menjadikan isu pendidikan sebagai arus utama konflik. Isu pendidikan dipilih bukan sekadar buat mengisi kekosongan wacana pergerakan, tapi juga untuk menarik simpati rakyat dan memperoleh dukungan massa. Sukarno yang sadar pentingnya pendidikan pada akhirnya terjun sebagai guru dan berkecimpung mengurusi isu pendidikan.
Lalu, bagaimana situasinya sekarang? Apakah capres-cawapres Indonesia di Pemilu 2024 masih menjadikan isu pendidikan sebagai isu strategis?
Peta Pilpres 2024
Sayangnya, baik pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, maupun Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terkesan menjadikan isu pendidikan hanya sebatas lampiran pemanis. Indikatornya jelas, semua capres-cawapres memberi porsi lebih sedikit bagi isu pendidikan dibandingkan dengan isu lain seperti ekonomi, hukum, politik, dan sosial.
Pada pasangan Anis-Cak Imin, isu pendidikan ditempatkan pada poin kelima dalam visi-misi mereka. Untuk mewujudkan visi Indonesia Adil Makmur untuk Semua, pasangan Amin memosisikan isu sosial, ekonomi, hukum, dan ekologi di atas isu pendidikan. Hal ini mengindikasikan isu pendidikan lebih minor daripada isu-isu lainnya.
Pada pasangan Ganjar-Mahfud, isu pendidikan tampak lebih strategis bila dibandingkan dengan pasangan lain di Pilpres 2024. Isu pendidikan menempati poin pertama dalam visi-misi mereka. Ganjar-Mahfud mempunyai visi Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari.
Poin Indonesia unggul dalam visi-misi Ganjar-Mahfud diterjemahkan dalam gagasan bernuansa pendidikan. Nuansa itu terbaca pada upaya peningkatan kemajuan, kekuatan, dan daya saing yang dicapai lewat pendidikanmelampaui yang dicapai oleh negara lain. Unsur kompetisi dan inovasi yang identik dengan isu pendidikan terlihat pada penafsiran Indonesia unggul. Namun, sayang, tidak ada penerjemahan lebih lanjut tentang sistem pendidikan seperti apa dikehendaki pasangan ini.
Pasangan panas Prabowo-Gibran mengusung visi bombastis. Mereka mengusung visi Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2024. Turunan visi tersebut terbaca dalam 8 misi asta cita, 8 program terbaik cepat, dan 17 program prioritas.
Pasangan Prabowo Gibran memuat isu pendidikan dalam semua turunan visi mereka. Ada gagasan untuk memperkuat pendidikan dan sains, membangun sekolah-sekolah unggul, serta menaikkan gaji guru dan dosen. Meskipun begitu, pasangan antargenerasi ini tidak menggambarkan ideologi pendidikan seperti apa yang mau dijadikan landasan dari semua program itu.
Baca juga:
Pragmatisme Politik
Impian masyarakat melihat perdebatan sengit antar capres-cawapres tentang isu-isu pendidikan di Pemilu 2024 sepertinya jauh panggang dari api. Meski semua calon pemimpin itu berasal dari golongan terpelajar, sepertinya isu-isu pendidikan masih belum menjadi prioritas program untuk dikembangkan. Padahal, masalah-masalah dalam dunia pendidikan kita sangat urgen untuk diselesaikan.
Pendidikan Indonesia bukan lagi murni bagian dari solusi penciptaan peradaban berkemajuan. Alih-alih menyelesaikan banyak persoalan kebangsaan, pendidikan justru terjerat dalam banyak kasus kemerosotan zaman. Dalam alur input, proses, maupun output pendidikan, ada saja masalah-masalah berat yang terjadi.
Sumber daya manusia yang belum zero stunting, proses pendidikan yang penuh intrik dan kecurangan, hingga banyaknya sarjana yang terjerat kasus korupsi adalah gambaran kasar muramnya wajah pendidikan kita. Pendidikan yang digadang-gadang sebagai investasi jaminan kesejahteraan rakyat berubah sebatas formalitas mendapatkan ijazah.
Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan kebijaksanaan direduksi di hadapan pragmatisme politik jangka pendek. Di depan ambisi kekuasaan, elit-elit terdidik bisa dibeli untuk melegalkan proyek-proyek anti ekologi, anti demokrasi, dan anti kemanusiaan. Hasilnya, pendidikan bukan lagi sarana membebaskan jiwa rakyat, tapi sebatas mencetak kuli-kuli cerdas yang mau bekerja dengan upah seadanya.
Sudah sewajarnya bila Pilpres 2024 dijadikan titik tolak untuk melakukan perombakan paradigma kebangsaan. Penyelesaian persoalan-persoalan pendidikan bukan saja akan memperlebar peluang kita untuk jadi bangsa besar, tapi juga mengubah orientasi kita agar fokus pada masa depan.
Capres dan cawapres yang benar-benar ingin Indonesia maju, berdaya saing, hingga menjadi imperium besar harus memulainya dengan menyelesaikan masalah pendidikan. Jika pendidikan kita masih bermasalah, jangan harap ide keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan akan mewujud menjadi kenyataan.
Editor: Emma Amelia
Apakah ada perbandingan atau referensi terhadap pilihan presiden sebelumnya dan sejauh mana isu pendidikan menjadi fokus dalam konteks pemilihan presiden? Regard Telkom University