Redaksi Omong-Omong

Rahasia Rika

Ghufroni An'ars

5 min read

Namaku Rika dan aku seorang alien. Wati, rekan kerjaku yang orangnya selalu penasaran, langsung tertawa terbahak-bahak ketika aku mengakui rahasia hidupku itu. Dia pikir kewarasanku sudah terganggu karena terlalu sering dihantam beban kerja yang jauh melampaui kemampuanku.

Sebetulnya rahasia itu sudah sama sekali tak penting lagi untukku. Fakta bahwa aku seorang alien tidak mengubah kenyataan bahwa aku masih harus bangun tidur pagi-pagi sekali, menyantap makanan dingin sisa semalam sebagai sarapan, berebut tempat duduk di kereta dengan para pekerja lainnya, sampai di kantor dan mulai mengerjakan tugas-tugas yang tak ada habisnya, pulang larut malam dalam keadaan super lelah, berada di rumah hanya untuk makan dan tidur, menerima upah yang hanya cukup untuk menyambung hidup dengan cara yang paling hemat, lalu semuanya berulang setiap hari.

Kadang-kadang aku menghabiskan malam hariku yang singkat dengan menonton cuplikan film yang bertebaran di media sosial. Sesekali aku tertawa geli saat mendapati sebuah film bertema alien. Mengapa manusia hanya mampu membayangkan alien sebagai makhluk aneh dan jahat berkemampuan super? Sampai sekarang hal itu masih menjadi misteri di kepalaku. Aku memang berpenampilan sedikit berbeda dibanding mereka, tapi sisanya, tak ada sesuatu yang spesial dari diriku. Aku masih butuh kalkulator untuk menghitung perkalian lebih dari 2 angka. Aku sering salah mengenali orang. Aku sering memendam emosiku saat kutahu aku sama sekali tak berdaya di hadapan para atasan di kantorku. Aku selalu stok antidepresan di saku kemejaku. Aku juga pernah kena gerd karena kebanyakan minum kopi dan begadang.

Meski begitu, ada masa di mana aku merasa spesial karena aku berbeda. Masa itu dipantik oleh sebuah ingatan paling awal yang sekarang sudah menjadi semacam residu di kepalaku. Kilasan-kilasan yang tak utuh lagi.

Kalau coba kudeskripsikan, akan kujelaskan bahwa saat itu aku masih sangat kecil untuk menyadari banyak hal yang terjadi begitu cepat. Hanya tampak lampu-lampu berwarna cerah berkedip di tempat aku membuka mata. Punggungku gatal karena tempatku terbaring mungkin berupa rerumputan. Lampu-lampu itu perlahan-lahan menjauh di kegelapan. Angin kencang meniup-niup aku dan sekitarku. Lalu aku merasakan tubuhku diselimuti semacam kain tebal oleh seseorang dan tahu-tahu aku tertidur lagi.

Kupikir kesadaran memang bekerja seperti sebuah cerita tak utuh yang mendadak konflik. Aku tak pernah tahu dengan jelas bagaimana awal kisahku. Tahu-tahu aku dihadapkan pada kenyataan hari ini. Sementara besok selalu menjadi misteri. Semacam potongan cerita tak utuh yang tak dilanjutkan penulisnya karena mungkin gambaran besarnya tak menarik, atau terlalu membosankan untuk dikembangkan.

Kilasan ingatan itu kembali ke kepalaku saat aku mulai bisa mengenali orang-orang di sekitarku. Seingatku persis sebelum aku masuk taman kanak-kanak. Aku mulai menyadari bahwa aku diasuh oleh sepasang orang yang dari mereka aku mengenali konsep Ayah sebagai orang yang tugasnya bekerja mencari uang, dan Ibu yang tugasnya mengelola uang. Saat aku tumbuh sedikit lebih besar lagi, aku mulai mengerti bahwa keluargaku menghasilkan uang yang tidak lebih banyak daripada keluarga lainnya. Kelak kondisi seperti itu kukenal dengan istilah kemiskinan.

Hal spesial pertama yang kukenali dalam hidupku adalah bahwa keluargaku miskin. Yang kedua adalah bahwa ada antena di telingaku. Sesuatu yang tak ada di tubuh teman-temanku yang manusia. Dua hal itu yang seingatku membuat banyak hal yang seharusnya sederhana menjadi sulit kulakukan.

Ibu memintaku untuk selalu menyembunyikan antenaku dengan kain penutup kepala. Selain untuk merahasiakan keberadaan antenaku, kain penutup kepala itu, kata Ibu akan membuatku lebih diterima oleh orang-orang. Sementara Ayah memberiku sepatu mahal untuk aku pergi sekolah, agar tak ada yang tahu bahwa keluargaku susah. Dibesarkan oleh kedua orangtua sambungku itu membuatku pandai menyembunyikan banyak hal, termasuk rahasia bahwa aku seorang alien yang ditelantarkan orangtua kandungku di sebuah planet bernama Bumi.

Kemiskinan keluargaku bertambah buruk pada saat aku beranjak remaja. Saat itu kondisi ekonomi negaraku katanya sedang tidak stabil. Harga-harga bahan pokok naik drastis dan orang-orang mulai mengamuk di jalanan. Hal-hal semacam itu ramai dibicarakan orang-orang melalui radio dan koran. Tahu-tahu isu ketidakstabilan ekonomi itu berubah menjadi penculikan terhadap orang-orang dengan bentuk fisik seperti kedua orangtuaku.

Pada saat itu aku tak dapat memahami perbedaan antara orangtuaku dengan orang-orang yang lain. Di mataku mereka semua sama-sama manusia. Tapi orang-orang itu terus membedakan diri sebagai pribumi, dan orangtuaku tak termasuk di dalamnya, meskipun mereka lahir dan besar di tanah yang sama.

Konon buyut moyang dari orang-orang seperti orangtuaku memang berasal dari daratan yang jauh dari sini. Tapi orangtuaku bahkan sudah tak mengenal moyangnya lagi. Kerasnya hidup sebagai minoritas membuatku sadar pentingnya menyembunyikan identitas bagi orang-orang yang berbeda dari kebanyakan.

Sayangnya orangtuaku juga tak kembali selepas kerusuhan itu. Aku sempat melihat Ayah dan Ibu membuat tulisan di tembok rumah kami sebelum mereka memelukku dan pergi. Sambil menangis mendapati pintu rumah itu mereka kunci dari luar, kueja tulisan yang mereka tinggalkan dari balik kaca jendela yang retak terkena lemparan batu: “Rumah ini milik pribumi.”

Selain kesedihan, hilangnya orangtuaku membuatku membayangkan, mungkin yang terjadi di planet asalku juga tak jauh berbeda dibanding tragedi yang dialami orangtuaku di sini. Mungkin orangtua kandungku juga korban dari kerusuhan semacam ini dan terpaksa meninggalkanku demi keselamatanku. Mungkin orang-orang di planetku juga sulit menerima perbedaan dan mulai menyingkirkan kelompok yang paling sedikit jumlahnya. Mungkin orangtua kandungku juga dianggap makhluk asing bagi bangsanya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan semacam itu menjadi dongeng yang menemani tidurku sampai aku beranjak dewasa sendirian di kota ini.

Aku merasa beruntung karena warna kulitku yang lebih gelap ternyata membuatku dianggap pribumi. Selama tak seorangpun menyadari antena yang tumbuh di telingaku, kupikir hidupku akan terus baik-baik saja. Aku pun mulai membaur dengan para pribumi. Pura-pura menjadi bagian dari kelompok dominan adalah cara terbaik untuk menyembunyikan identitas asliku. Kalau orangtuaku yang masih sama-sama manusia saja bisa dihilangkan karena tampak sedikit berbeda, aku tak dapat membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada alien sepertiku.

Tak lama setelah tragedi itu, berita tentang lengsernya kekuasaan totaliter di negara ini tersebar luas. Orang-orang merayakannya dengan berbagai cara karena merasa telah berhasil menumbangkan seorang jahat yang telah lama berkuasa. Namun, mimpi burukku tentang tragedi yang pernah kualami sama sekali tak ada yang peduli. Tak seorang pun merasa bersalah atas hilangnya orangtuaku. Nama orangtuaku tak ada di berita-berita. Waktu berjalan seperti seorang pembunuh yang tanpa alasan, dibebaskan dari hukumannya.

Mimpi buruk itu mereda saat aku disibukkan dengan aktivitas pekerjaanku selepas lulus sekolah tinggi. Dengan hibah dari sana-sini aku berhasil menamatkan pendidikanku. Meski tak dirayakan siapapun, aku cukup bahagia karena kesibukanku membuatku pelan-pelan larut dalam penyamaranku sebagai pribumi. Membuatku pelan-pelan dapat menjalani hidup seperti pribumi yang mudah melupakan tragedi masa kecilku.

Di masa awal aku bekerja, teknologi berkembang pesat dan penemuan-penemuan aneh bertebaran setiap hari. Tampaknya di masa itulah aku mulai menyadari bahwa menjadi aneh sudah bisa dipahami sebagai hal biasa oleh masyarakat.

Awalnya orang menghujat ketika ada seorang remaja merekam dirinya asyik berjoget diiringi musik bertempo cepat. Namun, lama-lama aktivitas itu menjadi semacam tren yang menyenangkan untuk diikuti. Orang mulai melakukan pergerakan-pergerakan melalui budaya pop untuk menyuarakan pendapat mereka. Orang bahkan menciptakan berbagai istilah-istilah baru untuk mengekspresikan diri dalam komunitas-komunitas kecil mereka. Bahkan pernah ada seorang calon presiden yang menggunakan tren joged sebagai alat kampanye. Sesuatu yang minor tak lagi dianggap menyimpang. Dalam dunia yang seperti itu aku pikir aku dapat mulai berdamai dengan diriku yang sebenarnya. Aku ingin mengakui pada dunia ini bahwa aku memang berbeda dari mereka, tapi mereka tak perlu khawatir karena aku datang dengan damai.

Tapi Wati, manusia pribumi di hadapanku ini malah tertawa ketika aku mengakui rahasia terbesar dalam hidupku. Aku bilang aku seorang alien, dan dia pikir aku gila. Aku tak bisa membalasnya dengan cara lain kecuali hanya tertawa. Itu respons paling normal yang kupelajari selama berpura-pura menjadi manusia.

Sembari menghabiskan sisa Indomie di mangkuknya, Wati mulai mengalihkan pandangannya pada berita dari televisi yang terletak di sudut warmindo tempat kami mampir makan malam sepulang dari kantor. Seorang reporter berdasi membuka acara dengan kata-kata penghakiman atas kejadian yang akan ia beritakan.

Berita itu tentang seorang siswa yang dikeluarkan dari sekolahnya setelah ia menceritakan sesuatu yang dianggap ganjil kepada seorang guru. Siswa itu sulit menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, tapi bagi gurunya, itu adalah gejala yang buruk dan dapat menular pada siswa lainnya. Sesuatu tentang perasaan dan ketertarikan tak biasa kepada kawan berjenis kelamin sama. Aku melihat bagaimana wajah orang-orang di warung langsung berubah ketika mendengar keganjilan itu. Mereka tampak seperti hewan buas yang tak segan memburu siapapun yang merasakan gejala serupa.

“Kalaupun kamu benar-benar alien, sebaiknya tetap pura-pura jadi manusia saja,” kata Wati tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar sedikit kesal. Matanya sebentar mendarat ke arah wajahku, sebelum beralih pada ponselnya yang tergeletak di meja.

Ponsel Rika bergetar dan nyala sebentar. Tak sengaja kulihat sebuah pesan mendarat di halaman depannya. Sebuah kalimat singkat tertera di sana, dan diakhiri dengan sebuah emoji pelangi dan bunga matahari.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email