Usia Kang Rahman belum genap sepuluh bulan ketika dengan terpaksa ia harus berpisah dengan puting ibunya yang memancurkan susu untuk mengairi hidupnya yang serba kesusahan. Kata orang-orang desa, perempuan paruh baya itu ditemukan gantung diri di kamarnya dengan badan pucat pasi dan lidah terjulur. Sekujur tubuhnya kaku, dan tepat persis di bawahnya tercecer beberapa tali yang telah terburai.
Sepanjang ingatan Pak Kades, malam dua puluh delapan tahun silam itu sedang ramai dengan ingar bingar suasana hajatan. Putra semata wayangnya, Hadi, meminta untuk disunat dan untuk manjaga pamor, digelarlah pentas wayang semalam suntuk. Penjual kacang rebus, jajanan pasar, hingga mainan anak-anak tumpah ruah di pinggir jalan. Warung kopi yang biasanya hanya laris oleh supir truk yang lalu-lalang dari jalan besar kini tampak lebih hidup dan berisik—obrolan politik, musim tani, pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri, hingga celetukan nakal disisipi sedikit gairah soal ranjang samar-samar terdengar.
Tidak ada yang absen dalam menikmati malam pagelaran wayang yang hanya bisa dijumpai ketika ada orang kaya yang punya hajat atau rangkaian kampanye dari politisi lima tahun sekali. Warga desa memanfaatkan momentum itu untuk sejenak mengusir rasa gelisah akan lilitan utang dan beban pikiran karena gagal panen. Ada yang memang berniat menonton wayang sampai tuntas, ada pula yang hanya sekadar ingin melihat-lihat, cuci mata, atau cari angin. Sambil menunggu dalang rawuh dan niyaga menata peralatan gamelan, beberapa perjaka berkumpul dan merokok di pos ronda tak jauh dari lapangan sambil bermain gaple.
Asap reduksi nikotin membumbung sampai ke arah gadis-gadis yang dengan malu-malu memamerkan pakaian baru yang dibeli di pasar tadi siang. Kebanyakan memakai rok berlapis dan brokat warna-warni yang tengah menjadi tren. Bau parfum murah bercampur aroma tanah selepas hujan mengudara. Untuk acara yang memungkinkan banyak orang bertemu, mereka ingin tampil secantik mungkin. Hitung-hitung, sambil cari jodoh, begitu pikir mereka.
Namun, antusiasme itu tidak jadi dirasakan oleh Pak Solihin, ayah Kang Rahman yang merupakan salah satu perangkat desa. Teriakan histeris terdengar dari arah rumahnya dan beberapa orang yang hendak berangkat ke lapangan untuk menyaksikan pagelaran wayang pun berbelok ke arah kediaman Pak Solihin. Kang Rahman yang masih bayi menangis kencang di buaian, Pak Solihin bergeming dengan napas tercekat, sementara orang yang datang terkejut bukan main melihat istrinya dengan keadaan yang mengenaskan. Orang tua dengan panik berusaha menjauhkan anak-anak dari lingkungan rumah Pak Solihin sementara dua pemuda langsung berlari ke arah puskesmas terdekat untuk mencari bantuan.
Sayang, belum sempat diberi pertolongan pertama, semua warga yang mengevakuasi jasad ibu Kang Rahman sudah bisa menyimpulkan bahwa perempuan itu sudah tak lagi bernyawa. Pak Solihin menangis tanpa suara. Esoknya, salat jenazah dan pemakaman dipimpin oleh Kiai Jamil. Tokoh masyarakat itu tidak banyak bicara, ia menjalankan tugasnya dengan tenang tanpa memberi komentar apa-apa. Berbeda dengan pelayat lain yang kerap terlihat berbisik-bisik soal kematian ibu Kang Rahman yang tidak wajar.
Sebagai kepercayaan turun-temurun, setelahnya masyarakat desa mengadakan acara tolak bala dengan menabuh kentongan, gejog lesung, dan sabetan cemeti sapi pada malam hari. Menurut tetua kampung, bunyi-bunyian yang dihasilkan diyakini dapat mengusir pulung gantung. Pulung gantung. Pak Kades jelas tahu, dalam budaya Jawa, ketiban pulung atau kejatuhan pulung merupakan hal yang positif. Hal tersebut bisa disamakan dengan orang beruntung yang mendapatkan wahyu. Sementara, apabila pulung yang jatuh merupakan pulung gantung, masyarakat memercayainya sebagai tanda kematian.
Pak Kades sama sekali tak pernah melihat wujud bola api berekor yang biasanya melayang dan melesat di atas rumah orang yang di kemudian hari bunuh diri itu. Selama tiga perempat abad hidupnya, ia tak pernah bersinggungan dengan hal-hal gaib. Ia adalah muslim yang taat dan selalu menghormati tiap nilai-nilai leluhur yang masih warga desa coba lestarikan, tetapi untuk memercayainya secara pribadi Pak Kades masih enggan. Sampai pada hari di mana sang cucu, Ikram, juga mengakhiri hidupnya dengan gantung diri…
***
Kang Rahman menyambung hidup dengan bekerja serabutan. Ia menjadi buruh, menjajal peruntungan sebagai kuli panggul, beternak (meski pada akhirnya gagal), dan menyumbang tenaga dengan menjadi kuli bangunan tiap ada bangunan yang akan berdiri di desa. Ayahnya yang sudah tua renta hanya bisa membantunya dengan memilah barang rongsok yang telah dikumpulkannya sebelum dijual ke pengepul. Untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari saja, Kang Rahman perlu memutar otak dua puluh empat jam penuh agar setiap anggota tubuhnya terus bergerak mencari pundi-pundi uang.
“Ke masjid, Kang?” sapa seorang pemuda kurus dari arah teras rumahnya. Ia membenarkan letak kopiahnya, menaikkan lipatan sarungnya, dan menghampiri sambil tersenyum ramah.
Kang Rahman menjawab dengan anggukan kecil dan lambaian akrab, lalu menyejajarkan langkah menuju masjid dengan Ikram, anak Kang Hadi dan cucu dari Pak Kades yang selalu memanggilnya dengan embel-embel ‘Kang’. Ikram sudah cukup lama merantau ke Jakarta, katanya melanjutkan kuliah. Ia baru tampak akhir-akhir ini setelah mengikuti salat jemaah di masjid. Sebagai cucu kebanggan Pak Kades (yang sekarang sudah tidak menjabat lagi), Ikram memikul tanggung jawab yang cukup besar. Kini ia telah menjadi sarjana di bidang pertanian, sambil mencari pekerjaan ia kembali ke kampung halamannya untuk sementara dan melakukan penyuluhan kecil-kecilan untuk tetangga yang mayoritas merupakan petani.
Tentu saja banyak warga yang turut bangga dan mengelu-elukannya, bahkan anak-anak yang sering bermain di sekitar embung memanggilnya dengan sebutan ‘Pak Guru’ karena menurut cerita orang tua mereka, Ikram adalah seorang profesor yang pintar dan memiliki banyak ilmu. Sembari menikmati waktu pulang kampungnya, pemuda itu mulai menyapa masyarakat kampung yang meramaikan masa kecilnya, termasuk Kang Rahman yang kisah pilunya selalu dijadikan pengantar tidur oleh sang kakek.
Kang Rahman menyalami Ikram setelah selesai salat jemaah. Sebelum kembali berfokus pada rapalan doa-doa, ia menyempatkan diri untuk menatap cucu mantan kepala desanya lebih lama. Ada gurat lelah yang terkesan ditutup-tutupi melalui kantung matanya dan bibir pucatnya. Raut pemuda itu tidak sesegar ketika masa kanak-kanak dan remaja. Tak mau menambah beban pikiran, Kang Rahman mengenyahkan segala prasangka sekalian kekhawatirannya dan lanjut berdoa. Berharap kejadian yang menimpa ibunya dan beberapa warga lain tak terjadi lagi di desa ini.
***
“Makan yang banyak, Ram. Jangan malu-malu begitu lah. Laki-laki harusnya makan dua piring, kalau bisa porsi kuli!” gurau Mat Gentong, lelaki dengan perut mengembang yang seringkali menyumbang tenaga di acara-acara kampung. Pekerjaannya sebagai rentenir tidak membuatnya lantas dibenci banyak orang. Oleh karena polahnya yang lucu dan cara menagihnya yang manusiawi, Mat Gentong dihormati oleh banyak orang. Ia selalu hadir dalam pagelaran seni, tujuh belasan, hingga hajatan seperti kawinan, muyi (menengok bayi), dan sunatan.
Seperti di acara syukuran pulangnya Ikram, ia menjadi primadona karena leluconnya yang tak pernah habis. Semua yang hadir duduk melingkar sambil menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Nisrina, ibu Ikram. Kang Hadi sebagai kepala keluarga mempersilahkan semua tamunya untuk turut bersuka cita atas kedatangan putra kesayangannya. Termasuk Kang Rahman yang ikut duduk di sela kumpulan bapak-bapak.
“Kalau sudah selesai sekolah, berarti tinggal rabi, tho? Sudah ada calon belum, Cah Bagus?” tanya Mat Gentong ketika suasana rumah kembali tenang. Masih ada beberapa ibu-ibu yang lalu-lalang membantu membereskan piring dan gelas untuk dicuci di pawon.
“Masih mencari, Mat,” jawab si pemuda sambil menggaruk belakang tengkuk, gestur tidak nyaman ditanyai ini dan itu.
“Walah, kok masih mencari. Cari istri itu ya gampang, tinggal pilih. Lah wong kamu saja sudah lulus, ngganteng, cucu Pak Kades lagi,” lanjut Mat Gentong. Ia menyesap kretek favoritnya sambil menatap Ikram meminta penjelasan.
“Nggih, Mat. Hanya saja sampai sekarang ini belum ada yang cocok sama Ikram,” balasnya sopan. Ia melirik Kang Rahman yang duduk santai, bersender di salah satu tiang rumah sambil mencomot sego tiwul porsi terakhir dan terkikik-kikik kecil.
“Kalau cocok-cocokan itu sulit, Ram. Gadis-gadis desa sebelah itu cantik-cantik, apalagi cucunya Kiai Jamil. Sudah cantik, salehah, keibuan. Malah katanya tahu depan lulus SMA. Cocok sama kamu, Ram! Kalau ndak cepat-cepat, kalah lamaran dengan orang lain nanti,” cerocos Mat Gentong, mencoba memprovokasi agar pemuda itu mulai tertarik pada pernikahan.
“Sudahlah, Mat. Jangan terlalu dipaksakan. Lagipula Ikram juga masih terlalu muda. Bujangan yang lebih tua dari dia saja masih banyak yang belum mau rabi, masih pada sibuk cari kerja. Yang penting mapan dulu. Meskipun Pak Kades tanahnya ada di mana-mana, kalau Ikram ndak bisa ngolahnya ya percuma, tho? Biarlah dia berpikir buat putar semua itu agar bisa jadi penghasilan,” ujar Kang Rahman, menyeruput kopi panasnya dan menangkan Mat Gentong agar tak terlalu menggebu-gebu.
“Wes, Ram. Ndak usah dipikirkan. Mat Gentong itu cuma bergurau, pingin lihat kamu sama gadis impianmu bersanding saja. Lakukan dulu apa yang selalu jadi impianmu, baru kalau sudah pantas dan tiba saatnya, cari istri yang sekiranya bikin hidupmu tentram. Jangan buru-buru, Ram,” tambah Kang Rahman ketika suasana sudah hening dan semua tamu telah pulang ke rumah masing-masing, termasuk Mat Gentong yang telah berpamitan sepuluh menit yang lalu.
Ikram menatap simpati pada lelaki yang lebih muda dari ayahnya itu. Seketika ingatannya terlempar kembali pada masa lalu, di mana pulung gantung masih menjadi teror yang menjadi santapan rutin masyarakat di desanya. Kakeknya bercerita bahwa kasus ibu Kang Rahman adalah yang paling tidak terprediksi. Biasanya, setiap orang yang tak sengaja melihat lintasan bola pijar mirip komet itu di atas rumah seseorang, maka seluruh anggota keluarga akan saling menjaga agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kiai Jamil, sebagai alim ulama, tentunya menyarankan warganya yang muslim untuk membaca surah-surah setiap malam dan pagi hari agar terlindungi dari segala macam gangguan setan. Beberapa ada yang tertolong, beberapa ada yang tidak. Pulung gantung seakan menjadi fenomena getok tular yang memiliki efek domino. Bahkan, posisi wajah seseorang yang meninggal karena gantung diri adalah pertanda bahwa tepat di arah tersebut akan ada korban lagi.
Kakeknya adalah salah satu dari mereka yang memilih untuk tidak terlalu memercayai pulung gantung. Ia mengikuti anjuran Kiai Jamil untuk terus bertawakal ketika seorang petani yang baru kembali dari sawah melihat bola cahaya jatuh di lahan rumah Pak Solihin, ayah Kang Rahman. Di malam kakeknya mengadakan pagelaran wayang untuk sang ayah, Pak Kades melupakan fakta bahwa di rumah Pak Solihin ada tiga orang yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut cerita, ibu Kang Rahman hanya pamit ke dapur untuk mengambilkan makanan untuk Pak Solihin, tetapi malah berakhir menggantung diri di kamarnya.
“Aku ndak pernah mau rabi, Ram. Takut nasibnya sama kayak ibuku,” suara lirih Kang Rahman memecah keheningan. Jangkrik dan tonggeret yang biasanya bersahut-sahutan menghilang entah ke mana. Pak Solihin dan Bu Nisrina telah undur diri masuk ke dalam rumah, meninggalkan anak mereka duduk-duduk di bale-bale bersama Kang Rahman.
Malam makin larut, dan Ikram memilih untuk bungkam.
***
“Astaghfirullah! Yai! Astaghfirullah! Kiai! Kiai Jamil! Astaghfirullah!”
Pukul tiga dini hari, waktu untuk jemaah subuh masih cukup lama. Di masjid hanya ada Kiai Jamil dan delapan orang santrinya yang tengah salat tahajud. Mat Gentong berlari tergopoh-gopoh dengan bercucuran keringat dan rengek ketakutan. Semua yang ada di dalam masjid merespons dengan cekatan, memberi lelaki tambun itu air putih dan menunggunya menetralkan napas untuk bercerita ada apa gerangan.
“Rumah Pak Kades, Yai! Rumah Pak Kades!” serunya sambil mengelap wajahnya frustrasi. Ia menatap satu per satu santri yang mengelilinginya dengan tatapan nanar sebelum melanjutkan, “Ada pulung gantung! Jatuh di belakang rumah Pak Kades, Yai! Sumpah!”
Kiai Jamil mengusap pelan bahu Mat Gentong yang masih naik turun kesusahan bernapas. Ia terkejut bukan main ketika hendak berangkat ke stasiun di kota—yang jaraknya berkilo-kilo jauhnya hingga ia harus bangun pagi-pagi sekali agar tak ketinggalan kereta—dan berpapasan dengan pijar bola terkutuk yang selama ini menjadi momok mengerikan bagi warga desa. Awalnya ia mengira cahaya tersebut merupakan bintang jatuh, atau mungkin hanya ilusinya yang masih mengantuk di pagi buta karena hawa yang dingin.
Tapi setelah ditatap cermat-cermat, bola itu tampak sangat nyata. Ia memiliki ekor, melayang-layang sebentar, dan kembali terbang lurus membentuk garis. Ketika bola itu jatuh di pekarangan Pak Kades, Mat Gentong lari tunggang langgang menuju masjid, yang beruntungnya ada Kiai Jamil dan para santrinya tengah salat tahajud di sana. Sembari membacakan doa-doa, Kiai Jamil menyuruh beberapa santrinya untuk mengecek keberadaan Pak Kades di rumahnya.
“Semoga benar tidak ada kejadian apa-apa,” gumam Kiai Jamil.
“Sepertinya kita harus menjaga Pak Kades, Yai. Kalau perlu adakan pengajian rutin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” celetuk Mat Gentong yang disetujui oleh santri-santri yang tersisa.
Setelah jemaah subuh terkumpul, Kiai Jamil bernapas lega melihat Pak Kades juga mengikuti jemaah dan beribadah dengan tenang. Di akhir doa yang ia pimpin, tak lupa berpesan pada seluruh jemaah untuk memberi tahu semua orang di desa agar bersama-sama menjaga lingkungan agar tetap aman dan kondusif, terutama rumah Pak Kades yang diberitahukan oleh Mat Gentong baru saja kejatuhan pulung gantung.
“Pak Kades, Pak Kades ini gimana sih, kok malah santai-santai begitu? Ndak takut?” Mat Gentong mengikuti langkah lambat Pak Kades dan terompahnya dari masjid ke rumahnya. Sementara Ikram dan Kang Rahman turut serta di belakang mereka.
“Takut itu cuma sama Allah, Mat. Dzat yang maha merahasiakan. Ndak ada yang tahu kapan aku mati. Kalau aku ditakdirkan mati hari ini ya bakal mati hari ini. Wes, ndak perlu dibesar-besarkan,” ungkap Pak Kades dengan lembut.
Ia mempersilahkan Mat Gentong, Kang Rahman, dan cucunya masuk untuk menyantap bubur ayam kiriman Nisrina—karena giginya yang telah banyak tanggal dan ia sering kesusahan mengunyah makanan. Sambil menenggak teh panas, Ikram mengamati embun yang mulai turun dari tempat duduknya bale-bale.
“Pulung gantung itu beneran ada, Kang?” tanya Ikram memberanikan diri.
Kang Rahman terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Ada. Bagi mereka yang percaya.”
“Kang Rahman sendiri percaya?”
Lelaki itu terdiam lagi. Lalu balik menatap Ikram yang masih asyik dengan teh panasnya. Barangkali karena pemuda itu adalah anak kuliahan yang selalu menganalogikan segala peristiwa dengan logika, sehingga hal-hal yang abstrak seperti kepercayaan merupakan sesuatu yang aneh di matanya.
“Aku sih, percaya, Ram. Tapi kalau kamu mau ndak percaya ya ndak apa-apa. Bebas, kok,” sahut Kang Rahman sebagai jawaban penengah. Pengalamannya kehilangan ibu yang wajahnya tak pernah ia ingat itu karena pulung gantung membuatnya sensitif pada pembahasan tersebut, meski ia telah lama berdamai dengan masa lalu.
“Ndak begitu, Kang. Saya cuma bertanya saja,” Ikram buru-buru meminta maaf.
“Santai. Kamu mungkin ndak percaya karena belum mengalaminya sendiri,” ledek Kang Rahman sekaligus ingin menakut-nakuti.
Ikram tertawa keras-keras, “Ya. Nanti saya coba, Kang.”
Respons tak terduga itu membuat Kang Rahman terdiam. Ia menghabiskan sisa buburnya dan berlalu pulang.
***
Pak Kades tak kuasa menatap anak dan menantunya yang masih menangis histeris di depan keranda Ikram. Cucu laki-lakinya ditemukan mati tergantung di pohon beringin di turunan jalan menuju embung. Salah satu warga desa yang hendak mengambil air dengan menenteng jeriken dikagetkan dengan jasad Ikram yang menimbulkan bunyi gesekan dahan dan ranting. Sama seperti Mat Gentong yang berlari secepat kilat tempo hari, ia melaporkannya langsung pada Pak Hadi dan Pak Kades.
Segalanya terkesan tidak masuk akal dan mengejutkan. Seluruh warga desa selalu menyempatkan diri untuk berjaga di rumah Pak Kades, entah itu sepulang dari ladang, sambil menunggu antrean di posyandu, atau beberapa preman pengangguran yang merasa senang diberi makanan gratis oleh Pak Kades, tetapi justru Ikram lah yang menjemput ajal lebih cepat. Ia tidak gantung diri di kamar tidur, dapur, sumur, atau tempat-tempat biasa seseorang yang telah terkena pulung gantung. Ikram tergantung dengan tambang yang melilit lehernya, untuk ukuran pohon beringin yang sangat lebat, sedikit aneh jika hal tersebut dilakukan tanpa bantuan orang lain.
“Sudah, Bu. Ikram sudah ndak ada. Sudah pergi,” Pak Hadi mencoba menenangkan dan membesarkan hati istrinya yang tampak masih belum menerima kenyataan bahwa anak laki-laki kesayangan mereka mati dengan cara yang mengenaskan.
Kang Rahman ada di saf paling depan ketika jenazahnya tengah disalatkan. Ia menatap keranda yang telah terbalut kain hijau bertuliskan tauhid itu dengan tatapan kosong.
“Oalah Cah Bagus… Aku mung ngenteni awakmu rabi… Pingin lihat kamu meminang gadis, Cah Bagus…” Mat Gentong ikut mengungkapkan suasana dukanya.
Di pemakaman, Kiai Jamil memimpin doa sebagaimana ia menjalankan tugasnya. Sama seperti dua puluh delapan tahun silam, persis seperti di ingatan Pak Kades dan Kang Rahman. Kiai Jamil tidak banyak bicara. Ia mendoakan Ikram sebagaimana ia mendoakan semua penduduk desa yang meninggal secara wajar—sakit, usia senja.
“Saya tahu kamu sedang dikejar banyak masalah di Jakarta, Ram. Tapi ndak begini juga…” Kang Rahman mengusap nisan Ikram setelah semua orang pergi.
Di atas tanah kuburan, sesak yang sama kembali ia rasakan lagi.
Perih dan kehilangan yang sama seperti dua puluh delapan tahun silam.
***