Pulang Sebelum Pergi
Langit, laut, dan tanah meminjamkan sedikit dirinya dan membangun Parepare di tubuhnya
Pernah ia saksikan sebelum sore terbenam sepasang kekasih berjanji pulang
Lekuk tubuh pantainya tertawa riang melihat remaja kasmaran itu saling mengecup ingatan
Kaki-kaki mereka ingin mengarungi dunia sampai lupa bagaimana rasa asin di ujung lidah, dingin malam menusuk kemeja, temaram bulan di mata, dan ombak yang mengejar cahaya
Mereka telah berjanji pulang sebelum pergi
Mereka ingin mati bersama di masa kecil kota ketika layang-layang masih sering dijumpai
dan ujung sawah adalah petualangan baru berikutnya
Mereka tidak sabar mencium sore bersama-sama
Menikmati senggol dan asin air laut di kulit dan menggerutu betapa kota ini tidak sama lagi
Tidak Ada Hal Baik Setelah Jam dua Pagi
Pencuri licik yang tidak bisa ditangkal penangkap mimpi
Lelap meniup kantuk di berat kelopak mata
Api terbang penunggu orang-orang yang berusaha dilupakan ingatan
Tangan mereka kapai ke udara
Bangkit dari makam tidak berbatu nisan
di lanskap ini, perempuan berbajukan dunia telah lihai berpura-pura ramah
Dia habiskan hampir seluruh masa mudanya berlatih menderita
Dia tadahkan kelaminnya ke udara seperti berdoa
Di gincu dan ranum payudaranya ada bekas tangan orang-orang
pemabuk , yang telah puas mengepak-ngepak bermimpi lebih perkasa
Setelah lebur dalam batas dunia dan surga
Dia berceramah tentang lahir, hidup, dan mati, seolah dia yang paling mengerti
sungguh malang nasibmu , tidak ada hal baik yang datang setelah jam dua pagi
Di lobby hotel ini pekat semakin malam, mereka yang lelah menunggu petang binasa
Menyeruput kopi sambil mencibirmu berkali-kali, bercerita tentang jalan hidup yang kau lalui, pun mereka ingin menyicipmu sekali-kali
dan kau telah biasa, dengan mereka
Mata -mata yang siap menyetubuhuimu bergantian tanpa jeda
Kau mengerti senyum adalah senjata
Perisai dari dunia
Negara yang Rakyatnya Selalu Patah Hati
di negara yang rakyatnya selalu patah hati
tangisan adalah remah-remah
manusia berpura-pura ramah
senyuman adalah kalimat larangan
protes adalah perintah penangkapan
kelaparan adalah makanan sehari-hari
anak-anak bermain-main dan menunggu kematian
orang dewasa bermain-main dengan kematian
kematian bermain mata dengan Tuhan
lalu hari ini jika tidak kau temukan diriku pulang
periksa berita kriminal sebentar petang
mungkin ada sebuah alasan lagi untuk patah hati
negara berdiri di atas kepala kita
memegang batang kemaluan kita
mengendalikan cuaca di atas padi yang kita tanam
mereka gemar mengubah makna kata
Damai itu perang
Perbudakan adalah kebebasan
kebodohan bisa jadi kekuatan
Pikir sekali lagi
jika kau pikir tidak akan kau temukan negara di kepalamu
mungkin pegawainya sedang keluar makan siang atau bermain gim dan entah kembali kapan
mereka gemar bermain gim murahan itu
sembari waktu menghabiskan mereka
mereka menghabiskan kita
di negara yang membuat kita patah hati
tidak pernah ada kita di samping kata negara
Seorang Gadis yang Mati Tertembak di Jalan
Seorang gadis berjalan menuju kerumunan
Sebelum berangkat ia berkata pada ibunya
“Ibu, saya berangkat dulu ke sekolah”
“Hati-hati di jalan nak” balas ibunya kemudian
Ia membatin, “ Hari ini akan kuajarkan sesuatu pada negara ini”
K(i/o)ta
Pada penghujung hujan di sore yang memerah, kita memutuskan perpisahan adalah kalimat sapaan terakhir sebelum nanti bertemu lagi dengan tidak lagi saling memanggil kekasih
Yang aku takutkan dari pulang ke kota ini adalah bertemu diriku sendiri dan tidak kutemukan kau di dalamnya
Sayangnya, kota ini mengingat jelas renyah tawamu memandangi pantainya yg tertutup ketamakan negara atau gerutu protesmu memasuki lorong-lorongnya yang gelap dan berujung entah di mana
Kota ini memeluk ingatan tentangmu erat, aku memelukmu dengan berat
Tanganku ranting kayu yang daun terakhirnya rangas di akhir kemarau. Kepalamu bandara yang ingin kucium berkali-kali, ingatannya sebentar lagi berangkat menujuh entah
Bila suatu hari kota ini membiarkan kita bertemu lagi, semoga tanahnya membiarkan kita mengingat bahwa di tiap jengkalnya, kota ini adalah kita
Kami Melihat Umur Kami pada Kota ini
“Bapak dulu bersepeda tiap kali ke Makassar”
Begitu kata Bapak, tiap kali kami minta motor karena kuliah di Makassar begitu jauh
Tetanggaku mengingat Losari sebagai tempat berenang
Berangkat ke Makassar pernah jadi liburan, sekarang kami ke Bali untuk libur dari Makassar
Layang-layang pernah terbang di Makassar sebelum jalanan mengambil alih langitnya
Pacarku tahu bahasa Makassar tapi tetap tidak bisa memahami Makassar
Anak tetangga yang orang Makassar lebih senang memutar lagu berbahasa asing
Penggemar tim sepak bola kota Makassar masih tetap belum pernah juara
Orang-orang kaya berlomba-lomba tinggal di kampung nelayan padahal mereka tidak pernah menjala ikan
Kami tidak tahu apakah Makassar senang mengenang masa kecilnya, tapi kami tahu Makassar tidak senang dengan dirinya yang sekarang