Aku tidak pernah bisa mengerti apa yang membuat orang-orang itu ingin cepat pulang. Maksudku, bukankah menyenangkan berkeliaran di luar sebentar sebelum mengurung diri di kamar lalu melakukan hal yang sama keesokan harinya. Rutinitas seumur hidup yang menyesakkan; bangun tidur, pergi bekerja, pulang, lalu tidur, dan ulangi.
Malam ini aku sedang tak ingin cepat pulang. Rumah yang terasa seperti bukan rumah, apalagi berdesakan di KRL dengan para manusia lain, seperti ikan teri dijaring nelayan, dengan ekspresi wajah serupa, menggelepar melawan dalam diam, melarikan diri ke dalam media sosial dan mulai berangan-angan.
Aku duduk di kursi panjang di main hall Stasiun Jakarta Kota yang beratap melengkung tinggi dan ditopang kolom rangka baja, di depan peron 12 jalur kereta KRL menuju Bogor. Aku menyandarkan punggung di kursi, menengadah menatap lampu-lampu di langit-langit stasiun sambil mendengar lagu There Is A Light That Never Goes Out dari The Smiths dari salah satu platform musik digital. Aku menutup mata, suara-suara berisik dalam kepala sedikit demi sedikit redup lalu hilang, untuk beberapa waktu aku tinggal di sebuah tempat menyenangkan, yang terpisah jauh dari dunia. Tapi suara Morrissey tiba-tiba mendengung seperti lebah tua yang berada di perbatasan antara hidup dan mati.
“Apa kursi ini kosong?” tanya seseorang memaksaku kembali ke kenyataan yang dingin.
Seorang laki-laki berambut ikal acak-acakan berdiri menunjuk kursi tempat aku meletakkan tas gendong hitamku. Aku langsung mengambil tas dan memindahkannya ke pangkuan sambil berusaha menghindari kontak mata.
Aku baru saja akan kembali duduk dengan posisi semula ketika dia menyodorkan satu buah jeruk. Aku menerima jeruk itu dengan tatapan heran dan ragu.
“Jeruknya memang nggak begitu manis, sedikit asam tapi menyegarkan,” katanya menjelaskan dengan suara datar sambil sibuk mengupas kulit jeruk. “Bukankah aneh kalau rasa jeruk ini hanya manis saja? Kadang rasa asam dan pahit diperlukan untuk membuat rasanya seimbang,” lanjutnya lalu membagi jeruk menjadi empat bagian. Tanpa ragu dia pun memakan salah satu bagian lalu mengunyahnya santai.
Aku hanya mengulas senyum kikuk sebagai respon dari gagasannya tentang buah jeruk yang cukup filosofis dan menurutku kurang perlu. Maksudku, setelah jiwa dan raga menjadi budak, bicara hal-hal filosofis pada titik ini adalah beban yang amat besar. Aku sedang tidak ingin terlibat dalam obrolan tentang apa pun, dengan siapa pun.
“Ngomong-ngomong aku suka The Smiths juga loh,” katanya sambil menunjuk earphone yang menyumbat kedua lubang telingaku. “Suaranya cukup keras jadi bisa kedengaran sampai sini.”
Oke, aku mulai terganggu dengan keberadaan orang ini. Belum reda kekesalanku, tiba-tiba dia mencondongkan badannya lebih dekat yang membuatku otomatis menghindar, tapi dia seperti mengabaikan ekspresi jengah yang kutunjukkan ke arahnya.
“This Night Has Opened My Eyes is one of my favorite song of all time by the way.” Dia kembali duduk tegak. Kaki kanannya bertumpu di atas kaki kiri. Matanya menerawang jauh ke depan seolah di sanalah semua kata yang ingin dia ucapkan melayang-layang, serupa arwah gentayangan. Dia memakan bagian kedua buah jeruknya.
Aku membetulkan posisi duduk melihat ke arahnya dengan kesal, melepas earphone dan mematikan handphone. Aku baru saja akan beranjak pindah tempat duduk saat kemudian dia menyanyikan satu bait lirik lagu This Night Has Opened My Eyes.
“You kicked and cried like a bullied child
A grown man of twenty-five
He said he’d cure your ills
But he didn’t and he never will
So, save your life
Because you’ve only got one…”
Kakinya dientakkan pelan berkali-kali di atas lantai. Di ujung nyanyiannya dia diam, lalu tersenyum menyeringai.
“Aku nggak tahu dengan yang lain, tapi Morrissey penulis lirik lagu paling jenius yang pernah aku tahu,” katanya seraya memasukkan bagian jeruk terakhir ke dalam mulutnya. “Dia menerjemahkan kesendirian ke dalam lirik lagu dengan pas, nggak lebay apalagi mendayu-dayu. Lirik-lirik lagunya membuatku mensyukuri sakitnya hidup,” lanjutnya.
Aku diam, gagasannya tentang Morrissey membuatku membatalkan niat untuk pindah tempat duduk.
“Orang-orang selalu bilang kalau sakit itu diperlukan dalam hidup. Mungkin sama seperti rasa pahit dalam kopi. Atau rasa asam dalam jeruk ini,” ujarnya berfilosofi sekali lagi. Dia mengambil jeruk kedua, mengupas kulitnya, lalu membagi jeruk menjadi empat bagian lagi.
“Ya… Ya.“ Kataku seraya menganggukkan kepala setuju, “dan di bagian …and I’m not happy and I’m not sad… saya seperti melihat diri saya duduk di sudut kamar sendirian tanpa merasakan emosi apa pun.”Aku tercengang mendengar suaraku sendiri. Mengatakan hal itu pada orang asing yang menawarkan buah jeruk sama sekali bukan diriku. Tiba-tiba nasehat Ibu terngiang-ngiang, sejak kecil aku selalu diajarkan untuk tidak menerima makanan atau minuman dari orang asing.
Aku melirik ke arahnya, pandangan kami beradu, dan kami tertawa. Aku yakin kami tertawa untuk alasan berbeda, tapi ucapan filosofisnya mulai terdengar masuk akal dan normal di telingaku.
“Kalimat filosofis yang keluar dari mulut-mulut orang bebal sepertiku pasti akan terdengar menyedihkan. Tapi buatku beberapa kalimat itu serupa mantra penangkal sial yang memberiku keyakinan kalau aku bisa melewati hari ini dan hidup sehari lagi.” Suaranya terdengar seperti gema di tengah hutan belantara. Menggaung sejenak, sebelum kembali sunyi.
Dia tidak sendirian, ada banyak orang bebal di dunia ini, dan aku salah satunya. Kadang, aku tertarik untuk merealisasikan gagasan absurd yang sering muncul di pikiran, saat aku terlalu lelah menghadapi diri sendiri, untuk membuat sebuah Komunitas Orang Bebal. Kesunyian menjeda kami. Aku bisa pastikan pikiran laki-laki itu seriuh pikiranku saat ini.
“Apa kita perlu membuat persatuan manusia bebal?” katanya, sebelum tersenyum lebar sambil membuang kulit jeruk ke dalam plastik yang sama dengan beberapa jeruk utuh, dan berhenti makan. Dia tidak tahu aku cukup terkejut karena ucapannya, dan aku mulai berpikir dia bisa mendengar isi kepalaku.
“It sounds great!” aku tertawa kecil sambil memainkan jeruk dengan kedua tanganku lalu berujar, “kadang menjadi bebal bukan pilihan buruk.” Ada kegetiran dalam suaraku. Suara itu seperti jauh di ujung dunia dan tidak yakin ingin didengarkan oleh siapa.
“It’s much easier to not know things sometimes. Things change and friends leave. And life doesn’t stop for anybody. Ucapan itu, dengan cara paling aneh, selalu berhasil menyelamatkanku dari keingintahuanku pada banyak hal,” katanya.
“Sepertinya kalimat itu tidak asing,” kataku sambil mengerutkan kening.
“Kutipan dari adegan terakhir film The Perk of Being a Wallflower.”
“Hmm. No wonder it sounds familiar. Ya, sepertinya saya harus membatasi keingintahuan saya.” Aku melipat kedua tangan di dada, lalu bicara seolah pada diri sendiri. “Saat ini saya terlalu tahu banyak hal. Saya tahu semua orang yang saya kenal, kalau tidak menikah, mereka punya anak, atau dipromosikan di pekerjaannya, sementara di sinilah saya sekarang, meratapi hidup yang sepertinya jauh tertinggal dari yang lain, menunggu jadwal kereta terakhir yang akan mengantarkan saya pada rumah yang terasa bukan rumah, berbincang dengan orang asing di stasiun kereta dan mengeluh karena saya terlalu tahu banyak hal tentang hidup orang lain.” Aku melirik untuk melihat ke arah wajahnya. Kami mengulas senyum kepada satu sama lain. Entah untuk apa, tapi hal itu terasa benar untuk dilakukan.
“Mungkin hidup akan lebih mudah kalau kata syukur semujarab mantra sakti yang membuatku berhenti menginginkan sesuatu. Tapi sayangnya ini bukan Hogwarts. Tempat semacam Diagon Alley atau Hogsmeade tidak ada di mana pun di dunia ini, dan sebuah tragedi tidak bisa diubah menjadi lelucon dengan mantra riddikulus,” katanya sambil melihat pendar cahaya yang memantul di atas lantai stasiun.
“Jika Hogwarts ada di suatu tempat di dunia ini, saya mau sit in di kelas Profesor Horace Slughorn untuk belajar membuat ramuan beracun yang mempermudah proses kematian. Kamu tahu, sebuah kematian yang cepat tanpa rasa sakit.”
“Hmm. Aku tidak begitu senang berdiskusi tentang kematian.”
“Tapi kamu pasti setuju, hal paling pasti di dunia ini adalah kematian.”
“Tentu.”
“Saya tidak tahu dengan kamu, tapi belakangan banyak orang menganggap kematian sebagai solusi. Di dunia yang kita tinggali saat ini, kematian menjadi semacam deklarasi kebebasan dari penderitaan. Mereka berpikir kematian adalah jalan keluar dari semua masalah.” Aku merenungkan ucapanku sekian lama. Kematian terpikir olehku berulang-ulang saat tak ada alasan yang cukup waras untuk bertahan.
“Well….” Dia menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. “Aku nggak yakin hidup setelah kematian akan lebih baik. Maksudku, kalau kamu percaya konsep surga dan neraka, karena setahuku kematian yang diinginkan surga bukan kematian yang dibuat sendiri.”
Ucapannya, dengan cara paling ajaib, membawa kesadaranku pada banyak kemungkinan. Bagaimana kalau kematian memang bukan jalan keluar? Bagaimana jika selama ini, hidup yang sendiri dan sepi ini, akan menjadi petunjuk pada babak yang lebih baik? Bagaimana jika diriku saat ini adalah versi yang aku butuhkan? Dan bagaimana jika semua hal yang aku perjuangkan dan berhasil kucapai adalah hal yang membuatku tak belajar apa pun? Lalu bagaimana jika mulai hari ini aku hanya perlu menerima dan mengapresiasi hidup dalam berhasil dan gagalku?
Aku bisa merasakan ledakan semangat dalam diriku. Dunia yang kulihat detik ini berbeda dengan dunia yang kulihat beberapa waktu lalu setelah mendengar ucapannya.
“Itu kereta saya,” kataku ketika petugas selesai memberi pengumuman lewat pengeras. Kami berdiri berhadapan menyongsong perpisahan dalam diam.
Dia menatapku dan kali ini aku merasa tidak perlu menghindar. Mata yang berpendar di bawah lampu Stasiun Jakarta Kota itu tampak teduh dan kesepian. Ada keinginan yang berpeluk pundak dengan ketakutan. Semakin aku melihat mata cokelat bulat di balik kacamata itu, semakin aku merasa melihat sebagian dari diriku yang memaksa tetap berlari meski tak ada lagi keinginan untuk melanjutkannya.
Aku berbalik melangkah, tapi dia membuatku berhenti di langkah kelima. Dia berjalan menghampiri lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku terkejut mendapati diriku tak melawan, aku malah balas memeluknya dan buah jeruk pemberiannya di awal pertemuan kami hampir lepas dari genggamanku. Seumur hidup, ini adalah seonggok tubuh paling hangat yang pernah memelukku. Terasa seperti rumah yang selalu aku angankan.
Aku melepaskan pelukannya, melangkah masuk ke dalam kereta yang sudah siap berangkat. Aku berdiri di belakang pintu yang kemudian menutup otomatis tanpa melepaskan pandangan ke arahnya, yang masih berdiri di sana. Sebelah tangannya melambai, sebelah lagi memegang plastik buah jeruk. Kereta berjalan, bayangannya dengan cepat menjauh kemudian hilang.
Aku kembali menyumbat kedua telinga dengan earphone, mendengarkan Heaven Knows I’m Miserable Now dari The Smiths sambil menatap lelah pada bayangan diriku di kaca pintu kereta.
Saat kereta berhenti di Stasiun Jayakarta, pintu terbuka otomatis, dan seseorang berdiri di depanku, saat matanya bertemu mataku, dia mengulas senyum lalu mengangkat plastik berisi beberapa buah jeruk seraya berujar, “aku masih punya banyak jeruk yang harus aku habiskan malam ini, apa kamu mau membantu?” napasnya terengah. Dia seperti baru saja berlari.
Aku tersenyum lebar lalu memperlihatkan buah jeruk pemberiannya yang belum sempat aku makan. “Saya tidak yakin, tapi sepertinya saya mau mengambil satu atau dua buah lagi,” kataku sambil mengangkat kedua bahu.
“Itu sudah cukup membantu.” Dia melangkah masuk ke dalam gerbong.
Pintu kereta tertutup ketika kami duduk di salah satu kursi panjang di gerbong yang tak begitu ramai. Malam ini aku tak perlu mendengarkan musik atau terpaku pada layar handphone sepanjang jalan untuk membunuh bosan. Malam ini aku pulang ke rumah yang seperti bukan rumah bersama seorang teman.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Hangat sekali cerita ini! Aku jadi ingat beberapa temanku yang suka kuajak pulang bareng.
Bersyukur sekali punya orang-orang yang bisa diajak pulang bareng. They’re precious.