Sepakbola itu olahraganya rakyat. Jangan coba-coba direbut atau dipisahkan dari asalnya!
Di Indonesia, cerita tokoh pergerakan cum penggemar olahraga seperti Moh. Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka telah melegenda. Merekalah yang memasyhurkan seloroh “sepakbola adalah alat perjuangan bangsa” di “Negeri yang Terperentah” ini. Lebih-lebih, Tan Malaka dengan jelas memberi petuah lewat analogi sepakbola dalam bukunya, Madilog.
Sepakbola jadi olahraga rakyat bukan hanya karena dapat dinikmati oleh semua kalangan. Sepakbola jugalah sebuah nilai perjuangan yang harus selalu ada pada suatu bangsa. Ah, mantap betul!
Sayangnya, akhir-akhir ini sepakbola semakin berjarak dengan rakyat dan perjuangan. Ruang untuk bermain bola perlahan-lahan habis, hilang. Ini memantapkan dugaan bahwa sepakbola hanya dijadikan proyek industri semata. Nilai-nilai perjuangan dan kerakyatan tergerus oleh keangkuhan pemerintah dan saudagar.
Pemerintah dan saudagar terus merebut ruang-ruang bermain sepakbola dengan membangun mal atau memberi tarif mahal pada tempat bertanding. Seharusnya mereka sadar bahwa kalau memang ingin memperjuangkan identitas Indonesia lewat sepakbola, seluruh biaya operasional lapangan bola bisa saja mereka gratiskan.
Video dokumenter Watchdoc Image berjudul Lapangan Kota sudah cukup menjadi bukti betapa anak-anak di kota sulit memperoleh akses untuk bermain sepakbola. Mereka memaksakan diri bermain di kolong jembatan yang rawan menyebabkan cedera. Mereka juga bermain di gang-gang sempit tempat perumahan warga. Di balik angkuhnya bangunan bertingkat, kaki-kaki kecil begitu gesit menendang bola. Bocah-bocah yang bermain bola memperbaiki rasa kebersamaan. Namun, kehidupan pembangunan yang buas menghabiskan lahan terbuka hijau tempat main mereka.
Pemerintah mungkin menyediakan taman kota. Akan tetapi, jarak tempuh untuk pergi ke tempat tersebut tak bisa dijangkau dengan mudah oleh anak-anak yang sekadar ingin bermain sepakbola. Sepakbola jadi terasa semakin jauh dari rakyat, terlebih di wilayah kota. Meskipun begitu, anak-anak terus bermain bola. Itu menjadi penunjuk bahwa sepakbola memang bahasa rakyat yang termarjinalkan untuk mengekspresikan hidup dan semangat juang.
Perilaku pemerintah dan saudagar yang terus membangun tanpa memikirkan konsekuensinya memanglah menyebalkan. Di Solo, setelah perbaikan dalam rangka persiapan Piala Dunia U-17 2023 lalu, harga sewa lapangan sepakbola kian naik. Dampaknya, pemain-pemain muda dan pelatih sekolah sepakbola (SSB) harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk menyewa lapangan dibandingkan sebelum Piala Dunia U-17 berlangsung.
Temuan-temuan semacam itu bertolak belakang dengan cita-cita PSSI untuk membangun regenerasi pemain bola muda di Indonesia. Padahal, setelah Piala Dunia U-17 itu usai, dalam evaluasinya, PSSI menyatakan perlu melakukan perbaikan kualitas pemain muda. Salah satu caranya dengan memenuhi fasilitas bermain dan melakukan seleksi. Namun, bila lapangan makin susah diakses, dari mana talenta-talenta baru itu lahir?
Kalau pada akhirnya jawabannya “mereka harus menyewa lapangan” sedangkan penyebabnya adalah “semua lahan kosong telah dibangun gedung dan mal”, maka harapan pemerintah membangun sepakbola berkualitas lebih baik dipendam. Sebab, sepakbola adalah olahraga rakyat, semua boleh menikmatinya.
Baca juga:
Masuknya Shin Tae-Yong (STY) di Timnas Indonesia membawa angin segar bagi sepakbola tanah air. STY merombak timnas dengan mempercepat regenerasi, ini ide yang cukup radikal. Tapi tunggu dulu, ide ini masih mengendap di timnas saja. PSSI belum kunjung memberi dukungan nyata.
Kemarin saja, Indonesia gugur di fase grup Piala Asia. Fans jelas kecewa dengan hasil tersebut. Yang beredar di media, penyebab kekalahan timnas adalah tidak maksimalnya seleksi yang dilakukan timnas, persiapan mendadak, dan problem klise lainnya yang bisa diatasi sejak lama.
Sudah semestinya Indonesia memiliki arah yang jelas untuk membentuk timnas muda. Regenerasi klub liga, baik liga satu atau tiga, harus jelas. Jika hal ini dilakukan, tentu kekalahan Indonesia saat Piala Dunia U-17 kemarin tidak bakal terjadi dengan mudah.
Contoh baik regenerasi sepakbola terdapat di Liga Jerman. Di sana, klub-klub tidak berlomba memboyong pemain mahal untuk mendongkrak prestasi domestik maupun internasional. Justru, mereka menyediakan wadah pengembangan pemain muda lokal dan menjadi trampolin yang membumbungkan nama-nama anak asuhnya.
Klub Bundesliga seperti Borussia Dortmund menjadi mesin tempa bagi pemain-pemain kenamaan dunia. Ousmane Dembele, Ilkay Gundogan, Robert Lewandowski, hingga Erling Haaland besar di Dortmund yang seakan menjadi episentrum kelahiran pemain-pemain bertalenta.
Butuh waktu yang sangat panjang panjang untuk menjadi pemain profesional. Dilansir dari The Science of Sport, atlet sepakbola internasional rata-rata telah menghabiskan waktu latihan selama 4000 jam. Meskipun dua pemain legenda dunia, Ronaldo dan Messi, bukanlah pemain dengan menit bermain terbanyak saat berumur 20 tahun, saya yakin pemain muda tetap butuh jatah menit bermain yang ekstra. Kalau jarang bermain, bagaimana mereka bisa menjadi atlet profesional?
Kepedulian pemerintah terhadap masalah regenerasi pemain masih minim. Regenerasi pemain ini pun bakal jadi makin sulit kalau rakyat kesulitan mengakses lapangan, kesempatan berlatih, dan seterusnya.
Namun, sebelum membicarakan regenerasi, perlu kita renungkan juga bagaimana minimnya upaya untuk menyatukan sepakbola dengan anak muda berdampak bagi gairah bangsa kita terhadap olahraga ini. Apakah kita masih butuh regenerasi pemain ketika sepakbola tak lagi diminati karena ruang terbuka tak lagi tersedia untuk menghidupkan olahraga ini? Regenerasi merupakan tujuan akhir ketika semua telah tercapai, ketika hak bermain sepakbola bagi siapapun telah terpenuhi.
Sepakbola tak sekadar kalah-menang, gonta-ganti pemain. Lebih dari itu, sepakbola adalah alat perjuangan rakyat. Olahraga, khususnya sepakbola, sebagaimana ucapan Soekarno pada gelaran PON II 1951, merupakan momentum kenduri kebangsaan.
Jika kesempatan rakyat bermain si kulit bundar terbatas, bahkan hilang, maka jangankan melahirkan pemain muda, Indonesia bakal kesulitan menemukan momentum kenduri kebangsaan.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Pudar Pendar Si Kulit Bundar”