Penulis yang "pelukis"--suka memeluk dan dipeluk kata-kata baik. Suka olahraga karena ogah lara, juga suka bermain seni peran dalam sejumlah grup seni pertunjukan di Jakarta.

Pucuk, Cukup! dan Puisi Lainnya

Robertus Rony Setiawan

2 min read

Pilih Pilah Ilah-Ilah
: puisi yang sedang trust issue

Hari ini Minggu
Masih sepatah Aku yang akan percaya
sebelum menjadi Bapa
bagi Kami orang-orang yang kurang percaya.

Selalu ada ampun, katanya
dan itu lebih baik dibandingkan terlalu percaya kepada manusia—
diri sendiri juga sesiapa jagoan dan idola

Lantas jika pada-Mu kami menggantungkan hati
Haruskah padamu negeri
jiwa raga kami
bila pemimpin kami
sodorkan pilihan
‘tuk sebaiknya ‘kan juga
kami tunjuk dan tusuk

Tak bolehkah kami tak percaya kepadanya?
Lalu, siapakah orang terbaik
dari orang-orang yang kurang kami yakini
tempat pundak beban
kami sandarkan
selekang ruang untuk kami
mengakui dan mengimani.

(Jakarta, 4 Februari 2024)

Pucuk, Cukup! (1)
(untuk JK WDD)

Mr. President, sudahkah Anda sarapan?
atau sekaligus saja makan siang nanti?
Oh, hmm… berjanji makan malamkah Anda
dengan seorang petinggi partai?

Mr. President, pernahkah Anda sekali saja ‘kan rasakan yang sama seperti
kami:
yang belum menikmati makan pagi
sedang harus buru-buru berangkat mengemis-mengais rezeki
yang khawatir besok mau makan apa lagi
sedangkan ini malam terakhir untuk santap nasi sedang;
sedang porsinya, sedang pedasnya, sedang ayamnya
—lebih banyak cemasnya, lebih-lebih jeri letihnya.

Bagi kami, kemarin adalah kecemasan yang cukup kami tanggalkan di hari ini.
Hari esok adalah ketakutan lain yang kami tuai dari taburan harap hari ini.
Semakin kami menaruh harap, semakin palsu bahagia kami
—menjadi bahaya, menjadi tanda-tanda usai usia.

Sedang Anda?

Sibuk makan siang bersama sahabat kabinet dan koalisi Anda;
mengatur rencana-rencana papan atas konstelasi catur politik masa depan
mengulur energi kuasa
agar mulus jatuh menurun ke lingkar famili
mengukur citra level gagal pemerintah
agar di mata kawan politik tampak lebih sukses,
di telinga calon investor dan negara asing berkesan lebih berdaya saing,
di hidung wartawan dan hartawan menguar endus amplop berlebih
—’tuk jadi cuan ditabung, kala pundi-pundi tambahan susah ditambang

Pucuk, Cukup! (2)

Mr. President,
kami lelah menelan kata “cukup”
meski sungguh ingin jerit: Sedikit! Kurang amat!
kami lelah berlambat-lambat tahan lapar-haus
walau sesungguhnya ingin lekas raih nikmat

Tidakkah Anda kenal kata “cukup”, Mr. President?
Dengan dua kali periode pimpin,
Dengan anak-menantumu turut duduki jabatan,
Dengan keluar dari pengaruh partai ‘tuk putuskan langkah taktis
Tik-tak nyaris tak terdengar penolakan
sebab semua fraksi semau dengan tempo angguk matamu,
teken pena di jemarimu

Pucuk, Cukup! (3)

Mr. President,
Anakmu bukanlah anakmu, meski namanya sama dengan penyair Lebanon itu
Anakmu memang bukanlah anakmu, mereka hanyalah anak panah yang melesat
dengan impiannya masing-masing
Bukan gasing-gasing yang gerak langkah jejaknya
Anda tentukan arah perputarannya

Misteeer,
Jangan keblinger, bila membiarkan anak-anakmu melenggang lurus
Pancangkan niat tegak lurus tahta penerus

Misteeer,
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu,
seandainya Anda ingat bahwa Anda,
tetangga Anda,
saya,
tetangga saya
pun seorang anak
yang berumah di alam nan luas
juga gelombang biru jernih laut lepas,
beratap langit-langit jumantara bebas,
berubin tanah ripah
berbutir pasir putih keperakan

Mr. President,
Saya dan Anda adalah penikmat momen kebebasan:
sembilan belas sembilan puluh delapan
sejak itu: sekepal nasi sudah tak lagi barang rebutan
menjadilah santapan harian

Namun kini mengapakah cerminan retak itu Anda sorongkan ke muka kami
Pada sosok putra mudamu yang baru seumur jagung dalam perpolitikan

Terlalu dini berpasangan di ranah pesta demokrasi
tanpa cukup bekal pengalaman
alih-alih corengkan muka teladan
dalam semangat aji mumpung dan kultur instan

Haruskah muda sama dengan cepat?
Ataukah putramu jelma anak panah
yang terpaksa melesat
tanpa izin dan pertimbangan akal lebih sehat
mengiyakan tawaran partai yang mengikat

kepentingan elektoral sesaat duaribuduapuluhempat.

(7 Januari 2024)

Emban Embun
: untuk Ganjar Pranowo

Sudah teruji, juga terbukti.
Berhasil semenkan ladang tanah air kami.
Gagalkan misi memasyarakatkan olahraga,
tak jadi sembunyikan benci
demi lebih membunyikan konstitusi:
menghapus penjajahan di atas muka bumi

Mengundang kami pemilih baru-belia
Sambut fajar pagi jadi anyar
tak sekadar ingar-bingar
coblos contreng yang mentereng
Dalam tetes-tetes dingin
di daun jendela partai
di balik air muka
politik negeri setengah dewata
Kukira kau embun,
kusimak ingin kusibak
tapi nyata uban menutup ubun-ubun
Semoga itu tanda kematangan, kemenangan
meski kau tahu kemenangan terbesar semata milik Tuhan
dan suara-suara-Nya dari suara-suara calon rakyatmu.

(Jakarta, 6 Desember 2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Penulis yang "pelukis"--suka memeluk dan dipeluk kata-kata baik. Suka olahraga karena ogah lara, juga suka bermain seni peran dalam sejumlah grup seni pertunjukan di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email