Pseudo ‘90 dan Puisi Lainnya

Ainun Nafhah

1 min read

Pseudo ‘90

Adakah hati yang tak hancur
di menit sembilan puluh?

Dunia tak mau tahu, ia akan terus berputar menjauh dari tangan-tangan tangguh, menipu penyendiri yang berpikir mampu hentikan laju absolut tak bertubuh itu

Maka penyendiri pungut ego dari para demigod pada pukul tiga lebih satu,
tetapi dua kaki tangkas di katedral
nun jauh itu, bantu kata ‘bebas’
temukan arti baru, menyelinap
di antara doa-doa subuh
sembari bertahan ia di antara segala
yang telah mati satu per satu
dan menjadi cerita romantisme
yang nihilis, yang sendu, dan selalu
berakhir tragis

Gontai menyandang hari
penuh sengit, tampak jenuh peluh
itu terpaku di dahi yang mengernyit.
Meski sesak hati dipenuhi nestapa, ia bangun sebuah balai di sudut sebelah
kiri, ia sediakan tempat bagi segala
yang ingin, yang tak, dan yang gagal
ia miliki.

Selamat Tinggal yang Tak Pernah Mau Tanggal

Mata-mata layu yang seringnya
menampik kenyataan, melihat
betapa waktu tak mau menunggu

betapa keras kepala kita paksa
takdir, dengan licik mencurangi
apa yang akan terjadi
sambil mengucap ikrar paling sunyi
dari doa dalam hati dengan gigil

Mata-mata layu yang seringnya meruntuhkan angkuh
tanpa salam ia mengada sebagai
apa-apa yang kabur dan terburu-buru

Seperti kegagalan-kekecewaan
memantul di pecahan cermin,
retakannya menjalar pelan
menyapa tiap sisi yang tak dikenal

Aku tak mau berduka
untuk apa pun yang akan mati
di dalam kata selamat tinggal

Meski
di antara selamat datang
dan selamat tinggal
ada sekumpulan cerita abstrak
yang tak pernah mau tanggal

: semacam elegi tanpa air mata

Di kepal tangan doa-doa selamat
di antara pemberangkatan dan tujuan

Berkeluh kesah pikirnya pada awan,
o haruskah Tuhan turunkan hujan
agar hatimu tak dingin sendirian?

Duende

Kuakui, tanganku sedikit gemetar
bila menyentuh bekas lukamu
Kendati diam mulut itu kudengar
Dapat sedikit kupahami alasan nyeri
itu kau hampir selalu kaukeluhkan
Sebelum menjadi sebuah bekas,
perihnya hanya akan dirasa oleh
seseorang yang punya luka

O, Duende,
pada angkuhku yang seringnya lesu,
kau selalu jelma nyawa-nyawa baru,
dan berkata “Tuhan,” katamu
“memberikan luka kepada manusia
agar mereka mampu bercerita.”

Empat Jari Berdarah

Luka yang kau pegang dengan empat jari itu bukan hanya lencana yang kau pahat pada perisai emas di dadamu. Lebih dari itu, ia adalah saksi bisu selamatnya kau dari pertempuran satu versus seribu.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ainun Nafhah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email