Profesor Sondelur dan Kasus Hidung Petrukio

Hasan Aspahani

5 min read

“Ceritakan saya tentang negeri yang korup, wahai, Juru Cerita!” kataku kepada Drusba, Si Juru Cerita kita.

“Baiklah, saya akan menceritakan kepada Anda tentang Profesor Sondelur dan Kasus Hidung Petrukio. Begini ceritanya…..”

Bagi Dokter Trompi, Menteri Petrukio adalah pasien istimewa. Jadwal perawatannya tak boleh digeser. Tim yang menanganinya pun terdiri dari tenaga medis terbaik yang dimiliki kliniknya. Menteri Petrukio secara berkala menjalani operasi perbaikan pada hidungnya. Tepatnya, pemendekan. Hidung Menteri Petrukio sebenarnya sempurna dan menyempurnakan ketampanannya. Mancung memang, tapi ada kelainan yang membuatnya harus menjalani operasi setiap tiga bulan. Hidung Menteri Petrukio selalu tumbuh, bertambah panjang.

“Seperti Pinokio dalam dongeng Carlo Collodi?” tanyaku.

“Betul, seperti itu.”

Dari catatan medis dan analisa Dokter Trompi, tiga bulan adalah waktu yang pas untuk operasi, karena pertumbuhannya baru mencapai satu setengah sentimeter. Pernah Menteri Petrukio melewatkan jadwal operasi sampai enam bulan. Apa yang terjadi? Hidungnya memanjang hingga sembilan senti. Dokter Trompi mengambil kesimpulan, lewat dari tiga bulan, akan ada eskalasi pertumbuhan yang dipicu oleh hormon baru itu, hormon yang belum dikenal di dunia medis. Dokter Trompi sementara menyimpannya sebagai hormon pinokio.

Dokter Trompi hapal benar kelakukan Menteri Petrukio. Sangat menyebalkan. Perawat-perawat di kliniknya pun tahu benar soal itu. Ia suka melakukan hal-hal kecil yang melecehkan orang. Suka handuk-handuk, dan omongan yang tak sedap didengar. Menteri kok begitu. Tapi, ia royal memberi tip. Orang Kaya!

Gejala aneh yang diidap oleh Menteri Petrukio diamati dengan benar oleh Dokter Trompi. Atas izin pasiennya, Dokter Trompi melakukan semacam penelitian. Ia berkonsultasi dengan Profesor Sondelur, dosennya di kampus dulu. Profesor Sondelur adalah seorang sejarawan, guru besar di fakultas kedokteran, dokter spesialis jaringan. Tentu saja penelitian itu dilakukan dengan rahasia, sebagaimana kesepakatan Menteri Petrukio dan Dokter Trompi.

Profesor Sondelur berhasil mengekstrak hormon pinokio dari contoh jaringan hidung Petrukio. Ia mencobakan hormon itu pada beberapa hewan percobaan. Hasilnya? Tak terjadi apa-apa. Hormon itu tak bekerja pada hewan.

“Mungkin karena hewan tak pernah berdusta,” kataku.

“Mungkin begitu. Hewan tak seperti manusia,” kata Drusba.

Setelah beberapa bulan meneliti, Profesor Sondelur justru penasaran tentang siapa sebenarnya objek penelitiannya itu. “Menteri Petrukio itu sebenarnya siapa?” tanya Profesor Sondelur pada Dokter Trompi, “jangan-jangan gejala ini berkaitan dengan psikologi. Atau mungkin kita bisa menemukan jawaban kalau kita mencoba hormon itu pada manusia. Tapi, kamu tahu kan prinsip saya? Saya ini menghormati manusia kecuali yang korupsi. Kamu tahulah itu.”

Ya, Dokter Trompi tahu betul, Profesor Sondelur tak pernah mau melakukan percobaan apapun pada manusia. Penemuan-penemuannya selalu berangkat dari kasus yang terjadi, seperti apa yang kini terjadi pada Menteri Petrukio.

“Siapa sebenarnya Petrukio?” tanyaku.

“Dia adalah anak kedua dari Semarvelus,” kata Drusba.

Semarvelus adalah pengusaha besar terkemuka di Republik Astinesia. Semarvelus ini sosok yang agak misterius. Dia selalu menghindari publikasi. Media dan banyak orang menemukan Om Semar. Om Semar ini adalah pendiri dan kini menjadi komisaris utama PT Punakawan Pundi Semesta, Tbk. Bisnis perusahaan ini masuk ke banyak bidang, mendistribusikan semen hingga beras, kontruksi hingga jalan tol, mengelola pelabuhan dan bandara, hingga jaringan media dan tentu saja bisis keuangan melalui Bank Danakawan.

“Petrukio ini lebih terkenal sebagai Rokiko, Prof. Orang mengenalnya sebagai Rokiko Petrukio. Dibandingkan abangnya Sugareng yang selalu tampak tenang, atau adiknya Bagongger yang intelek, Petrukio sering bertindak ceroboh, dan merepotkan keluarga besar Om Semar. Dia ini ambisius, makanya terjun ke politik. Dia suka popularitas. Hobinya ikut kuis di televisi karena dia menikmati sekali saat-saat berada di depan kamera. Nah, dia ini suka memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh artis-artis dan selebritis itu. Sering masuk acara gosip itu, Prof!”

“Saya tidak pernah menonton acara begituan…”

“Oh ya, Petrukio ini juga mengelola perusahaan film,” kata Dokter Trompi.

Profesor Sondelur tampak manggut-manggut.

“Sejak kapan dia terjun ke politik?” tanya Profesor Sondelur.

“Dua tahun yang lalu dia mulai menjadi salah satu ketua di DPP sebuah partai. Uanglah utama. Ini juga pernah diinvestigasi oleh Majalah Bongkar. Dia menggunakan kekuatan modalnya untuk masuk ke dunia politik. Mulai tahun ini dia malah masuk kabinet menggantikan menteri dari partainya yang menangani kasus korupsi. Nah sejak itu dia menjadi pasien klinik saya, Prof,” papar Dokter Trompi.

“Apa karena Petrukio suka berdusta ya?”

“Tapi Prof, di kabinet dan parlemen itu yang berdusta kan bukan hanya dia? Presiden pun kalau dicermati benar, sering sekali berdusta, Prof.”

Profesor Sondelur sependapat dengan Dokter Trompi, “Iya, ya. Lalu kenapa pula hidungnya memanjang setelah dia jadi menteri? Kalau memang itu terjadi karena berdusta, seperti dongeng Pinokio itu, kenapa tak terjadi sejak lama. Saya yakin sebelum menjadi menteri dia pun suka juga berdusta.”

Klinik Dokter Trompi sudah mau tutup malam itu, ketika sebuah mobil sedan mewah tiba di parkiran. Yang datang ternyata, Komingsun, menteri juru bicara negara. Dokter Trompi tak bisa menolak. Sang menteri datang atas rekomendasi Menteri Petrukio. Dia rupanya mengalami hal yang sama dengan koleganya di kabinet itu, hidungnya tiba-tiba tumbuh memanjang. Dari konsultasi singkat, Dokter Trompi menyimpulkan bahwa Menteri Komingsun tidak tahu kalau Menteri Petrukio mengalami hal yang sama.

“Tolong operasikan saya malam ini, Dokter Trompi. Besok ada rapat kabinet dan Anda tahulah sehabis rapat itu saya yang harus memberi keterangan pers. Saya tak bisa menangani jurnalis dengan hidung seperti ini,” katanya.

Komingsun dulu adalah ketua tim sukses presiden. Ia tahu presiden ini orangnya polos, tak suka berbohong, dan kalau bicara ya bicara apa adanya. “Padahal, banyak hal yang tak bisa disampaikan kepada masyarakat jika tidak dibungkus dengan ringkasan. Bakalan kacau negara,” kata Komingsun kepada Dokter Trompi. Rupanya, Komingsun gelisah sekali dengan apa yang menimpa hidungnya. Karena sudah sering melakukan operasi yang sama maka operasi hidung Menteri Komingsun bisa selesai dengan cepat dan lancar.

Tiga bulan setelah operasi, hidung Komingsun bertambah satu setengah senti. Persis seperti gejala yang dialami Petrukio. Maka, kini ada dua pasien tetap Dokter Trompi yang mengalami gejala yang sama. Keduanya tidak saling tahu. Dokter Trompi mengatur jadwal seketat mungkin, dan kliniknya dapat pemasukan tetap dari situ.

“Bagaimana penelitian Profesor Sondelur?” tanyaku.

“Profesor Sondelur semakin intensif meneliti gejala hormon pinokio,” kata Drusba.

Profesor Sondelur membentuk tim lintas disiplin ilmu. Rekannya Profesor Trumbowo, pakar psikologi komunikasi membentuk tim yang terdiri dari aktivis mahasiwa di bawah lembaga penelitian yang ia dirikan. Tim ini meneliti pidato-pidato, keterangan pers, wawancara Menteri Komingsun, dan kemudian memeriksa fakta-fakta yang sebenarnya. Dari data dan analisa tim ini, 90 persen ucapan Menteri Komingsun adalah bohong. Belakangan gambaran itu banyak sekali terkait dengan kasus korupsi Jambuljim, ketua mantan ketua parlemen. Kasusnya terkait perkata pengadaan blanko kartu penduduk.

“Fakta ini tak menjelaskan soal bagaimana hormon itu bekerja dan menular, Prof,” kata Dokter Trompi, di ruang kerja Profesor Sondelur. “Memang, tapi setidaknya kita tahu hormon itu bekerja karena si pengidapnya berdusta,” kata Profesor Sondelur.

Sementara itu sidang kesekian dalam kasus tindak pidana korupsi atas penjahat Jambuljim, mantan ketua parlemen itu heboh. Selama tanya jawab dengan hakim hidung Jambuljim makin lama makin panjang, hingga nyaris sepuluh senti. Pengacara Jambuljim meminta sidang ditunda. Kehebohan itu tentu saja menjadi berita besar. Surat kabar memasangnya sebagai berita utama dengan foto besar. Televisi menyiarkannya langsung dan mengulangi siarannya nyaris setiap jam.

Dokter Trompi hari itu segera menelepon Profesor Sondelur.

“Apa yang terjadi, Prof? Wabah kelainan hormon pinokio meluas?”

Dokter Trompi tahu, Profesor Sondelur adalah salah seorang pegiat antikorupsi. Ia berteman dengan banyak tokoh bersih, termasuk mantan ketua Mahkakah Perundangan-undangan, Profesor Umlagetok, mereka berkawan sejak SMA. Profesor Sondelur tak mau bicara lewat telepon, ia meminta Dokter Trompi datang ke kantornya.

“Jadi begini, Trom. Maaf, terlebih dahulu, aku tak melibatkanmu atau memberi tahu kamu sebelumnya. Saya melihat ada peluang memanfaatkan hormon pinokio itu untuk melakukan korupsi. Apa yang sudah lama kurisaukan bersama sahabat saya Profesor Umlagetok. Ini korupsi di Republik Astinesia kok makin meluas,” katanya.

Dokter Trompi lekas menangkap jalan pikiran Profesor Sondelur.

“Apa kira-kira tidak akan berbahaya, Prof?”

“Jangan kuatir, saya sudah berhasil mengisolasi dan membiakkan sejenis bakteri yang menjadi semacam  hormon pembawa tersebut. Efeknya sangat terkendali. Hanya beberapa jam. Kita bisa lihat pada sidang Jambuljim. Efeknya hanya terjadi pada saat sidang.”

“Apakah bakteri dengan hormon yang sudah dijinakkan itu bisa dipakai untuk menyembuhkan Menteri Petrukio dan Menteri Komingsun, Prof?”

“Mungkin bisa, perlu pengembangan lebih lanjut, tapi jangan dulu kita sembuhkan. Kita perlu biaya banyak untuk meneliti fenomena ini. Bila perlu membuat dua atau tiga menteri atau pejabat yang korup lain tertular dengan sengaja. Kamu pasang tarif tinggi untuk operasimu. Anggap saja subsidi silang. Uang korupsi mereka kita pakai untuk penelitian ilmiah, lewat biaya operasi hidung di klinikmu. Nanti hormon ini kita pakai untuk anggota korupsi di negeri Astinesia ini. Gimana?”

Oke, Prof! kata Dokter Trompi.

“Bagaimana akhir dari cerita ini, Wahai Juru Cerita?” tanyaku.

“Akhir cerita selalu menjadi awal dari cerita berikutnya,” kata Drusba,

Wabah hormon pinokio menyebar ke beberapa menteri. Juga presiden. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Trompi punya beberapa teman sejawat, seangkatan di kampus, sama-sama mahasiswa Profesor Sondelur. Mereka adalah dokter terbaik di Astinesia yang menjadi dokter kepresidenan, dan bertugas di Rumah Sakit Negara. Tak lama kemudian Profesor Sondelur diangkat menjadi Menteri Kesehatan.

“Sebelum kami bertanya, cerita ini akan kuceritakan di kesempatan lain saja, ” kata Drusba.

Jakarta, 2018-2023

*****

Editor: Moch Aldy MA

Hasan Aspahani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email