[Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi Kereta Api Prambanan Ekspres akan diberangkatkan dari stasiun Kutoarjo menuju stasiun akhir Jogja-Lempuyangan, dengan pemberhentian di stasiun Jenar, Wates, Sentolo, Tugu, dan Lempuyangan. Selamat menikmati perjalanan Anda. Terima kasih.]
Kereta api sudah berjalan sekitar lima belas menit, ketika catatan yang ada di gawai kembali ia buka. Dibacanya lusinan premis cerita pendek yang ditulis sejak tahun lalu hingga premis terakhir yang ditulis pagi ini.
Ia menulis sebuah premis usai melihat pramugari kereta api dengan mata sembap. Sambil memandang hamparan sawah di luar jendela, pikirannya menyelinap di antara kemungkinan. Ia mulai menulis cerita pendek lewat gawainya, cerita tentang seorang pramugari kereta api bermata sembap akibat ditinggal kekasihnya berperang. Namun ketika dua paragraf berhasil ditulis, ia menghapus semua tulisannya. Menulis tokoh di awal cerita kurang menarik pembaca, pikirnya. Ia kembali menulis dengan menceritakan suasana sepi stasiun Kutoarjo pagi tadi. Lagi-lagi jarinya menekan tombol ‘hapus’ pada layar gawai, ketika tulisannya sampai di paragraf ketiga. Deskripsi tentang stasiun Kutoarjo pagi tadi kurang rinci, pikirnya lagi. Setelah mendengus kesal, ia meletakkan gawai pada saku jaket. Belum ada yang ia tulis ketika kereta api tiba di stasiun Jenar.
Jika bukan karena kekasihnya, ia memilih berkata tidak untuk perjalanan ini. Hanya demi kekasihnya pula, ia memutuskan untuk berangkat ke Jogja pagi ini.
Sebenarnya ia bisa saja diam di rumah dan melakukan semua hal seperti biasanya. Bangun pagi pukul sembilan atau sepuluh. Tidak perlu mandi karena tidak ada yang hendak ditemui dan tidak ada juga orang yang hendak menemuinya. Langsung duduk menghadap laptop setelah menjerang air untuk secangkir kopi saset. Merenung dan memandang layar laptop, sembari sesekali menulis kurang lebih satu sampai tiga paragraf. Menghapus kembali tulisannya dan menulis kembali untuk dihapus juga. Merenung, menulis, menghapus, merenung lagi, dan kembali menulis untuk dihapus juga pada akhirnya. Mencari sarapan, makan siang, dan makan malam dalam waktu yang bersamaan pada pukul empat sore, sambil sekali lagi menjerang air untuk secangkir kopi saset. Mandi pada pukul sembilan malam dan kembali memandangi layar laptop sampai pukul dua dini hari, dengan handuk basah yang masih melingkar di leher. Tidur pukul setengah tiga dini hari untuk kemudian bangun lagi di hari yang berbeda namun dengan rutinitas yang sama.
Kini permintaan sang kekasih menjadi alasannya mengubah pola keseharian itu, setidaknya untuk hari ini.
Semalam ia tidur lebih awal karena harus bangun lebih pagi dari biasanya. Ia tidur pukul sebelas malam usai memasukkan barang-barang yang akan dibawa ke Jogja. Bangun pukul empat pagi, mandi, berkemas, dan berdiri di tepi jalan dekat tugu Kutowinangun pukul lima seperempat. Ia harus berdiri di sana sekitar sepuluh menit untuk menunggu bis yang akan membawanya ke Kutoarjo.
Sesampainya di Kutoarjo, ia harus turun di depan kantor bank, menyeberang jalan dan berjalan ke arah selatan menuju stasiun. Bubur ayam gerobak jingga yang tampak lezat untuk menu sarapan,terpaksa harus diabaikan kali ini. Ia hanya punya waktu sepuluh menit sebelum kereta yang membawanya ke Jogja akan berangkat. Sepuluh menit yang hanya cukup untuk berjalan ke stasiun, membeli tiket, membeli roti dan kopi yang ada di stasiun untuk sarapan. Buang air besar saja pasti tidak akan sempat.
Sebenarnya ketinggalan kereta tidak masalah baginya. Alasan yang bagus dan masuk akal untuk menunda kedatangan ke Jogja. Namun seorang perempuan senantiasa berperan di balik tekad laki-laki. Meskipun engah-engah napasnya berlarian dengan jadwal kereta, ia tetap melakukan semua ini demi kekasihnya.
Ia juga merasa merugi jika perjalanannya ke Jogja hari ini batal. Sekian megabit data seluler sudah dikorbankan untuk menginstal aplikasi pemesanan tiket kereta api. Masih ada juga uang untuk membayar bis dari Kutowinangun ke Kutoarjo. Belum lagi harga tiket kereta dari Kutoarjo menuju Jogja, yang bisa digunakan untuk makan sepiring nasi dengan lauk telur dan oseng-oseng kacang. Ia tidak mau menyia-nyiakan pengorbanan yang sudah diberikan demi perjalanan ini.
Senyuman seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Perempuan itu duduk di depannya. Belum juga kereta beranjak dari stasiun Jenar, perempuan itu mengeluarkan sebuah buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo.
Diambilnya kembali gawai dari saku jaket dan membuka halaman baru untuk menulis. Ia mulai menulis puisi tentang seorang perempuan yang membaca buku puisi di dalam kereta. Tiga bait puisi tentang perempuan dengan sebuah buku puisi di sebuah perjalanan kereta api selesai ditulis. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela seusai membaca dalam hati puisi yang baru saja ditulis. Tanpa perlu menatap layar gawai, ia tekan sebuah tombol yang membuat puisi yang baru saja ditulisnya langsung terhapus bersih menyisakan laman kosong. Dari pengeras suara, ia mendengar kereta akan segera tiba di stasiun Wates.
Rencana pertemuan antara ia dengan orangtua kekasihnya telah disusun sejak sebulan yang lalu. Ia tersedak ketika kekasihnya menyampaikan agenda pertemuan tersebut. Tidak ada lagi alasan yang bisa ia sampaikan untuk menunda pertemuan ini. Orangtua kekasihnya kini datang ke Jogja. Ia tidak bisa berkelit dengan alasan keterbatasan dana jika harus berkunjung ke Jepara. Sakit mendadak juga kedaluwarsa karena sudah dua kali digunakan. Kekasihnya berkata sudah waktunya berdiskusi perihal keseriusan. Namun sepertinya satuan waktu yang ia miliki berbeda dengan satuan waktu kekasihnya.
Ia merasa belum ada sesuatu yang perlu dibicarakan.
Ia kembali meraih gawai dari saku jaket dan membaca catatan premis-premis cerita pendek. Belum ada satu premis yang berhasil menjadi cerita utuh. Padahal beberapa premis senantiasa membangkitkan gairahnya untuk menulis. Misalnya premis tentang pelaku bom bunuh diri yang membuat pengakuan. Sebenarnya ia hendak menulisnya dalam bentuk cerita pendek ketika mendengar berita tentang aksi bom bunuh diri di sebuah gereja. Namun cerita pendeknya berhenti di paragraf kedua, sebelum akhirnya dihapus karena ia merasa kalimat yang ditulisnya terlalu berantakan.
Itu juga berlaku untuk premis-premis yang lain. Ia selalu menghapus cerita pendek atau puisi yang telah ditulis karena dirasa tidak bagus. Diksi dalam puisi yang ia tulis, dianggapnya bukan diksi yang indah. Setiap cerita pendek yang ditulisnya dirasa memiliki awalan yang buruk, begitu juga bagian akhirnya. Ia selalu merasa kesulitan membuka cerita dan mengakhiri cerita. Deskripsi tokoh maupun situasi di tengah cerita melebar dan selalu dirasa keluar dari esensi cerita.
Pramugari kereta bermata sembap datang mengantarkan mi goreng instan untuk perempuan yang ada di depannya. Setelah memberikan sejumlah uang, perempuan itu kembali hanyut dalam buku puisi sambil menyantap mie goreng.
Perempuan yang membaca buku puisi sambil makan mi dalam sebuah perjalanan kereta menuju Jogja, menjadi bahan tulisannya yang baru.
Ia meraih gawai dari saku jaket dengan niat mengemas kisah di depan matanya dalam sebuah cerita pendek. Diberinya nama perempuan pembaca buku puisi yang menyantap mie instan ini dengan nama Cencen. Pada paragraf pertama, ia menulis Cencen sebagai perempuan yang selalu kelaparan dan hanya merasa kenyang jika makan mi instan. Di paragraf kedua ia menulis Cencen pergi ke Jogja untuk mencoba mi instan yang terkenal di seluruh Indonesia. Setelah menyadari bahwa mi instan bukan wajah dari kuliner Jogja, ia menghapus dua paragraf yang baru saja ditulis. Gawai kembali masuk saku jaket ketika pengeras suara mengumumkan kereta memasuki stasiun Sentolo.
Kurang lebih tiga puluh menit lagi, ia akan bertemu dengan orangtua kekasihnya. Belum ada satu karya yang berhasil ia tulis. Ia belum layak mengaku sebagai penulis jika nanti ditanya soal pekerjaan oleh orangtua kekasihnya.
Nyatanya tidak semua lulusan sarjana sastra bernasib seperti Teguh Afandi yang dipercaya menyunting Orang-orang Bloomingtoon. Kesamaan antara dirinya dengan Ahmad Tohari hanya sebatas pada dialek ngapak[1] yang menjadi dialek ibu. Nasib sebagai seseorang yang gemar menulis sungguh berbeda.
Suatu kali dirinya menulis satu cerpen dan mencoba mengikutkan cerpen tersebut ke beragam lomba menulis cerpen di media sosial. Hasilnya nihil. Bahkan untuk kategori 100 atau 250 besar saja cerpennya tidak pernah lolos kurasi. Selepas wisuda, ia menganggur setengah tahun. Tidak ada lamaran yang menjelma panggilan kerja atau setidaknya tes tahap selanjutnya. Karena tidak ada isyarat bekerja, ia mulai bekerja sebagai editor skripsi dan buruh mengerjakan tugas-tugas kuliah. Hasilnya lumayan. Setidaknya dia tidak perlu berhitung jika ingin membeli satu renteng kopi saset merek terbaru.
Seiring bergantinya musim yang tidak menentu, ia menyadari bahwa dirinya kian lelah menyunting kajian teori. Besar inginnya menjadi editor buku di penerbitan atau menjadi editor bagi para penulis. Namun setelah ia memasang iklan jasa penyuntingan di media sosial, menawarkan dari mulut ke mulut, dan menempel brosur di tiang listrik, belum ada satu saja penulis atau penerbit yang menghubunginya. Barangkali hidupnya yang terpuruk menjadi alasan penulis-penulis enggan memintanya menjadi editor, termasuk mereka para penulis baru dengan ambisi menerbitkan buku perdana.
Sudah sewajarnya orang-orang enggan percaya pada seseorang yang belum pernah mengalami keberhasilan.
Dua puluh menit lagi kereta memasuki stasiun Tugu Jogja. Belum ada jawaban jika nanti ia ditanya soal pekerjaan. Ia ragu menyampaikan bahwa dirinya adalah seorang penulis karena memang belum ada satu saja karya dimuat di media massa, yang setidaknya bisa menjadi bukti bahwa ia adalah seorang penulis. Padahal ia sudah mencoba beragam cara, mulai dari mengikuti kelas menulis bersama para penulis, sampai mengunjungi tempat-tempat wisata agar mendapat inspirasi cerita. Namun ia tetap tidak bisa menulis cerpen atau puisi bertema perjuangan sekalipun berada di tengah benteng Van der Wijck. Begitu juga ketika kakinya menginjak pasir di pantai Menganti, tetap tidak bisa ditulisnya perihal pantai yang landai, laut yang penuh rahasia, atau langit yang bebas. Semua upaya selalu membuahkan hasil yang nihil. Tumpukan premis kian kusut menggumpal tanpa pernah terajut menjadi karya.
Sesampainya di stasiun Tugu, ia turun dari kereta dan mendapati stasiun yang ramai. Beberapa orang berjalan cepat menuju kereta MRT tujuan Solo. Instrumen gamelan terdengar samar dari pengeras suara stasiun. Ia mengambil gawai yang ada di saku, melangkah ke luar stasiun, sambil mencoba mencatat keramaian stasiun Tugu yang barangkali bisa menjadi puisi atau cerpen. Beberapa tukang becak menawari wisata keliling Jogja. Ia hanya bisa menolak sopan sambil terus berjalan menuju titik pertemuan.
Kekasihnya sudah menunggu di tempat parkir bersandingan dengan mobil berwarna hitam. Setelah menerima kecup di pipi sebelah kiri dari kekasihnya, mereka berdua masuk ke mobil dan bergegas keluar dari halaman parkir stasiun.
Dari dalam mobil, ia tidak berhenti menulis di gawai sambil melihat segala hal yang dapat dilihat tentang Jogja. Ditulisnya perihal Jogja yang sabar dengan macetnya, Malioboro yang kehilangan presidennya, dan kuda yang menunggu lecut cambuk. Ia tidak sadar akan sepasang mata kekasihnya yang sedari tadi mencuri pandang.
“Nanti bapak sama ibu mau membahas soal pernikahan kita,”
Ia terdiam. Jogja terasa tidak lagi menarik setelah ucapan barusan keluar dari mulut kekasihnya.
“Bagaimana bisa aku menikahimu dengan gaji yang belum menentu seperti ini? Untuk membeli cincin lamaran saja, aku belum punya uang yang cukup,”
Kekasihnya mendengus kesal.
“Gaji suami dan istri bukan untuk dibandingkan. Hanya karena penghasilanku saat ini lebih besar dan lebih tetap dibandingkan penghasilanmu, bukan berarti kamu tidak bertanggung jawab sebagai seorang suami.”
“Tapi, Dik..”
Ia melihat kekasihnya tersenyum. Senyuman yang selalu kekasihnya berikan sebagai bahasa lain dari ‘semua akan baik-baik saja’.
Ia mengurungkan niatnya untuk berbicara dan memalingkan wajah. Gedung kampus almamaternya terlihat semakin menjulang. Rasa-rasanya ia ingin menutup kedua telinga ketika kekasihnya mulai berbicara soal dekorasi pernikahan, memilih warna pakaian bridesmaid, sampai mencicil rumah.
Penyesalan karena memilih datang ke Jogja perlahan menyelinap. Kehilangan uang dan beberapa megabit kuota ternyata lebih baik. Ia meletakkan gawai ke dalam saku jaketnya sekali lagi. Tidak ada lagi premis yang bisa ia cari.
Ia harus segera mencari cara untuk menghidupi perempuan yang sebentar lagi menjadi istrinya.
Karanggayam-Jogja, 30 April 2021
Catatan:
[1] Dialek khas masyarakat eks-Karesidenan Banyumas Jawa Tengah dan sekitarnya.