Politik Warung yang Sepi Pembeli

Anisah Meidayanti

2 min read

Beberapa politikus mulai bergerak menampilkan sejuta pesonanya menuju Pilpres 2024 dengan pola komunikasi masing-masing. Ada yang sudah terang-terangan menyatakan akan maju sebagai calon presiden, ada yang masih sibuk cari pendamping, dan, yang terbaru dan sedang menjadi pembicaraan, ada juga yang sambil makan pecel di warung. “Tidak di kantor, tidak di rumah. Pertemuan hari ini di warung pecel. Ya kenapa tidak, PDI Perjuangan dan PKB sama-sama partainya wong cilik, partainya wong sandal jepit…” begitulah caption foto yang dicuit akun Twitter Puan Maharani.

Baca juga:

Tak seperti makan bareng kekasih yang akan lebih romantis bila dilakukan di pinggir jalan, romantisasi diksi  “warung” dan “wong cilik” dalam kontestasi politik para elit justru terkesan tidak dekat sama sekali dengan kehidupan masyarakat. Malahan, mengaburkan fakta perihal warung dan wong cilik yang identik dengan masyarakat kelas bawah. Bagi banyak orang, warung adalah tempat yang menyediakan beragam kebutuhan yang mudah dijangkau dari segi lokasi, sosial dan ekonomi.

Warung adalah sebenar-benarnya tempat yang menggambarkan kondisi masyarakat. Tak ada meja dan kursi yang diselimuti kain putih bersih mengilap layaknya meja dan kursi tamu undangan VIP resepsi pernikahan. Meja dan kursi warung umumnya asal ada saja sepanjang bisa menjalankan fungsinya. Tak perlu taplak bersih, meja dan kursi warung tetap nyaman digunakan biarpun kotor kena tumpahan makanan, tempelan stiker, hingga corat-coret keluh kesah dan harapan. 

Penggunaan kata wong cilik sudah tak ampuh lagi untuk menyentil emosi publik. Seolah berpihak pada wong cilik, padahal tak ada satu pun upaya ataupun kebijakan elit politik yang bersangkutan yang memihak kepada wong cilik. Tentu kita belum lupa, ‘kan, dengan kebijakan kenaikan BBM yang diputuskan secara sepihak? Penggunaan istilah wong cilik ini malah menunjukkan adanya sekat hierarkis antara penguasa dengan bawahannya. Menyebut rakyat kebanyakan sebagai wong cilik semakin menegaskan masih kuatnya budaya feodal dalam ruang politik kita.

Berkaca dari hierarki antara raja, priyayi, dan wong cilik biasa pada era Kasultanan Surakarta tahun 1900-1915, Kuntowijoyo, dalam artikel jurnal berjudul Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi dan Wong Cilik Biasa di Kasultanan Surakarta 1900-1915, mendapati bahwa masyarakat yang terjajah adalah masyarakat yang berketimpangan struktural. Prasyarat terbentuknya masyarakat yang sehat adalah penegakan kehidupan bermasyarakat yang bebas dan egaliter untuk menghapus ketimpangan struktural yang dapat mengakibatkan konflik.

Tak Punya Ciri Khas

Politik lekat kaitannya dengan citra. Apa yang akhir-akhir ini dilakukan oleh para politikus, termasuk Puan, seharusnya berbuah citra diri yang positif. Agaknya, Puan ingin mengikuti jejak seniornya di partai “banteng” yang berhasil duduk di kursi Presiden Republik Indonesia selama dua periode, yakni Jokowi. Dari segi branding imej, citra diri Jokowi sangatlah positif di media saat Pemilu 2014. Jokowi adalah media darling; politikus kesayangan media massa maupun sosial. Menjadi media darling lantas memengaruhi elektabitasnya secara positif.

Proses membangun citra diri politikus tentu tidak instan. Ada rekam jejak kinerja dan juga konsistensi reputasi diri ketika berada di ruang publik. Jokowi bisa dibilang berhasil membangun citranya. Namun, proses membangun citra seperti yang dilakukan oleh Jokowi belum tentu relevan bagi politikus lain biarpun mereka berasal dari partai yang sama. Dalam kontestasi Pilpres, keterkaitan partai politik saja tak akan berpengaruh kuat. Reputasi dirilah yang kuat untuk dapat mengambil kepercayaan masyarakat yang sudah muak dipandang sebagai wong cilik oleh para elit politik.

Baca juga:

Puan seharusnya percaya diri dengan pesonanya sebagai pemimpin perempuan. Di tengah masyarakat progresif, keberadaan Puan di ranah politik harusnya jadi sosok yang membuktikan bahwa perempuan juga bisa tampil dan bekerja di ruang politik. Puan harusnya mengerti bahwa menjadi politikus tak bisa hanya bermodal branding imej dadakan. Sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Puan semestinya benar-benar mewakili kepentingan rakyat, tak hanya mewakili kepentingan partai politik pengusungnya, jika ingin elektabilitasnya meroket.

 

Editor: Emma Amelia

Anisah Meidayanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email