Mark Zuckerberg pada awalnya tak membayangkan bahwa medium interaksi ‘maya’ antar mahasiswa di kampusnya dalam lingkar komunal akan digunakan oleh miliaran orang di seluruh dunia. Facebook kini menjadi ruang kehidupan alternatif yang masif nan fenomenal.
Berkat teknologi digitalisasi, virtual world dan lainnya, transformasi kehidupan telah berubah signifikan. Interaksi manusia abad ini menjadi sedemikian telanjang, tak bersekat, dan universal. Setiap individu begitu mudah untuk mengglobal, melebur dengan banyak warna dan rupa, baik kepada mereka yang keriting-hitam, lurus-putih, atau ikal-sawo matang. Entah keniscyaan atau bukan, tetapi identitas dalam situasi ini selalu rentan untuk disenyap-luruhkan (lost identity).
Itulah yang menjadi premis utama dalam buku Meretas atau Diretas yang diterbitkan Penerbit Semut Api tahun 2020. Buku ini diolah dari webinar yang diadakan RadicalxChange Foundation, mengundang pembicara sejarawan Yuval Noah Harari dan Audrey Tang, Menteri Digital Taiwan dalam tema To Be or Not To Be Hacked? The Future of Democracy, Work, and Identity.
Buku ini secara garis besar menyinggung hulu persoalan-persoalan tersebut, yaitu disrupsi teknologi yang radikal dan bias, kecemasan pada masa depan akan pengambil-alihan peran, hingga kediktatoran digital. Tentu, dalam bingkai analisis mutakhir peristiwa abad ini: pandemi covid-19.
Ketika saya melihat perkembangan teknologi pemantauan baru (new surveillance technology), salah satu hal paling menarik adalah saat seseorang di luar sana dapat mengenal saya lebih baik daripada saya mengenal diri saya sendiri (hal. 3).
AI (Artificial Intellgence), IoT (Internet of Things), atau social media diakui memang begitu signifikan membantu kehidupan manusia. Namun tetap, selalu ada kontradiksi atau pertentangan. Dalam realitasnya, teknologi kerap tak terlepas sebagai alat monopoli atau manipulasi. Sering, secara tidak sadar, kita terjeruji dalam dinding alienasi yang bukan pada identitas diri. Banyak kemudian jati diri semu dan palsu mengemuka: mendominasi atas nama penerimaan dan pengakuan secara sosial.
Segala sesuatu masih dapat otonom, kita masih berkemungkinan secara sadar melakukan pencarian, melihat streaming langsung atau apa pun. Namun semua bagian yang tidak dapat diprediksi, seperti menekan tombol emosional, tombol dopamin, atau apa pun itu, hal itu akan menghilang dan menggantinya dengan ucapan Zen, atau ucapan Adler, atau ucapan apa pun (hal. 47).
Terdapat cukup banyak kasus kejahatan atas nama teknologi. UU ITE, sebagai bagian dari norma sosial yang wajib ditaati (dan ditakuti?) di Indonesia, adalah bukti dikotomi teknologi dewasa ini. Amnesty International Indonesia (AII) setidaknya mencatatm terdapat 84 kasus pelanggaran berekspresi sepanjang tahun 2021. Dalam lingkup politik bernegara, demokrasi dan teknologi memang tak lepas dari pergesekan.
Belum lagi sebagian dari kehadirannya yang dinilai menantang ancaman pada eksistensi keberadaan manusia. Otomasi mesin misalnya, kita lihat perlahan mendegradasi—menelan kerja-kerja ke-manusia-an belakangan ini. Cukup sulit untuk menunjukkan ruang kesejahteraan pada pilihan pekerjaan hari ini tanpa penguasaan teknologi. Modernisasi, seolah merupakan istilah yang menjadi jurang asing ketertinggalan dari kemajuan, bukan yang menjembatankan.
Setelah membaca buku ini, alih-alih merasa terhibur dan tercerahkan, silang-isian pikiran antara Harrari dan Audrey Tang pada setiap bab halaman justru membawa kita untuk menyelam pada titik remang, yaitu mengkritisi, sekaligus merefleksi. Bertahan tak diretas, dan berusaha untuk meretas.(*)