Petugas KPPS: Pekerja Musim Pemilu yang Kerap Tereksploitasi

Tedy Aprilianto

3 min read

Pada musim pemilu, pengangguran dapat sedikit ditanggulangi karena adanya lowongan kerja sebagai petugas KPPS. Petugas KPPS adalah kelompok penyelenggara pemilihan umum yang dibentuk oleh KPU untuk menggelar pemungutan suara. Dalam proses perekrutannya, Petugas KPPS diperoleh dari berbagai kalangan masyarakat. Syarat menjadi Petugas KPPS minimal berusia 17 tahun. Keberadaan petugas KPPS menjelang pemilu menjadikan mereka pekerja musiman.

Terkait dengan rekrutmen yang cukup mudah, petugas KPPS tidak membutuhkan keahlian khusus. Oleh karena itu, siapa pun warga negara yang ingin mendaftarkan dirinya dapat mudah diterima. Dalam dinamikanya, petugas KPPS cenderung diisi oleh golongan pemula karena merupakan batu loncatan bagi mereka untuk mencari pengalaman kerja. Dengan waktu kerja kurang lebih 1-2 bulanan sejak dilantik, generasi muda merasa menjadi petugas KPPS merupakan pekerjaan simpel yang mampu menjamin pengalaman.

Baca juga:

Dengan gaji 1,1-1,2 juta, banyak kalangan masyarakat berlomba-lomba mendapatkan posisi tersebut. Namun, karena petugas KPPS dianggap pekerja musiman, mereka kerap mendapatkan perlakuan tidak adil dalam bekerja. Petugas KPPS dikenal sebagai pekerja yang nasibnya dipermainkan demi kepentingan politik.

Fakta Sosial dan Historis Petugas KPPS Pemilu 2019

Pada tahun 2019, petugas KPPS menghadapi dinamika pemilu yang cukup berat. Pemilu pada tahun tersebut menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten secara serentak. Petugas KPPS dituntut untuk menghitung surat suara sebanyak 5 kategori.

Dengan jangka waktu penghitungan terbatas, mereka dipaksa menghitung surat suara seefektif mungkin. Mereka dituntut untuk berhati-hati dan mematuhi prosedur untuk menghindari penghitungan ulang. Dengan waktu kurang lebih 24 jam untuk penghitungan, pada Pemilu 2019 sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia. Menurut data investigasi Kompas tahun 2019, 894 petugas KPPS yang meninggal tersebar di 28 provinsi di Indonesia.

Adanya korban jiwa dari petugas KPPS ini membuat Komnas HAM melakukan pemantauan dan investigasi. Komnas HAM menemukan bahwa standar dalam proses perekrutan dan penetapan KPPS cukup lemah. Komnas HAM membuktikan bahwa petugas KPPS didapatkan hanya bermodal asal bisa baca-tulis dan berusia 17 tahun tanpa adanya perspektif pendidikan.

Petugas KPPS juga tidak mendapatkan perlindungan jaminan fasilitas pelayanan kesehatan.  Dalam menjalankan tugasnya, petugas KPPS seolah-olah diabaikan negara. Selain itu, tidak ada persiapan terpadu dan upaya antisipasi penanganan terhadap petugas KPPS dari KPU, Bawaslu, dan Kementrian Kesehatan sebelum petugas KPPS bertugas secara massal.

Dengan fakta sosial dan historis Pemilu 2019, dapat disimpulkan bahwa petugas KPPS menjadi salah satu pekerjaan dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Dengan adanya tuntutan penghitungan cepat, petugas KPPS yang bekerja menjadi korban penyelenggaraan pemilu.

Potensi Eksploitasi Petugas KPPS

Sebagai pekerja musiman, petugas KPPS kerap tereksploitasi. Mereka dituntut untuk bekerja secepat mungkin saat proses perhitungan suara.  Terkait dengan beragam upaya eksploitasi yang ditujukan kepada petugas KPPS, terdapat beberapa perspektif mengenai eksploitasi terhadap mereka.

Pertama, perspektif anggaran prapemilu. Terkait dana prapemilu, sebenarnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyiapkan anggaran untuk pelantikan dan bimbingan teknis bagi petugas KPPS. Di sisi lain, petugas KPPS merupakan pekerja singkat dalam kurun waktu 1-2 bulan. Dengan waktu yang cukup terbatas ini, tidak jarang lowongan petugas KPPS diisi oleh masyarakat yang sudah memiliki pekerjaan pokok untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Melalui perspektif anggaran prapemilu, KPU memberikan jaminan kepada petugas KPPS yang akan mengikuti pelantikan dan bimbingan teknis. Dengan anggaran tersebut, KPU bertanggung jawab untuk mengganti mata pencaharian dan uang konsumsi yang seharusnya dicari oleh petugas KPPS pada hari itu. Namun, dalam implemenasi di lapangan, anggaran yang diberikan oleh KPU justru digelapkan oleh oknum tak bertanggung jawab.

Hal ini terbukti dengan adanya berita viral terkait disunatnya anggaran konsumsi petugas KPPS di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Anggaran konsumsi petugas KPPS di Kabupaten Sleman semula dianggarkan 15.000 per kepala malah disunat menjadi 2.500 per kepala. Setelah ditelusuri, rupanya vendor yang bertanggung jawab menyediakan konsumsi acara tersebut tidak memberikan anggaran yang sesuai. Dari peristiwa tersebut terdapat sebuah pertanyaan, di mana sisa anggaran yang semula 12.500 itu? Dengan demikian, terkait dengan anggaran konsumsi petugas KPPS, memang benar ada eksploitasi karena hak uang konsumsi petugas disunat oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Kedua, perpektif rentan waktu penghitungan yang terbatas. Pada bimbingan teknis yang harus diikuti petugas KPPS, mereka diberikan pengarahan terkait standar dan operasional TPS. Selain itu, petugas KPPS juga diberikan deadline penghitungan suara yang sangat mepet. Pada tahun 2024 ini, deadline penghitungan suara diberikan hanya 24 jam. Dengan waktu 24 jam ini, petugas KPPS harus mampu menghitung suara secara manual di TPS seefektif mungkin.

Kurang lebih ratusan kertas suara petugas KPPS olah untuk mendapatkan hasil penghitungan suara. Jika dikalikan dengan 5 golongan pemilihan umum, petugas KPPS akan mengolah ribuan kertas suara. Dengan waktu yang cukup terbatas, petugas KPPS dituntut untuk bekerja nonstop agar bisa menyelesaikan penghitungan. Selain itu, mereka juga dituntut untuk memberikan hasil pemilihan yang transparan mungkin agar tidak ada tuntutan penghitungan ulang. 

Baca juga:

Petugas KPPS yang melakukan sedikit kesalahan penghitungan dituntut melakukan hitungan ulang. Penghitungan ulang dalam rentan waktu yang terbatas adalah hal yang tidak masuk akal. Terlebih lagi petugas KPPS tidak diberikan jaminan tambahan atas kinerjanya. Dengan waktu penghitungan yang terbatas, petugas KPPS akan merasakan eksploitasi karena dituntut kerja selama 24 jam tanpa henti untuk mendapatkan hasil penghitungan yang sah. Ditambah lagi jika ada tuntutan penghitungan ulang, mereka bisa bekerja selama 48 jam.

Ketiga, perspektif intervensi saksi. Dalam melakukan penghitungan, Petugas KPPS di TPS akan disaksikan langsung oleh saksi dari utusan timses presiden dan wakil presiden serta parpol. Adanya saksi ini merupakan bentuk jaminan terselenggaranya penghitungan suara yang sah.

Melalui saksi di dalam TPS selama proses penghitungan, saksi bisa saja memberikan keberatan pada putusan penghitungan jika tidak terima tim dukungannya kalah. Saksi bisa saja melakukan tuntutan hitung ulang jika disetujui oleh pengawas. Dengan ditugaskan di TPS, saksi bisa saja mendapatkan mandat tidak menyetujui keputusan dan melakukan intervensi. Selain intervensi, saksi memiliki potensi melakukan kekerasan kepada petugas KPPS karena tidak terima. Dengan demikian, adanya saksi dalam TPS menjadikan ruang eksploitasi petugas KPPS dilegalkan dengan kepentingan tertentu.

Keempat, perspektif konsekuensi gaji. dengan tuntutan waktu kerja yang tinggi, petugas KPPS sudah seharusnya dapat gaji sesuai dengan waktu yang ditentukan. Namun, setiap tahun penyelenggaraan pemilu, KPU tidak menentukan tanggal pasti pencairan gaji petugas KPPS. Oleh karena itu,  petugas KPPS dipaksa harus mau menerima konsekuensi gaji yang telat dibayarkan. Adanya keterlambatan pembayaran gaji ini menjadikan petugas KPPS tereksploitasi. Petugas PPKS bekerja untuk negara, sudah seharusnya jaminan gaji ini diberikan setelah bertugas.  

 

Editor: Prihandini N

Tedy Aprilianto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email