Ketika pesta demokrasi ada lagi, nikmati saja secukupnya dan sepintar-pintarnya.
Project Multatuli berhasil mengadakan pesta yang bertajuk Pesta Pinggiran. Dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau pesta yang digerakkan oleh media kecil ini diperuntukan untuk orang-orang pinggiran, orang-orang miskin kota, orang-orang miskin desa, buruh, mahasiswa, pemuda yang bingung dengan masa depannya, hingga masyarakat minoritas. Pesta ini bertujuan untuk membangun solidaritas sesama masyarakat untuk melawan negara yang tidak memihak kepada masyarakat kecil.
Momentum pesta ini tentunya sangat pas mengingat Indonesia kini tengah bersiap untuk menggelar pesta besar yang disebut dengan pesta demokrasi, Pemilu 2024. Lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan ikut berpartisipasi dalam pemilu kali ini. Tak hanya itu, pemilihan legislatif juga akan digelar bersamaan pada hari yang sama dengan pilpres. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2024; DPR RI sebanyak 9.917 calon dan DPD RI sebanyak 668 calon. Ini belum termasuk DCT pemilihan DPRD tingkat 1 dan DPRD tingkat 2.
Lalu, pernahkah kita berpikir soal siapa yang sebenarnya berpesta di pesta demokrasi tersebut? Benarkah seluruh rakyat ikut berpesta dalam pesta itu? Siapa tuan rumah dalam pesta itu? Apakah pesta itu pesta elit atau pesta rakyat?
Berbicara tentang demokrasi, tak sedikit orang mau mati demi demokrasi. Misalnya, saat Indonesia berupaya menghidupkan demokrasi akhir abad lalu, tak sedikit mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya yang terbunuh. Yang terbaru, atas nama penyelenggaraan pesta demokrasi, sekitar 894 penyelenggara meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Selain itu, saat menjelang penetapan pemenang Pilpres 2019 yang lalu, enam orang meninggal dunia pasca unjuk rasa di depan Bawaslu RI. Pesta yang seharusnya berakhir dengan riang gembira ternyata malah menelan korban jiwa!
John Pemberton, antropolog Columbia University, menjelaskan bahwa istilah pesta demokrasi itu pertama kali dipopulerkan oleh Soeharto menjelang pemilihan umum tahun 1982. Saat itu, ia tengah melaksanakan rapat persiapan pemilu bersama gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia. “Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasi”, ucap Soeharto.
Dirunut ke belakang, frasa pesta demokrasi muncul setelah pemerintahan Orde Baru berhasil memenangkan pemilihan umum 1971 dan 1977 dan mendominasi kehidupan politik saat itu. Pemilu 1982 kemudian dianggap sekadar sebuah perayaan formal untuk memeriahkan kembali kemenangan pemerintah yang berkuasa. Secara sederhana, pesta itu disiapkan untuk “mensyukuri” kemenangan kembali kubu Soeharto.
Dalam persepsi Orde Baru, pesta demokrasi sama halnya dengan hajatan besar untuk merayakan pernikahan. Di dalamnya, terdapat perangkat resepsi pesta seperti iringan musik yang meriah, dekorasi menawan, hingga hidangan lezat.
Dalam pesta pernikahan, ada tuan rumah dan tamu, begitu pula dalam pesta demokrasi. Pemerintahan Soeharto saat itu menjadi tuan rumah, sedangkan rakyat hanya tamu. Selayaknya tamu, rakyat hanya tim hore yang menikmati hiburan sesaat yang disajikan oleh tuan rumah. Usai pesta demokrasi, tamu kembali pada kehidupan masing-masing, minim dilibatkan langsung dalam aktivitas politik pemerintahan.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Semakin Berjaraknya Kita dari Demokrasi
Untuk Pemilu 2024 mendatang, pemerintah telah menyepakati besaran dana pelaksanaan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni sebesar Rp25,59 triliun di tahun 2019 dan Rp15,62 triliun di tahun 2014. Selain itu, masih ada dana kampanye dari para peserta. Total dana kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tahun 2019 lalu, misalnya, mencapai angka Rp213,2 miliar. Sementara itu, dana kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin menembus Rp606,7 miliar.
Pesta besar berikutnya sudah semakin dekat. Sejak 28 November lalu, kampanye dimulai. Para calon menyambangi rumah-rumah warga untuk menebar janji-janjinya. Mereka merogoh kocek untuk pasang baliho, spanduk, dan alat kampanye lain. Dengan segera, kita bisa saksikan warna-warni alat kampanye di mana-mana, kebanyakan tak kenal konsep estetika dan mungkin melanggar aturan kampanye. Baliho-baliho itu seakan mengundang rakyat secara terbuka untuk datang ke pesta besar lima tahunan.
Tak cukup dengan memasang baliho di jalan-jalan, para calon mendatangi rumah-rumah warga. Mereka menebar janji tentang kesehatan, pendidikan, pembangunan, pangan, ekonomi kreatif, dan isu-isu lain yang realisasinya tak begitu meyakinkan. Sebab, rakyat tahu mereka ke mana-mana naik jet privat setelah membicarakan krisis iklim, menyetujui impor beras sebelum membicarakan kedaulatan pangan, dan menyerukan penggunaan transportasi umum sambil tetap nyaman pergi lawatan naik mobil pribadi yang diiringi patwal.
Baca juga: Nirkomitmen Isu Lingkungan dalam Pemilu 2024
Jeffrey Winters, analis politik asal Amerika Serikat, menilai Indonesia adalah ladang basah oligarki. Negara demokrasi ini menjamin siapa saja dengan jalan apa saja untuk berkuasa secara ugal-ugalan. Rakyat menjadi korban. Hitung saja, sudah ada berapa kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan rakyat? Sekalipun ditolak oleh masyarakat sipil, kebijakan-kebijakan nyeleneh tetap lolos melalui cara-cara yang ajaib.
Hadiz dan Robison, pemikir politik Indonesia kenamaan, mengatakan bahwa meskipun terjadi konsolidasi demokrasi pada tahun 1998, pemerintahan pascaotoriter masih dikuasai oleh elit-elit yang sama. Bahkan, politik Indonesia kontemporer didominasi oleh kartel partai tempat berbagai partai politik berkolusi untuk menikmati rampasan kekuasaan. Naiknya Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014 menjadi contoh betapa saktinya kekuatan oligarki yang ternyata tak pernah benar-benar hilang pasca Reformasi. Beberapa pakar menilai bahwa besarnya andil oligarki dalam pemenangannya membuat Jokowi sulit untuk melepaskan diri dari kewajibannya “membalas budi”.
Tampaknya, Pemilu 2024 akan sama saja. Oligark-oligark itu melekat pada tubuh masing-masing calon. Lihat saja komposisi tim pemenangan mereka yang diisi kalangan pebisnis ternama. Di tim Prabowo-Gibran ada Aburizal Bakrie, Rosan Roeslani, Erwin Aksa, Wishnu Wardhana, Akbar Himawan Bukhori, dan Pandu Patria Sjahrir. Di kubu pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ada Hary Tanoesoedibjo, Sandiaga Uno, hingga Arsjad Rasjid. Di kubu Anies Baswedan, sosok yang paling mencolok sejauh ini adalah Surya Paloh.
Usai pesta, elit-elit itu akan kembali berkonsolidasi untuk menikmati potongan besar kue kekuasaan. Para kandidat akan kembali harmonis setelah kue kekuasaan dibagi-bagi antar mereka. Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno setelah Pemilu 2019, misalnya, masuk dalam jajaran menteri di pemerintahan Jokowi. Lima tahun setelahnya, rakyat tinggal disisakan sandiwara, omong kosong, dan ketidakadilan. Untuk itu, ketika pesta demokrasi ada lagi, nikmati saja secukupnya dan sepintar-pintarnya.
Editor: Emma Amelia