Selain di blog bukunya, resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

Pertarungan Kelas dalam Senyap Kisah Bongsoon

Launa Rissadia

5 min read

Tidak seperti Seoul yang bisa kita bayangkan saat ini, Seoul dalam buku karya Gong Ji-young berjudul Kakakku, Bongsoon (2022) amat jauh dari kesan menyenangkan.

Kakakku, Bongsoon merupakan novel otobiografis yang memotret kehidupan pembantu, berlatar di Seoul selama pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang pesat pada tahun 1960-an. Novel setebal 252 halaman terbitan Penerbit Haru ini pertama kali diterbitkan pada 1998 dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Mosaic Press dengan judul My Sister, Bongsoon pada 2005.

Ada masa-masa kita teringat pada seseorang yang sebelumnya memiliki kedekatan. Hal ini juga dialami Jjang, mantan majikan Bongsoon. Cerita Bongsoon dimulai dengan percakapan via telepon antara Jjang dan Ibu Jjang. Saat itu, Jjang sedang mengingat akan Bongsoon, bahkan ia juga sempat memikirkannya sewaktu baru pindah rumah. Seakan-akan, jejak Bongsoon tetap ada dalam dirinya meski sudah tiga puluh tahun berlalu. Kisah Bongsoon cukup getir dan membikin hati terenyuh sekaligus tercabik, serta menguak sisi gelap kehidupan pembantu rumah tangga pada tahun 1963.

“Memang, ya, kehidupan manusia itu…. Sejak kecil dia sudah hidup susah dan sampai sekarang aku pun belum melihat nasibnya membaik.” (Halaman 10)

Bongsoon mulai bekerja sebagai pembantu di keluarga Jjang pada usia 13 tahun. Ia adalah orang yang melihat Jjang dilahirkan dan senantiasa menemani serta berada di sampingnya. Bagi Jjang, Bongsoon orang yang selalu membela, menenangkannya saat menangis, memperbaiki posisi bantal, dan tidak pernah tidak punya cerita untuknya. Pengalaman pertamanya sering dilakukan bersama Bongsoon. Jauh sebelum itu, Bongsoon telah berkali-kali kabur. Pada usia enam atau tujuh tahun, kekerasan yang didapat dari ayah tirinya membuat Bongsoon mau tak mau menyelamatkan diri dan hidup sebatang kara.

Tak hanya itu, Bongsoon juga mengalami kekerasan dan kelaparan saat bekerja di rumah keluarga pelayan gereja. Nyatanya, kepercayaan dan ketaatan pada Tuhan tidak membikin seseorang menjadi atau mau berbuat baik, dan menjadikan seseorang bebas cela maupun tidak akan melakukan kejahatan. Seolah-olah belum cukup nasib buruk yang menimpanya, ia juga tidak dicintai dan ditinggalkan oleh keluarga ibunya di festival kembang api Changkyungwon. Sejak itu, ia dibawa tinggal oleh Ibu Jjang dan menjadi bagian dari keluarga. Meskipun Ibu Jjang dan Jjang menganggap Bongsoon seperti keluarga, tidak dengan kedua kakak Bongsoon.

Bukan cuma Bongsoon yang hidupnya menyedihkan dan mendapat kemalangan, tetapi Jjang juga. Semua bermula ketika Bongsoon kerap menghilang, bahkan di saat-saat Jjang membutuhkannya lantaran terpikat dan berkencan dengan seorang penatu bernama Byungsik. Boleh dibilang, Byungsiklah penyebab kedekatan Jjang dan Bongsoon merenggang. Kerenggangan itu menerbitkan rasa kesepian dan kebosanan pada Jjang.

 “Aku selalu sendirian. Kak Bongsoon yang selalu ada di sampingku pun menghilang. Setelah kami pindah rumah, Kak Bongsoon mulai berpacaran.” (Halaman 65)

Upayanya mengatasi sepi dan bosan dengan berteman dan bermain bersama anak-anak lain tidak berjalan mulus. Alih-alih teman baru, ia justru mendapat perundungan, perlakuan tidak adil, tidak dipedulikan, dan dikerjai terus-terusan dalam permainan. Jjang memperlihatkan pada kita bahwa tidak semua orang patut dijadikan teman dan tetap menaruh harapan pada manusia bisa menjadi racun untuk diri. 

“Seharusnya aku menyadarinya saat itu. Dari sekian banyaknya emosi manusia yang tidak terhitung, seharusnya aku tidak menaruh harapan kepada mereka yang menunjukkan sikap permusuhan denganku.” (Halaman 74)

Nasib buruk terus menyertai Bongsoon. Tuduhan sebagai pencuri, pengkhianat, dan pezina, serta hubungan Bongsoon dengan Byungsik merupakan wujud kemalangan lain yang menyeretnya ke banyak penderitaan baru. Sebut saja, tidak lagi diperlakukan dengan baik oleh Ibu Jjang, ditinggalkan saat hamil tua, pemaksaan pengguguran kandungan, sampai ditinggal mati tidak lama setelah melahirkan.

Sikap dan nasihat Ibu Jjang yang punya andil dalam pengguguran kandungan Bongsoon menarik perhatian saya. Kepedulian Ibu Jjang kadang tampak seperti omong kosong dan sekadar menyelamatkan hidup keluarganya.

Memori dan kenangan Jjang akan Bongsoon, serta kehidupan Mija, pembantu rumah sebelah dan Mikyung, pembantu pengganti Bongsoon yang tidak beda jauh dari Bongsoon, menyisakan rasa pahit sekaligus manis. Kedekatan mereka pun membuktikan hubungan antarmanusia yang rumit dan tidak hanya menyenangkan. Jjang tidak melulu sabar dan, meski menganggap Bongsoon sebagai kakak, kadang ia pun menyebut Bongsoon pembantu ketika kekesalannya memuncak dan merasa tidak mendapat perlakuan baik. Perbedaan status dan kesenjangan kelas antara majikan dan pembantu tetap terasa ada meski setipis kertas.

Membaca novel Kakakku, Bongsoon seperti menjelajahi buku harian Jjang; menyingkap setiap kenangan Jjang bersama Bongsoon, menguak banyak kejadian memilukan, merasakan ketulusan seorang majikan kecil pada pembantu yang telah dianggap sebagai kakak, menatapi kesuraman, kegetiran, dan kemalangan yang dialami para pembantu rumah tangga, menyaksikan pengalaman pertama Jjang melakukan hal-hal terlarang, menjelma sebagai Jjang yang menilik setiap kejadian dalam hidupnya termasuk yang menimpa Bongsoon, sampai menjadi saksi perpisahan Jjang dan Bongsoon.

Baca juga:

Sejarah Kelam, Kesuraman, dan Cara Bertahan Hidup

Sekilas kisah Bongsoon tampak seperti kisah pembantu biasa dengan segala nasib buruk dan kepahitan hidup. Nyatanya, kisah yang disampaikan lewat perspektif Jjang, majikan Bongsoon yang berusia lima tahun dan dewasa sebelum waktunya, menyingkapkan sejarah kelam Korea Selatan pada tahun 1960 sampai sekitar 1980.

Meski tidak banyak disinggung, sejarah itu membikin cerita Kakakku, Bongsoon kian pedih sekaligus cukup meluaskan wawasan. Lebih-lebih, kita akan takjub dengan mental, jiwa, serta daya hidup Bongsoon yang kuat. Hanya membayangkan berada di posisi Bongsoon saja rasanya saya belum tentu mampu.

Narasi singkat kampung halaman dan tahun kelahiran Jjang dapat memantik pembaca untuk menyusuri lebih jauh perihal peristiwa kudeta militer Park Chung-hee pada 16 Mei 1961—juga disebut Revolusi Militer 16 Mei atau Kudeta 5.16—yang menggulingkan pemerintahan terpilih secara demokratis Yun Bo-seon serta mengakhiri Republik Kedua. Park Chung-hee menyulap Korea Selatan dari negara agraris menjadi penguasa industri dunia. Di bawah pemerintahannya (1961-1979), tercipta banyak kelas pekerja. Kalau ditilik lebih mendalam, kita akan mengetahui pula tentang kudeta militer lainnya yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan sampai Pemberontakan Gwangju (18-27 Mei 1980).

Bongsoon adalah pembantu yang polos, sangat naif, tidak berpendidikan, tetapi pekerja keras seperti kebanyakan pembantu rumah tangga pada masa itu. Kebiasaan menghilang dan kabur dengan laki-laki yang mulanya membikin heran, bersimpati, dan berempati pun berganti menjadi kewajaran. Entah takdir atau bukan, kesuraman dan kemalangan yang dialami Bongsoon bisa dibilang risiko dari pilihan hidupnya. Kita memang tidak bisa mengubah takdir, namun kita selalu punya pilihan untuk bisa hidup lebih baik. Pilihan itu sepertinya tidak ada dalam hidup Bongsoon. Boleh jadi, kabur adalah pilihan terbaik baginya.

Tampaknya, kebiasaan itu adalah cara serta upaya Bongsoon untuk bertahan hidup dan satu-satunya hal yang mampu ia lakukan. Kemalangan seperti enggan melepaskan diri darinya. Hingga memasuki usia 20 tahun pun, Bongsoon terus mengalami nasib buruk. Di lain sisi, ia tetap optimis dan pasrah. Kita sama sekali tidak akan menemukan jejak keluh kesahnya. Sepanjang hidup, ia diikuti oleh nasib malang. Sekalipun begitu, kebahagiaan juga menghampirinya meski tak berlangsung lama. Kabur sudah menjadi hal biasa bagi Bongsoon dan dapat dikatakan sebagai taktiknya dalam menemukan kebahagiaan dan menjalani hidup.

Selepas membaca buku ini dan ketika berselancar, Ji-young seperti mengajak saya berwisata sejarah. Kepahitan, kegetiran, dan emosi yang timbul pun menjadi berlipat ganda sekalipun sejarah kelam yang disinggung dan baru saya ketahui bukan sejarah negara sendiri.

Poin menarik lainnya, novel Kakakku, Bongsoon cukup kaya akan kosakata bahasa Korea. Sebagian besar informasinya berisi tentang makanan dan minuman khas Korea. Misalnya, siraegi, bahan makanan Korea berupa daun dan batang lobak yang dikeringkan, dan sujebi, sup kaldu yang berisi pangsit kecil. Ji-young berhasil membawa kita berwisata kuliner dan, pada saat yang sama, membikin mengiler.

Sayangnya, Ji-young juga membuat kita dilanda kebingungan dan bertanya-tanya meski sedikit. Sebab, cerita yang disampaikan benar dari sudut pandang Jjang berusia lima tahun, atau Jjang dewasa mengutarakan ingatan dan kenangannya saat berusia lima tahun. Penggambaran kedewasaan Jjang ada kalanya berlebihan sehingga sulit membedakan, kalau bukan memisahkan, perspektif Jjang usia lima tahun dan Jjang saat ini. Kejelasan pembeda atau batas antara Jjang dewasa dan Jjang berusia lima tahun tidak begitu kelihatan sehingga sudut pandang yang dipakai saru. Acap kali terasa seperti Jjang di masa kini yang berbicara ketimbang Jjang berusia lima tahun.

Alhasil, cukup banyak ucapan dan pemikiran Jjang yang kurang logis dan kelewat dewasa untuk anak usia lima tahun. Misalnya, saat membicarakan kehidupan:

“Mungkin hidup sama seperti tersesat sendirian di dalam hutan, lebih mengerikan daripada yang terjadi pada Hansel dan Gretel. Mungkin saja aku mendengar semua itu dari suara tangis Kak Bongsoon.” (Halaman 161)

Kemudian, kesadaran-kesadaran yang dirasakan Jjang kecil setelah mengalami hal tertentu:

“Aku juga menyadari bahwa kehidupan seseorang bisa berubah karena hal kecil. Aku juga berpikir bahwa dalam hidup sebenarnya tidak ada hal yang kecil.” (Halaman 186)

Novel Kakakku, Bongsoon memuat banyak sekali isu: kekerasan pada anak, kekerasan fisik dan verbal, perundungan, relasi kuasa, toxic relationship, hingga eksploitasi tenaga kerja (dengan dalih menganggap bagian dari keluarga atau anak angkat, upah rendah dan kadang tidak dibayar), kesenjangan kelas, serta perbedaan status dan ekonomi. Gaya penulisan Ji-young yang luwes dan terjemahan yang apik oleh Hyacinta membuat novel ini asyik dibaca meskipun isu yang diangkat terkesan berat. Isu-isu tersebut menyadarkan kita betapa getir hidup pada masa itu, terutama bagi pembantu rumah tangga.

“Peran kita seharusnya mengikuti nasib yang ada di depan kita. Seharusnya semuanya cukup dengan memikirkan makna hidup bagi masing-masing. Sayangnya, tidak sesederhana itu.” (Halaman 12)

 

Editor: Emma Amelia

Launa Rissadia
Launa Rissadia Selain di blog bukunya, resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email