Lembur dan Kepengarangan yang Melelahkan
manusia beserta narasi di kepalanya
membentur waktu
diburu sepi
yang penuh dengan nada-nada tanya
perlukah makhluk kecil
sepertiku
ikut berebut ruang sejarah
bersama debu-debu,
ijazah, dan bangku kelas
yang tak pernah kehabisan cara
untuk membuatku kian terasing
dan terpisah
dari isi kepalaku sendiri
aku lelah dan ingin pergi
ke batu nisanku sendiri
[Umbulharjo, 1 Agustus 2022]
–
Lelah
melebihi rasa lelah
aku hanyalah kutu yang bosan
dan tak ingin menjadi biksu
apalagi atlet debus
dan pemuka agama
yang suka gedabrus
aku cuma ingin larut
dalam belajar berjalan
meniti lintasan sejarah
tanpa bernapsu untuk duduk
di halaman buku sekolah
aku hanya ingin seperti kesadaran,
yang tak dikenali siapa-siapa
seperti kedip mata dan denyut nadi
yang tak pernah disadari ada
seperti gelap waktu, empasan angin,
dan gerak ombak
yang tak bisa direnggut
oleh siapa-siapa
[Blandongan, Agustus 2022]
–
Gelandangan dan Gunung Indonesia
subuh bisu di Jenewa
aku berjalan sendiri
menuju tepi danau
sembari mengeja waktu, matahari,
dan langit luas
yang seolah terasa lebih dekat,
lebih pekat, dari kampungku
kubeli roti dan sehirup kopi
“bon appétit,” balas si penjual
reflek konyol kubalas, “danke schön!”
konon, kota dengan bianglala putih ini
adalah keping-keping puzzle
dari Prancis, Jerman, dan Latin
yang teramu ganjil
lanjut kupergi berenang
di danau biru kristal ini
dan memang terasa agak horor
terutama berita minggu silam
yang menyedot perhatian di tanah air
tapi masih selamat aku untuk menjemput malam
menyusuri remang sepi di lorong usai jembatan itu
bersama lukisan tembok di dekat taman
Terminal Place Dorcière
ada gelandangan mendekatiku
meminta rokok
dan langsung kunyalakan batang itu
di bibirnya
bersama dingin angin dini hari
ada yang bisa menghangatkanku:
ia membual ke sana ke mari
dengan bahasa Jerman yang tak lagi bisa kucerna utuh
“Ich kann ein bisschen Deutsch sprechen, aber Ich zu viele vergesse.”
aku bisa sedikit, tapi lupa banyak.
(selain untuk pamer, ini untuk mengabadikan momen)
ia kembali banyak bicara
dan tiga kata kunci utama: frau Fransösisch, zu kaputt, dan zu teuer
sepertinya mirip dengan para suami gembel di tanah air
ia mengeluhkan istri
yang orang Prancis,
hidup yang mahal di Swiss
dan rumahnya yang kacau dan rusak
: ia habis berantem dan diusir
lantas kudengar kata woher dan Sie
paling “dari mana kau?”
kujawab Indonesia
dan ia sontak menyebut kata
“ach so! volcanos … volcanos!”
aku sontak tertawa
ternyata hanya gunung api
yang dikenang
orang asing kelas bawah
tentang Indonesia
barangkali ledakan Gunung Samalas
(sekarang Tambora)
yang membuat Napoleon keok
dan mengubah sejarah
masih menjadi trauma
bagi warga mancanegara
[Danau Jenewa, Juni 2022]
–
Pertanyaan untuk Orangtua (1)
seandainya anakmu pindah agama
apa yang akan kau lakukan?
masihkah kau mengakuinya
atau melihatnya seperti
lembar plastik di akar bambu
—seonggok benda asing
yang mendadak berbeda
apalagi jika anakmu tak lagi beragama
atau bahkan menjadi ateis
masih ingatkah kau akan bibir
dan geli jemari kecilnya
yang meraba-raba payudaramu dahulu?
sedari masa ngompol
dan belajar berjalan
di teras rumah
bersama belaian dan udara ceria
kau ikut riang akan kehadirannya
saat menjadi orangtuanya
mampukah kau menerima anakmu
tanpa rasa takut
tanpa rasa iba
tanpa sedebu pun rasa segan
untuk tertindih dan asing
ketika orang-orang yang tak pernah menyusuinya
mulai melempari fatwa halal darahnya?
masihkah kau sudi
menyayanginya?
[Den Haag, Juni 2022]
–
Pertanyaan untuk Orang Tua (2)
Bu, di sini aku melihat sepasang lelaki
berpelukan mesra
badan keduanya gempal
tapi itu jelas bukan persahabatan
di sini, Ibu, bau ganja menguar arogan
bersama tarian bugil di jendela kaca
dan suara bel lonceng sepeda bersahutan
di tepian kanal distrik lampu merah
pusing kepalaku
tapi karena kutukan
yang senantiasa bernama rasa penasaran
jadi terbayang di otak kecilku
: masih sudikah kau anggap anak
jika putramu punya orientasi seksual
yang tak mayoritas?
akan bagaimana jadinya
bila doktrin agama sudah tak mampu
melipur samsara dari dada seorang ibu
yang dipukul nasib
saat anaknya berbeda
di Red Light District Amsterdam ini
hidup terasa nyata semunya
hanya tarian asap yang lekas lenyap
dan ephemera
: sangat sementara
[Amsterdam, Juni 2022]
*****
Editor: Moch Aldy MA