Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Pertanyaan untuk Orangtua dan Puisi Lainnya

Madno Wanakuncoro

2 min read

Lembur dan Kepengarangan yang Melelahkan

manusia beserta narasi di kepalanya
membentur waktu
diburu sepi
yang penuh dengan nada-nada tanya

perlukah makhluk kecil
sepertiku
ikut berebut ruang sejarah

bersama debu-debu,
ijazah, dan bangku kelas
yang tak pernah kehabisan cara
untuk membuatku kian terasing
dan terpisah
dari isi kepalaku sendiri

aku lelah dan ingin pergi
ke batu nisanku sendiri

[Umbulharjo, 1 Agustus 2022]

Lelah

melebihi rasa lelah
aku hanyalah kutu yang bosan
dan tak ingin menjadi biksu
apalagi atlet debus
dan pemuka agama
yang suka gedabrus

aku cuma ingin larut
dalam belajar berjalan
meniti lintasan sejarah
tanpa bernapsu untuk duduk
di halaman buku sekolah

aku hanya ingin seperti kesadaran,
yang tak dikenali siapa-siapa

seperti kedip mata dan denyut nadi
yang tak pernah disadari ada

seperti gelap waktu, empasan angin,
dan gerak ombak
yang tak bisa direnggut
oleh siapa-siapa

[Blandongan, Agustus 2022]

Gelandangan dan Gunung Indonesia

subuh bisu di Jenewa
aku berjalan sendiri
menuju tepi danau
sembari mengeja waktu, matahari,
dan langit luas
yang seolah terasa lebih dekat,
lebih pekat, dari kampungku

kubeli roti dan sehirup kopi
bon appétit,” balas si penjual
reflek konyol kubalas, “danke schön!”
konon, kota dengan bianglala putih ini
adalah keping-keping puzzle
dari Prancis, Jerman, dan Latin
yang teramu ganjil

lanjut kupergi berenang
di danau biru kristal ini
dan memang terasa agak horor
terutama berita minggu silam
yang menyedot perhatian di tanah air

tapi masih selamat aku untuk menjemput malam
menyusuri remang sepi di lorong usai jembatan itu
bersama lukisan tembok di dekat taman
Terminal Place Dorcière

ada gelandangan mendekatiku
meminta rokok
dan langsung kunyalakan batang itu
di bibirnya

bersama dingin angin dini hari
ada yang bisa menghangatkanku:
ia membual ke sana ke mari
dengan bahasa Jerman yang tak lagi bisa kucerna utuh
Ich kann ein bisschen Deutsch sprechen, aber Ich zu viele vergesse.”
aku bisa sedikit, tapi lupa banyak.
(selain untuk pamer, ini untuk mengabadikan momen)

ia kembali banyak bicara
dan tiga kata kunci utama: frau Fransösisch, zu kaputt, dan zu teuer

sepertinya mirip dengan para suami gembel di tanah air
ia mengeluhkan istri
yang orang Prancis,
hidup yang mahal di Swiss
dan rumahnya yang kacau dan rusak
: ia habis berantem dan diusir

lantas kudengar kata woher dan Sie
paling “dari mana kau?”
kujawab Indonesia
dan ia sontak menyebut kata
ach so! volcanos … volcanos!

aku sontak tertawa
ternyata hanya gunung api
yang dikenang
orang asing kelas bawah
tentang Indonesia

barangkali ledakan Gunung Samalas
(sekarang Tambora)
yang membuat Napoleon keok
dan mengubah sejarah
masih menjadi trauma
bagi warga mancanegara

[Danau Jenewa, Juni 2022]

Pertanyaan untuk Orangtua (1)

seandainya anakmu pindah agama
apa yang akan kau lakukan?

masihkah kau mengakuinya
atau melihatnya seperti
lembar plastik di akar bambu
—seonggok benda asing
yang mendadak berbeda

apalagi jika anakmu tak lagi beragama
atau bahkan menjadi ateis
masih ingatkah kau akan bibir
dan geli jemari kecilnya
yang meraba-raba payudaramu dahulu?

sedari masa ngompol
dan belajar berjalan
di teras rumah
bersama belaian dan udara ceria
kau ikut riang akan kehadirannya

saat menjadi orangtuanya
mampukah kau menerima anakmu
tanpa rasa takut
tanpa rasa iba
tanpa sedebu pun rasa segan
untuk tertindih dan asing
ketika orang-orang yang tak pernah menyusuinya
mulai melempari fatwa halal darahnya?

masihkah kau sudi
menyayanginya?

[Den Haag, Juni 2022]

Pertanyaan untuk Orang Tua (2)

Bu, di sini aku melihat sepasang lelaki
berpelukan mesra
badan keduanya gempal
tapi itu jelas bukan persahabatan

di sini, Ibu, bau ganja menguar arogan
bersama tarian bugil di jendela kaca
dan suara bel lonceng sepeda bersahutan
di tepian kanal distrik lampu merah

pusing kepalaku
tapi karena kutukan
yang senantiasa bernama rasa penasaran
jadi terbayang di otak kecilku
: masih sudikah kau anggap anak
jika putramu punya orientasi seksual
yang tak mayoritas?

akan bagaimana jadinya
bila doktrin agama sudah tak mampu
melipur samsara dari dada seorang ibu
yang dipukul nasib
saat anaknya berbeda

di Red Light District Amsterdam ini
hidup terasa nyata semunya
hanya tarian asap yang lekas lenyap
dan ephemera
: sangat sementara

[Amsterdam, Juni 2022]

*****

Editor: Moch Aldy MA

Madno Wanakuncoro
Madno Wanakuncoro Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email