Hari masih pagi ketika sekawanan kupu-kupu terbang melintasi dahan-dahan rendah di hutan yang rindang. Mereka terbang mendatangi seekor koala yang masih terlelap di atas pohon ekaliptus. Seekor prajurit kupu-kupu menusuk-nusukkan tombak mungilnya ke tubuh Koala sampai ia tersadar dari tidurnya. Koala membuka matanya dengan malas, menguap, lalu mencari tambahan oksigen untuk paru-parunya.
“Sepagi ini seharusnya kupu-kupu bekerja keras mencari sari bunga atau semacamnya,” kata Koala, dengan tempo bicara yang sangat lambat, “sepertinya kalian tersesat.”
“Bangunlah koala malas,” kata prajurit kupu-kupu itu, “Ratu kami ingin bicara denganmu.”
Koala menguap sekali lagi, sembari meregangkan tubuhnya. Ia naik ke dahan yang lebih tinggi untuk meraih sekelompok daun ekaliptus, lalu mengunyahnya sebagai sarapan.
“Apa kalian tahu bahwa koala harus tidur dua puluh satu jam sehari untuk menjaga kewarasan?” kata Koala, sambil masih mengunyah daun di tangannya, “mungkin kalian bisa datang lagi nanti jika tak ingin membuat seekor koala menjadi gila dan mengacaukan hari kalian.”
Dari kawanan, muncul seekor kupu-kupu yang berukuran lebih besar dari yang lain. Kupu-kupu lainnya memberi hormat saat kupu-kupu besar itu terbang mendekati Koala. Seekor prajurit kupu-kupu meniupkan terompet sebagai pengiring. Dari sambutan itu, Koala bisa menyadari bahwa kupu-kupu besar itu adalah sang Ratu Kupu-Kupu.
“Aku Ratu Kupu-Kupu, ingin bicara padamu, wahai Koala.” Ratu Kupu-Kupu terbang mendekat, lalu meminta pasukannya mengakhiri sambutan untuknya. “Kaukah koala yang kemarin telah berbicara tentang hal-hal tak masuk akal pada saudara kami?”
Koala masih mengunyah ekaliptus kesukaannya. Gigi-giginya yang rapi, mengunyah sangat pelan, sehingga para kupu-kupu harus menunggu sejenak untuk jawaban. “Ya, kemarin seekor kupu-kupu memang datang kemari,” kata Koala yang akhirnya selesai mengunyah, “ia bilang ingin belajar tentang makna kehidupan dari hewan-hewan di sini. Ia menanyaiku, dan aku menjawab. Aku tak merasa jawabanku tak masuk akal, jika ukurannya adalah otakku yang kecil ini, wahai Ratu Kupu-Kupu.”
“Wahai Koala, kiranya apa yang telah saudara kami tanyakan padamu kemarin?” tanya Ratu Kupu-Kupu.
“Ia bertanya apakah makna kehidupan ini sebenarnya.”
“Lantas, apa jawabanmu?”
“Kujawab bahwa kita tidak bisa menemukan jawaban final yang memuaskan hasrat pengetahuan kita sebagai makluk yang berbeda-beda. Lalu ia bertanya lagi tentang apa makna kematian,” kata Koala, “aku pun menjawab bahwa jawabanku sama untuk pertanyaan pertama dan kedua.”
Ratu Kupu-Kupu tampak bingung mendengar cerita si Koala. Ia berpikir, mungkin ada benarnya untuk menunggu Koala selesai beristirahat. Sebab sepertinya benar apa yang Koala bilang tentang pentingnya tidur bagi bangsa koala dan dampaknya pada kewarasan mereka tampaknya benar-benar nyata.
“Apa maksudmu, wahai Koala?” kata sang Ratu Kupu-Kupu, “tolong jangan berbelit-belit.”
Koala melihat sekitar, melihat ke seluruh prajurit kupu-kupu yang menunggu jawabannya dengan penasaran. “Apakah kau yakin ingin mendengar jawabanku ini sambil disaksikan seluruh prajuritmu?” kata Koala, “kupikir jawabanku akan sedikit konfrontatif untuk didengarkan beramai-ramai oleh kaummu.”
“Jangan khawatir,” jawab Ratu Kupu-Kupu, “kami adalah makluk agung yang mencintai pengetahuan. Kami terbiasa terbang melihat berbagai hewan-hewan lain yang beragam. Perbedaan pendapat adalah bagian dari keindahan hidup yang bisa kami pahami sebagai kaum terpelajar.”
“Baiklah jika itu maumu. Kemarin kujawab bahwa hidup dan mati sebenarnya tak ada bedanya.”
Pasukan kupu-kupu tampak kaget mendengar jawaban Koala. Mereka saling berbisik pada satu sama lain dan mulai menganggap bahwa tak ada gunanya lagi Ratu Kupu-Kupu terus melanjutkan percakapan dengan Koala yang gila itu.
“Wahai Ratuku, bukan maksud hamba bersikap lancang,” kata seorang prajurit, “tetapi mungkin ada baiknya bila kita sudahi saja pertemuan dengan makluk darat yang gila ini, demi kewarasan kita. Saudara kita kemarin telah dibuatnya menjadi gila dan berkata yang tidak-tidak. Pasti ucapan Koala ini bisa menularkan kegilaannya kepada kita. Ini sihir!”
“Tenanglah, saudaraku,” kata Ratu Kupu-Kupu, yang masih bersikukuh ingin mendengarkan keterangan yang lebih lengkap dari Koala.
“Aku sudah peringatkan, kan?” kata Koala, tiba-tiba menyela.
“Saudaraku semua, dengarkan perintahku,” kata Ratu Kupu-Kupu. “Terbanglah kalian ke batas hutan. Tunggulah aku di sana. Aku akan menyelesaikan pertemuan ini sendiri.”
Para prajurit kupu-kupu tampak khawatir dan ragu. Mereka tetap terbang di tempat tak mau pergi, sampai Ratu Kupu-Kupu memperingatkan mereka sekali lagi sambil berkata, “ini perintah dariku.”
Pergilah para prajurit kupu-kupu meninggalkan sang Ratu berdua dengan si Koala.
***
“Kau tahu, Koala,” kata Ratu Kupu-Kupu, “hidup ini begitu indah. Kita memiliki pikiran dan perasaan untuk melihat seisi hutan. Kita berbeda, namun sama-sama memiliki anugrah untuk menikmati keindahan. Bunga-bunga yang menyediakan serbuk sari bagi kami, juga ekaliptus untukmu adalah salah satu keindahan yang kumaksud. Sedang kematian, adalah sebuah perhentian dari keindahan-keindahan itu. Sebuah akhir yang tak bisa kita kendalikan. Sekarang katakan padaku, wahai Koala. Apa yang membuatmu menganggap bahwa hidup dan mati tak ada bedanya?”
“Kau tahu,” jawab Koala, “kita tidak bisa memahami makna kehidupan jika hanya belajar dari hal-hal yang indah di mata kita. Kau tentu pernah melihat seekor rusa yang dicabik-cabik tubuhnya oleh seekor singa. Kematian rusa itu adalah penyambung hidup bagi singa. Lihatlah betapa keindahan di hutan ini sangat amat relatif. Kematian rusa adalah keindahan bagi para singa, sedangkan bagi para rusa, hal itu adalah petaka. Bisakah kau bayangkan bagaimana para rusa memandang kehidupan ini?”
“Aku bisa memahami konsep relativitas moral yang kau maksud, Koala,” kata Ratu Kupu-Kupu, “tetapi hal itu tetap tidak membuktikan bahwa kematian itu sama dengan kehidupan.”
“Baiklah, akan kuceritakan padamu. Suatu kali, ada seekor panda mampir ke sini,” kata Koala, “ia datang dari tempat yang sangat jauh. Panda itu bercerita bahwa ia pergi meninggalkan kawanannya untuk bisa mengalami kehidupan yang dilalui hewan lain. Ia merasa hidupnya tak pernah benar-benar berarti saat ia lalui dengan aktivitas yang telah digariskan untuknya, padahal di luar sana banyak hewan yang mengalami kehidupan yang berbeda.
Ia berpikir, mungkin kematian sebenarnya telah hadir dalam hidupnya, saat ia menjalani kehidupan dalam kepenatan, ketakutan, dan kesengsaraan dalam takdir yang ia terima sedari lahir. Ia merasakan penderitaan tetap ada di hidupnya, meski ia bisa makan bambu setiap hari, meski ia bisa bernapas bebas. Penderitaannya datang dalam ketakutan akan kematian. Mengapa aku memiliki usia? Mengapa aku dilahirkan sebagai panda? Mengapa aku merasa takut?
Panda itu terus mempertanyakan hal-hal itu kepada dirinya sendiri. Setiap kali bertambah tua, ia semakin takut akan kematian. Sampai pada suatu hari, ia mencoba melawan ketakutannya. Ia merasa harus mengalami berbagai jenis kehidupan agar bisa melihat makna dari kehidupannya sendiri. Setelah berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, menemui macam-macam hewan, ia menyadari bahwa penderitaan itu sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang seharusnya ia lalui, bukannya dihindari.
Ia mulai menyadari bahwa kematian hanyalah setapak lain yang harus ia lalui. Sama dengan jalan-jalan yang sudah ia lalui selama ini, kematian hanyalah ngarai lain yang akan membawanya pada sesuatu yang baru, asing, dan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sama seperti saat ia mengalami langsung bagaimana kehidupan hewan lain selama ini. Pengalaman itu bukan hanya telah menumbuhkan keberanian dalam jiwanya, tetapi juga telah membuka matanya untuk dapat melihat kehidupan dan kematian dengan lebih bijaksana.
Ia pun mulai menjalani kehidupannya dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk membagikan keyakinannya, tanpa memaksa. Dalam hidup ini, baginya, kebahagiaan dan penderitaan ternyata hanyalah dua hal yang datang yang silih berganti, dan itulah jalan yang ia yakini. Pada akhir ceritanya, panda itu memberitahuku bahwa sebenarnya kematian adalah kehidupan yang lain.”
“Sejujurnya,” kata Ratu Kupu-Kupu, setelah menghela napas panjang, “cerita-cerita itu bukanlah dongeng yang baru bagi kaumku. Kau tahu, kupu-kupu adalah makluk yang banyak menerima informasi. Kami tahu berbagai kisah dari berbagai tempat. Kami mempelajari berbagai hal dari melihat kehidupan hewan lain. Kami terbang bukan hanya untuk mencari serbuk sari, tetapi juga untuk mempelajari hal-hal yang tak bisa kami alami. Namun, kisah-kisahmu itu, Koala, tetap tidak membuktikan bahwa kehidupan dan kematian adalah sama.”
“Tentu saja kau akan meragukan hal itu,” jawab Koala, “karena memang ceritaku belum selesai.”
“Kalau kau ingin menceritakan perjalanan si Panda itu dalam alam kematian, aku mungkin akan berpikir sama seperti para prajuritku,” kata Ratu Kupu-Kupu, sambil tertawa mengejek, “mungkin kau memang butuh istirahat, saudaraku.”
Koala pun ikut tertawa. “Tidak, Ratu Kupu-Kupu. Yang ingin kusampaikan adalah tentang seekor kura-kura perairan yang terdampar jauh karena badai.”
“Lanjutkanlah. Aku belum pernah mendengar kisah itu.”
Koala menggigit sekelompok ekaliptus lagi, lalu menelannya sebelum mulai bicara. “Hari itu di sini sangat mendung. Musim tak bisa kuperkirakan lagi berdasarkan arah matahari. Daun-daun mulai layu dan banyak hewan berjalan jauh mencari tumbuhan segar. Ketika hari semakin gelap, seekor kura-kura datang menghampiri pohon ini. Ia melihatku dan meminta izin untuk beristirahat di bawah pohon. Sembari menunggu terang, ia menceritakan bagaimana ia bisa sampai di hutan rindang ini.
Ia adalah seekor kura-kura perairan. Mungkin usianya sudah ratusan tahun waktu itu. Ia tak seharusnya berkeliaran di hutan yang bukan habitatnya. Jalannya pun lamban. Tak mungkin ia sendiri yang memutuskan untuk pergi ke sini. Tak ada ganggang di sini, tak ada ikan. Aku waktu itu yakin bahwa kura-kura itu tidak datang untuk mencari makan. Aku terus menduga-duga maksud kedatangannya, sampai ia sendiri yang bercerita bahwa badai telah menyapu perairannya, hingga ia terbawa jauh ke sini. Ombak tiba-tiba naik begitu tinggi sampai menyentuh awan. Hal itu, kau tahu, tidak seharusnya terjadi.
Kura-kura itu tergulung ombak dan terdampar di tempat yang asing. Ia terus berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, dan tak pernah menemukan rumahnya. Ia tak bisa memahami mengapa ombak menyerangnya. Ia tak bisa memahami mengapa ombak memisahkannya dari habitat di mana seharusnya ia berada. Di perjalanannya, ia bertemu dengan macam-macam hewan. Ia bertanya pada badak, pada trenggiling, pada babi, juga kerbau, ke mana arah yang tepat menuju perairan tempat rumahnya berada. Tak seekor hewan pun tahu di mana tempat itu. Dalam perjalanan itu pula ia mulai mencari cara bertahan hidup. Ia belajar makan rumput, belajar bahasa semut, dan sesekali menyelinap ke sarang hewan lain untuk berteduh dan menghindari pemangsa.
Setelah sekian jauh ia berjalan, berbagai pengalaman ia lalui, kura-kura itu mulai mengubur keinginannya untuk pulang. Ia telah terbiasa berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Saat ia mulai kehilangan harapan untuk pulang, saat itu pula ia mulai kehilangan ketakutan. Hanya yang masih memiliki harapan, katanya, yang masih menyimpan ketakutan. Bukan berarti ia tak pernah mengalami bahaya dalam perjalanannya. Ia bercerita tentang retak di tempurungnya, tentang jejas-jejas, dan lumut-lumut yang mulai memenuhi tubuhnya.
Namun, tak ada lagi ketakutan di dirinya. Perjalanan itu menyadarkannya bahwa ia bisa membantu hewan lain dengan pengetahuan yang ia miliki. Ia fasih membaca cuaca, menghitung pola musim, merasakan tanda bahaya, dan mencari makanan-makanan alternatif di saat musim kering. Pengalamannya itu ia bagikan kepada siapa pun yang ia temui. Kini dirinya bukan hanya seekor kura-kura tua yang kehilangan rumah. Ia telah dikenal sebagai pembawa pengetahuan. Sebagian hewan menyebutnya sebagai kupu-kupu darat, karena pengetahuannya yang kaya, berkat pengalamannya selama hidup. Aku salah satu hewan yang mendengarkan cerita kura-kura tua itu. Di akhir ceritanya, kura-kura tua itu berkata bahwa ia telah menyaksikan banyak kelahiran dan kematian selama hidupnya. Baginya, kehidupan adalah sepenuhnya kutukan, bila kita tidak mampu memahami takdir kita. Sekarang ia tak punya habitat lagi untuk pulang. Di mana pun ia bisa bertahan. Kematian, katanya, adalah satu-satunya rumah yang menantinya. Ia akan terus berjalan, belajar memahami dan berbagi pada hewan lain, sampai kematian datang menjemputnya untuk pulang.”
Ratu Kupu-kupu masih tidak paham mengapa koala menceritakan semua itu. Cerita kura-kura itu memang hal baru bagi kaumnya. Namun, hal itu, bagi Ratu, tetap tidak menjawab rasa penasarannya. “Lalu, masih adakah cerita yang ingin kau sampaikan, Koala?” kata Ratu Kupu-Kupu, “sepertinya aku membuang terlalu banyak waktuku di sini untuk mendengarkan dongengmu itu.”
Koala melihat ke arah matahari yang sinarnya terhalang sayap milik Ratu Kupu-Kupu. Koala mengerjap-kerjapkan matanya, lalu kembali mengunyah ekaliptus yang tersisa di tangannya. “Apa kau tau apa yang membuatmu datang ke sini, wahai Ratu Kupu-Kupu?”
“Kami adalah kaum yang rasional. Kau telah memberikan informasi tak masuk akal kepada saudara kami. Hal itulah yang membuatku datang ke sini.”
“Kalau kau datang ke sini untuk menghukumku dengan memberiku serbuk bunga beracun, sepertinya harus kuperingatkan padamu bahwa sebenarnya ekaliptus-ekaliptus ini juga adalah racun bagi hewan lain. Sayangnya, kami para koala terlahir dengan perut yang anti racun,” kata Koala, “sekadar informasi agar kau tak kecewa.”
Ratu Kupu-Kupu pun terkekeh mendengar jawaban Koala. “Tidak, Koala,” jawab sang Ratu, “kami tidak membawa racun untukmu. Tidak hari ini. Kami ke sini karena ucapanmu sudah menjadi perbincangan di tempat asalku. Bagaimana mungkin ucapan dari seekor makluk darat sepertimu mampu membuat banyak hewan terpengaruh. Hal itulah yang mendorongku menemuimu, untuk berdialog langsung denganmu.”
“Kau tahu, wahai Ratu Kupu-Kupu,” kata Koala, “cerita tentang kedatanganmu ini telah melengkapi kisah-kisah yang kuingat di kepalaku.”
“Apa maksudmu?” kata sang Ratu Kupu-Kupu.
“Panda datang dengan keyakinannya. Kura-Kura datang dengan takdirnya. Kau, Ratu Kupu-Kupu, datang dengan keragu-raguanmu. Keyakinan, takdir, dan keragu-raguan. Tiga hal itulah yang telah menjaga kita tetap hidup. Selebihnya adalah misteri. Begitu juga kematian.”
“Biar kuberi sedikit pengetahuan tentang cara kami memandang kehidupan ini, wahai Koala,” kata Ratu Kupu-Kupu. “Tak ada misteri dalam hidup ini. Setiap hal yang kita alami adalah pola. Semua hal bisa dipelajari dan ditemukan intinya. Dan keyakinan, takdir, serta keragu-raguan, tak lebih dari semangat-semangat imajiner yang tak begitu berarti.”
“Apa kau tahu kapan kau akan meninggal?” kata Koala.
“Tentu tidak. Tetapi hal itu pasti terjadi suatu hari nanti. Ada kepastian dalam ketidakpastian itu, Koala.”
“Apa kau tahu mengapa kau dilahirkan sebagai ratu, sedangkan ribuan kupu-kupu lain terlahir sebagai prajurit?”
“Anomali,” jawab Ratu Kupu-Kupu, “inilah anugerah.”
“Kau benar, itulah anomali. Sebagian dari kita terlahir dengan sayap yang lebih besar dibanding yang lain. Sebagian dari kita terlahir dengan kaki-kaki yang lebih kuat dibanding yang lain. Tetapi hal itu tidaklah terjadi pada setiap kita, dan begitulah anomali bekerja. Pertanyaan utamanya adalah, mengapa kau yang terpilih, bukan saudaramu yang lain?”
“Bagaimana menurutmu?” kata Ratu Kupu-Kupu, “apa kau punya jawaban untuk itu?”
Misteri, wahai Ratu Kupu-Kupu. Itulah yang kusebut misteri. Keyakinan, takdir, dan keragu-raguan bisa menuntun kita dalam hidup, menggerakkan kita menuju arah-arah lain yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Namun, sebagian besar hidup ini diisi oleh misteri yang sama sekali tak berpola, bahkan tak mampu kita lihat bagaimana awal dan akhirnya. Kau tahu, Ratu Kupu-Kupu, mungkin kita terlalu yakin bahwa kita telah mengetahui kehidupan ini, sampai kita lupa untuk mengakui bahwa lebih banyak hal dalam hidup ini yang sama sekali tidak kita ketahui. Begitu juga kematian. Tak peduli bagaimana caramu memandang kematian, dengan keyakinan, takdir, atau keragu-raguan, kematian akan tetap ada di tempatnya sebagai sebuah misteri. Semakin banyak yang kita ketahui, semakin banyak yang tidak kita ketahui.”
Ratu Kupu-Kupu terbang dan hinggap di salah satu dahan dekat Koala bersandar. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab, “apa kau sedang mengakui bahwa sebenarnya kita tahu bahwa kita tidak tahu?”
“Kau memahami maksudku dengan baik, wahai Ratu Kupu-Kupu.”
Ratu Kupu-Kupu tak bisa berkata-kata lagi. Ia seperti tersadar dari mimpi. Angin berhembus meniup-niup sayapnya. Ia memandang hutan yang begitu luas, dan ternyata ada bagian di darat yang menyimpan hal-hal yang belum ia ketahui. Ia kira selama ini daratan cukup dipahami hanya dengan memandangnya dari atas. Ternyata, Koala telah menyadarkannya untuk melihat sesuatu dari berbagai sisi.
“Aku tak tahu harus berkata apa lagi, Koala. Kau benar,” kata Ratu Kupu-Kupu. “Ah, katakan padaku, apa yang kau inginkan? Kami punya serbuk paling manis di tempat kami. Kami bisa membaginya padamu jika kau mau.”
Koala terkekeh mendengar tawaran sang Ratu Kupu-Kupu. “Maaf, Ratu Kupu-Kupu,” kata Koala, “seperti yang kau tahu, perutku ini tahan racun, tapi aku tidak tahan makanan manis. Itu racun bagiku.”
“Katakan hal lain yang mungkin kau butuh. Peradaban maju yang kami bangun memiliki banyak hal yang mungkin bisa membantumu.”
“Aku ingin matahari,” jawab Koala.
“Matahari?”
“Iya. Aku ingin mendapatkan sinar matahari seperti sebelum kau datang ke sini. Sayap-sayapmu sudah menutupi matahariku, wahai Ratu Kupu-Kupu. Jika berkenan, tolong segera tinggalkan aku dan matahariku. Seperti yang kau tahu, aku butuh istirahat untuk menjaga kewarasanku.”
Ratu pun segera meninggalkan Koala sendirian di pohonnya. Di batas hutan, para prajurit siap mengiringi Ratu Kupu-Kupu untuk pulang ke tempat asal mereka. Dalam perjalanan, Ratu memikirkan banyak hal yang diucapkan si Koala.
***
Koala tersentak saat seekor kupu-kupu membangunkan tidurnya. Koala pikir ia akan dimintai keterangan lagi oleh sekawanan kupu-kupu seperti beberapa tahun lalu. Namun, kali ini yang membuatnya kaget bukanlah sekawanan kupu-kupu beserta ratu mereka. Koala kaget melihat kupu-kupu kecil itu berjalan dengan kakinya, dan sepertinya telah memotong sayapnya sendiri. Seekor kupu-kupu tak bersayap telah membangunkan Koala dari tidurnya.
“Aku telah mendengar banyak tentang Anda, Tuan Koala,” kata kupu-kupu kecil itu. “Ratu kami menceritakan kisah-kisah tentang Anda, tentang Tuan Panda, dan Tuan Kura-Kura.”
“Hei, bocah,” jawab Koala, sambil meregangkan tubuhnya. “Ada apa dengan sayapmu?”
“Ratu kami telah memberikan pilihan untuk hidup dengan ajaran-ajaran luhur yang kami sebut sebagai keyakinan, takdir, dan keragu-raguan. Sebagian dari kami memegang teguh ajaran keyakinan, sebagian lagi memilih takdir, dan yang lain memilih keragu-raguan untuk hidup mereka. Sayap telah membantu banyak dalam hidupku. Aku bisa terbang melihat banyak hal dari atas sana. Tetapi sayap juga memberikanku hasrat yang tak ada habisnya untuk terus merasa tinggi. Oleh karena itu, aku telah menentukan keyakinanku untuk belajar tentang kehidupan dengan cara meninggalkan hasrat-hasrat yang ada di diriku. Salah satunya adalah dengan meninggalkan sayapku.”
“Lantas, mau apa kau datang ke sini?” kata Koala sembari mencari posisi yang pas untuk bersandar.
“Aku datang untuk bertanya.”
TAMAT
Lumayan berat, but im really enjoy!
Thanks! 🌼
Saya datang dengan maksud tertentu, hendak bertanya.
Silakan bertanya… 😅✌️