Kak Farah menopang dagu di meja kasir. Dengan mata separuh terbuka, dia menguap lebar. Rasa kantuk memberati matanya. Tidak seperti biasanya, dia tidak tergoda menghampiri lahan kosong di samping toko rotinya. Untuk menghalau angut, dia mendorong tubuhnya berdiri. Dibukanya pintu agar angin segar masuk menyejukkan seantero seluk. Disibaknya pula tirai jendela, agar terik cahaya merambat di sela-sela terali. Setelah pencahayaan dalam ruangan tak lagi redup, seraya menjulurkan tangan dan menyandarkan pelipisnya di lengan, dia memejam dan menggumam di hadapan kipas listrik yang menyapa wajahnya dalam separuh putaran. Fuwaah.
“A-aku ro-ro-robot-bot-bot,” begitulah gaungnya.
Di depan jendela, tidak ada yang lewat, hanya rimbun pepohonan bergemerisik dengan suara yang samar, disusul gemerincing lonceng onthel, dan sesekali genta Gereja. Di sela senyap, cahaya melindap diredupkan awan. Derik tonggeret dan dering jangkrik yang mengendap di lembap siang menambah geming suasana. Kak Farah bangkit dan membuka-buka buku sketsanya untuk melukis pemandangan yang sudah ratusan kali dikekalkannya: bagian dalam toko roti; pemandangan di balik jendela; adiknya, Biru, yang entah di mana sekarang, tapi wajahnya sudah begitu dihapalnya.
Toko “Orange Cake Bakery” memang tidak besar, tetapi roti-rotinya yang lembut dan manis sudah terkenal di seantero kota. Ada jendela oriel di sebelah kanan dengan pot-pot bunga beraneka warna mengitarinya. Menu andalannya, seperti namanya, adalah roti berwarna oranye dengan selai jeruk kental yang lumer pada gigitan pertama. Lantainya dikeramik sewarna senja dengan motif pepagan. Udara di dalamnya beraroma manis, seperti campuran karamel, jeruk sunkist, dan susu. Kak Farah menyumbang beberapa kreasi kuenya di rak dan etalase. Namun, karena masih belajar, bentuknya tidak sesempurna buatan para pastry toko, yakni ibunya sendiri dan beberapa asisten yang sudah dikenalnya sejak masih sangat kecil. Kak Farah sering iseng melukisi bolu gulungnya dengan motif batik dan bunga. Karena keindahannya, beberapa karyanya lumayan digemari. Rasanya juga tidak buruk, empuknya pas, harumnya sanggup menghangatkan indra penciuman siapa pun. Hanya kurang manis.
Kak Farah juga suka menulis diary. Malah, mengabadikan momen-momen yang dialaminya sehari-hari telah menjadi tujuannya melukis. Dalam sebulan, dia menghabiskan dua sampai empat buku sketsa yang membaurkan mimpi-mimpi dan kenyataan. Dia memisahkan lukisan-lukisan yang disadurnya dari dongeng Paman Pendongeng. Karena Paman Pendongeng hanya mendongeng di sela libur sekolah, Farah hanya perlu satu buku per tahun untuk menggambar dongeng-dongengnya—dan sekarang sudah buku ketujuh. Berarti sudah tujuh tahun, ya?
Ada pula satu buku yang tidak menyisakan bekas selembar pun, karena setiap lembarnya selalu dipersembahkan kepada Nenek Penyair Desa.
Siapa sangka, Paman Pendongeng bukan satu-satunya dongeng hidup di kota kecil itu. Ada lagi yang lain, yakni Penyair Desa. Meski hobi menulis puisi, dia bukan penyair—setidaknya begitulah yang dikatakannya—melainkan pemilik perpustakaan kecil di bukit bambu pinggir kota. Dia mempunyai cucu bernama Elvira yang dipanggilnya ‘Peri’.
Langit di sekitar rumahnya tertutup dahan-dahan berdaun lebar dan anginnya beraroma sejuk bambu. Nenek membangunnya dengan menghabiskan sebagian tabungan masa mudanya—sebagian lagi dibiarkannya berbunga di deposito. Sudah lama Nenek bermimpi mempunyai perpustakaan di kaki gunung, di hutan yang hijau bestari, siapa sangka baru pada usia senja dia sanggup mewujudkannya. Di seberang rumahnya, ada railing besi yang menghadap tegalan.
Penyair Desa tidak memagari rumahnya. Alih-alih, dia justru membangun setapak untuk menyambut siapa pun yang ingin mengunjunginya. Di kiri dan kanan, terangkai kebun yang ditumbuhi bunga-bunga pusparona, dilengkapi bangku kayu berkanopi yang menyerupai halte. Di samping bangku, ada kotak pos merah tua. Di sanalah biasanya Kak Farah meletakkan gambarnya yang tidak dibungkus apa-apa.
Tidak ada janji. Kak Farah dan Penyair Desa hanya bertukar lukisan dan sajak tanpa menentukan kapan dan bagaimana. Setiap Kak Farah memasukkan lukisannya dalam kotak surat, selalu ada sehelai puisi yang menantinya, terlipat dalam origami yang membentuk burung-burung dan serangga hutan—bangau, jangkrik, hingga kumbang. Tidak pernah tidak. Dan sesekali, Penyair Desa mengundangnya meminum teh di rumahnya. Di mata Kak Farah, di usianya yang sudah tak lagi muda, Penyair Desa masih terlihat cantik. Umurnya mungkin sepantaran Paman Pendongeng. Sudah nenek-nenek.
Bukit Bambu, begitulah desa tempat Penyair Desa tinggal. Jaraknya cukup jauh dari toko roti Kak Farah, apalagi jika ditempuh dengan sepeda. Kita bisa saja mencapainya dengan mengitari permukiman di dekat situ, tapi jalan terdekatnya memang harus menembus perumahan baru di dekat pasar buah Ranumsari.
Seraya membayangkan Penyair Desa, Kak Farah memikirkan apa yang hendak dilukisnya, tapi lalu menyerahkan segalanya pada pensilnya saja. Biarkan insting bekerja. Dan benar saja, tangannya langsung menentukan apa yang ingin dikekalkannya, tanpa perlu banyak berpikir. Dengan lincah, dia menyapukan ujung kelabu pensilnya pada selembar kertas putih dan mengembuskan nyawa melalui medium garis dan warna. Dia penasaran, seperti apa hasil akhirnya. Tanpa sadar, senyum semingrah tergurat di wajahnya. Diusapnya keringat di kening sebelum jatuh. Di permukaan kertas, perlahan-lahan mewujud seekor kucing dan dua bayinya. Biru dan Elaina membawanya pagi tadi dan dia mengenal salah satunya sebagai Cing, kucing Chan.
Setelah memberinya judul, Kak Farah merasakan keberadaan seseorang di belakangnya. Dia, secara refleks, langsung menyembunyikan gambarnya.
“Mama! Jangan ngagetin, dong!”
“Kamu lagi asyik menggambar, Mama mana berani ganggu.” Mama berjalan menyusuri ruangan, membuka satu bungkus roti, dan menyantapnya. “Kamu kok enggak pernah menggambar mama—atau papa? Padahal sering menggambar adikmu.”
Kata siapa?
“Pernah, kok. Mama sering mengintip gambarku. Masa enggak pernah lihat?”
“Betul?”
“Iya.”
“Coba sekarang buktikan.”
“Sebentar.”
Kak Farah segera mengayunkan jemarinya seraya mengerutkan kening. Dia mengangkat pensil dan mengapitnya dengan jempol. Dengan saksama, dia memejamkan sebelah matanya, lalu mengukur skala dengan tangan kanan dan kirinya. Setelah menemukan sudut yang pas, dia menorehkan ujung pensilnya di permukaan kertas. Setelah bermenit-menit bertekun, dia menyerahkan hasilnya kepada Mama dengan sorot mata bangga. Mamanya menerima dengan tak sabar—senyap—membalik kertasnya dan memperlihatkannya kepada Kak Farah—senyap—lalu mendelik kesal saat gambar simpanse, lengkap dengan pisangnya, menghadap putri sulungnya.
“Fa-rah. Ini. Apa?”
“Kerabat dekat kita, Ma,” katanya, seraya berlari menuju pintu dan mengayuh sepedanya lincah—sangat lincah—menghindari terkaman mamanya yang tidak dapat menyembunyikan tawa dan kesal.
“Gantikan jaga ya, Ma! Aku mau main!”
“Tak hih kamu nanti!”
Untuk mencapai rumah Penyair Desa, Kak Farah selalu memilih jalan perdesaan yang dipenuhi rimbun pepohonan, bukan perumahan kelabu dengan bangunan-bangunan yang masih setengah rampung. Karena angin yang tenang seolah tak henti-hentinya bertiup, dia nyaris tidak berkeringat meski harus melewati jalan yang sedikit menanjak. Mega bergumpal-gumpal dan daun-daun merindangkan perjalanannya. Dia melambatkan kayuh saat melewati tikungan. Meskipun jarang, adakalanya sepeda lain dan tukang sayur merintangi jalannya. Dia membunyikan lonceng ketika berpapasan dengan seseorang yang dikenalnya.
Ketika rumah-rumah mulai jarang, dia sampai di dataran berumput hijau yang ditumbuhi bambu-bambu yang melengkung membentuk separuh terowongan dan pohon-pohon ketapang yang daun-daunnya berguguran belum disapu. Di suatu sudutnya, tersembunyi bangunan yang seolah menyatu dengan alam sekitar. Ketika Kak Farah mencapainya, dia segera menghampiri kotak pos. Benar saja, di dalamnya ada selembar kertas, terlipat rapi dalam origami bangau. Dia semingrah saat mengambilnya, lantas menaruh secarik lukisan di ceruk kotak. Ketika dia hendak menaiki sepedanya, pintu terbuka. Gadis remaja secantik peri memandang Kak Farah dengan senyum jenaka.
“Hai, Farah. Kenapa buru-buru? Tidak mau mampir?”
“Boleh, Kak Peri?”
“Tentu saja. Tapi, karena Nenek lagi berbelanja di kota, hanya ada aku di rumah—dan secangkir kopi kalau kamu mau.”
“Mau!”
Kak Farah melewati pintu mengikuti empunya rumah. Permisi, bisiknya, nyaris tak terdengar, karena terpengaruh suasana sunyi di sisi rimba. Namun, ruangan di dalamnya ternyata tidak terlalu sepi. Ada beberapa pengunjung yang tekun menghadap meja baca.
Perpustakaan Bambu terlihat lebih kecil dibandingkan bambu-bambu kekar dan pohon besar yang mengepung di sisi kiri, kanan, dan belakangnya. Namun, bagian dalamnya ternyata cukup luas. Peri—aku sengaja menyebutnya dengan nama saja, tanpa ‘Kak’ meski usianya lebih tua dibandingkan Kak Farah—membuka jendela dan membiarkan harum hutan memasuki ruangan, bercampur dengan aroma buku dan bunga-bunga yang menghias setiap sudut. Sementara Peri menjerang air di dapur, Kak Farah bangkit dan menyusuri rak-rak pustaka, lalu mengambil sebuah buku dan membukanya. The Little Prince, karya Antoine de Saint-Exupery. Buku favoritnya. Di rumahnya sendiri, papanya mengoleksi beberapa ragamnya. Ada yang kecil dan besar, ada yang tebal dan tipis, meski isinya sama saja. Namun, tak ada yang mampu mengalahkan Pangeran Kecil yang disimpan di Perpustakaan Bambu, karena pada halaman kosongnya, ada lukisan yang ditorehkan entah oleh siapa. Nama pemilik lamanya memang tertulis di halaman depan dengan pena yang tegas dan tanggal yang menunjukkan sebuah tahun yang jauh, tapi Kak Farah yakin dia bukanlah satu-satunya pemilik. Buku yang sekarang dia genggam dan sibak halamannya, pasti sudah melewati perjalanan seperti yang dialami Pangeran Kecil sendiri.
Sudahkah kauberhasil mencapai Asteroid B-612? pikir Kak Farah, seraya melamunkan salah satu gambar lain yang ditorehkan dengan pensil. Bertahun-tahun lalu, nenek ‘Penyair Desa’ memangku dan memintanya melukis Pangeran Kecil versinya sendiri di sudut kosong halaman—yang sekarang dilihatnya dengan penuh haru. Sudah pudar dan hampir terhapus, tapi masih sangat dikenalnya, karena kenangan yang tersimpan di setiap garisnya masih begitu tegas di hatinya. Sepertinya belum, kau harus berkelana sedikit lebih lama sebelum pulang. Kak Farah tersenyum dan membaca halaman demi halaman yang sudah begitu dihapalnya dengan penuh nostalgia, bahkan di umurnya yang masih sangat muda. Hanya dengan hati orang bisa melihat dengan jelas. Yang penting adalah apa yang tidak terlihat oleh mata. Dia membaca sepatah kalimat yang sangat disukainya. Dulu, dia tidak mengetahui maknanya, hanya saja terasa dalam ketika direnungkan, tapi rasanya sekarang dia mulai memahaminya, meskipun sedikit.
Kak Farah menyapu ruangan dengan matanya. Lemari-lemari pustaka berjejer rapi di kiri, tengah, dan kanannya. Buku-buku yang tersusun di sela rak pasti telah lebih dulu berkelana ke banyak tempat sebelum singgah sejenak di sini. Beberapa di antaranya, mungkin berhasil menyentuh hati pembacanya dan meninggalkan bekas abadi dalam kenangan. Beberapa barangkali mengubah hidup pembacanya. Dia bangkit dan berjalan menyusuri koridor pustaka. Ketika menelisik judul-judul buku dengan ujung telunjuk, adakalanya perasaan hangat terbit di dadanya. Perjalanan macam apa yang kalian lewati yang tidak aku ketahui?
Harum kopi membuatnya menoleh. Di sisi belakang, Peri melambai-lambai dan mengajak tamunya memasuki ruang keluarga, lalu menaruh nampan berisi dua cangkir—kopi dan teh—serta sepiring kukis yang masih mengepul di meja. Kak Farah sempat heran kenapa menyeduh teh saja lama sekali, tapi ternyata Peri juga membuat kue-kue kering sebagai teman minum.
Setelahnya, tidak ada yang memulai percakapan, karena memang tidak perlu. Geming yang ditimbulkan sayap-sayap serangga, serta kicau burung yang jauh, membuat Kak Farah memejamkan mata dan menera-nera, rahasia apa yang dibisikkan daun-daun kepada angin yang membelai rambutnya. Dongeng-dongeng seperti apa yang tersembunyi dalam sejuknya?
“Dulu,” Kak Farah mendengar suara Peri. Punggungnya langsung tegap dan telinganya bersiap mendengar cerita.
Peri menerawang jauh, menembus barisan bambu di seberang jendela dan melanjutkan ceritanya.
Kamu tahu, bukan—sekalipun bersahaja, bagian dalam rimba di dekat kita lumayan luas. Kita sering melewatinya bersama Biru dan Kuning—menyusuri jalur setapak yang sudah terbentuk karena berkali-kali dilewati. Nah, dulu, saat usianya belum lagi dua belas, nenek tersesat di hutan karena mencoba menjelajahinya. Ternyata, semakin dalam dia mengayunkan langkah, langit semakin redup. Udaranya pun bertambah pekat. Hutan yang semula hanya berisi bambu, mulai dipadati pohon-pohon tinggi yang puncaknya tak terlihat. Bayangkan, jika kita bergandeng tangan, kedua lengan kita masih belum mampu memeluk seperempatnya.
Lalu, setelah lelah berjalan, sampailah nenek di suatu titik, ketika semua suara mendadak lesap, seperti terisap dalam ruang kedap. Dalam naungan sebatang pohon, nenek duduk memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya, dan menangis. Semula tangisnya begitu keras dan menggema di seantero rimba, tapi lama-lama hanya menyisakan isak yang semakin pelan dan tak terdengar. Percuma menghabiskan air mata, pikirnya, tiada seorang pun yang lewat, apalagi melihatku. Hanya kepak sayap serangga, menebang senyap sia-sia dalam belantara kelam.
Dia pun bersandar pada sebatang pohon besar dan mengelus perutnya yang lapar, dahaganya sudah tak terbendung lagi. Hampir saja dia pingsan dan menyerah. Namun, saat sudah putus harapan, dia mendengar bunyi nan asing, tetapi akrab.
Klotek-klotek-klotek. Begitu suaranya.
Dia melihat sekitar, mencari muasalnya, tapi tak ada apa pun, selain pepohonan kekar yang membentang sejauh mata memandang, juga cahaya rembulan yang pucat di sela dedaunan. Karena letih, dia bersandar pada sebatang pohon yang sudah mati karena ditebang. Aksara usia tertulis di batangnya.
Ketika hampir terlelap, dia terkejut, di dekat kakinya, berdiri sosok mungil yang memandangnya dengan penasaran—besarnya segini (Peri membuka kedua tangannya, dan memberi jeda sekitar 30 sentimeter). Dia hanya memiliki tiga buah titik hitam pada wajahnya, membentuk dua lubang mata, dan satu mulut yang selalu melongo. Begini (Peri membuka mulutnya lebar-lebar membentuk huruf O). Saat si makhluk memalingkan wajahnya, semakin deraslah suara asing tersebut—klotek, klotek klotek klotek, klotek klotek klotek klotek. Oh, ia juga memakai topi hijau yang sepertinya terbuat dari daun.
Makhluk itu tidak bicara, hanya sesekali bibirnya melebar—huruf O besar pada mulutnya, berubah jadi lonjong dan membentuk seringai yang sisi-sisinya tumpul. Nenek ketakutan melihatnya.
Semakin jauh rembulan berlayar, semakin banyak pula makhluk serupa yang muncul. Dalam sekejap segenap hutan dipenuhi sosok yang kelak nenek sebut ‘Roh Pohon’.
Roh Pohon yang pertama kali muncul di hadapan nenek memandangnya lama sekali. Seolah protes karena nenek tidak bergerak, dia menggoyang-goyangkan kepalanya dengan heboh. Seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika melakukannya.
Nenek jadi tahu asal muasal bunyi klotek klotek klotek klotek yang semenjak tadi menyapa telinganya. Karena lucu, rasa takut yang sempat mengendap di benak nenek menghilang begitu saja. Perlahan, mengikuti langkah ‘Roh Pohon’ yang berbaris mengular menuju entah, roh yang berada di dekat nenek juga ikut berjalan menjauh, tepi kepalanya tetap menghadap nenek dengan mata tajam menyelidik. Dia berjalan mundur!
Merasa terpanggil, nenek mengikutinya.
Ada kalanya nenek seakan mendengar nyanyian sayup-sayup dengan bahasa yang tak dia mengerti. Dia pun terlena dengan segaris senyum tipis tersungging di bibirnya.
Ada kalanya, rembulan yang melambai-lambai di balik pepohonan, seolah bersinar juga di hatinya. Dia pun tak lagi merasakan lapar-dahaga, sebab di dadanya purnama terlelap.
Namun, alih-alih bertambah dekat, nenek justru merasa semakin tersesat karena pohon-pohon di sekelilingnya merapat begitu dekat, aromanya juga sudah lain dan berbeda. Dia seperti tak merasakan waktu berdetak dan dunianya tak lagi sama seperti yang beberapa jenak lalu masih dia huni.
Takut, juga ragu, karena tak ada lagi yang mampu dia lakukan, dia melanjutkan perjalanan dan mengikuti Roh Pohon yang berhenti sejenak—menunggunya.
Hanya bermodalkan rembulan yang teriknya membentuk jalur lurus di setapak, nenek mengikuti para Roh dengan langkah perlahan. Dia seperti sudah berjalan berjam-jam, tapi purnama seolah tak pernah bertambah tinggi maupun rendah. Tetap di tempatnya semula. Detik seolah menolak jatuh, dan detak enggan bergerak.
Di ujung hutan, dia tiba pada sebuah padang yang sudah sangat tua. Di sekitarnya, ada reruntuhan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Sepertinya bekas kota yang sudah ditinggalkan jauh sebelum segala yang purba menjadi debu-debu sejarah. Selebihnya, hanya lapangan rumput yang sangat-sangat-sangat luas (Peri membentangkan tangannya lebar sekali). Cahaya bulan menerangi ruang terbuka di salah satu sudut, seperti lampu pada langit-langit kamar. Di sanalah para Roh berkumpul dan memandang nenek. Nenek berjalan mundur, ketakutan.
Di ujung lapangan, ada danau yang tidak begitu lebar. Namun, airnya bening sehingga dasarnya dapat kaulihat—begitu hijau dengan rerumputan kecil menari seiring riak. Batu-batu sebesar domba menonjol di sana-sini. Roh Pohon yang tadi menuntunnya, berjalan menuju danau, lalu menatap nenek. Kakinya berkecipak-kecipak mencipratkan air, tetapi wajahnya masih menghadap belakang. Jika dibayangkan, sepertinya seram sekali, namun nenek malah tersenyum jenaka.
Samar dalam kepala nenek, bergema sebuah kata, ‘Seberangilah.’
Nenek, entah kenapa, menurutinya.
Dia lompati dulu batu-batu sebesar domba di sisi-sisinya, lalu menyusuri tanah berumput selebar beberapa langkah. Kakinya geli merasakan tajamnya bulir. Dia mencoba mencelupkan kaki kanannya. Segar! Lalu menceburkan kaki kirinya jua. Nenek mulai berjalan perlahan-lahan, takut dan ragu. Tak disangka, sekalipun terkesan dalam, ternyata danaunya dangkal saja—hanya selutut anak kecil. Malang, belum lama berjalan, nenek tersandung, padahal tak ada sebutirpun batu di dasarnya—byur!
Di dasar danau, tumbuh banyak sekali daun semanggi. Dan—nenek mengatakannya dengan nada gembira, semuanya berhelai empat. Nenek mencoba memetiknya satu, tapi sia-sia. Dia seperti berusaha menyentuh benda di gambar tiga dimensi.
Gaduh suara klotek-klotek-klotek-klotek menyadarkannya lagi. Semua Roh Pohon melihatnya sambil geleng-geleng kepala.
Nenek melanjutkan langkah.
Ternyata di seberang danau, ada barisan bambu yang rapat, tempat yang tadi tak terlihat karena terhalang kabut tebal. Dia mencari celah di antara batang-batang bambu, lalu mencoba menerobosnya.
Saat berhasil melewatinya, sampailah dia di seberang rumahnya sendiri.
Dia menoleh. Hutan bambu yang seharusnya ada di sana, sudah digantikan birai yang menghadap pemandangan kota.
Peri mengakhiri ceritanya dan meminta tamunya mencicipi kukis buatannya. Kak Farah mengambilnya sebuah dan menyesap kopinya yang sedikit terlalu manis. Karena hari sudah beranjak sore—dan pasti Biru sudah menunggu di toko, dia pamit. Peri mengantarnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Kak Farah segera mengayuh sepedanya dan menjauh.
“Bye-bye, Kak!”
“Bye, Farah,” Peri setengah berteriak karena Kak Farah sudah cukup jauh. Lalu, dengan langkah-langkah ringan, dia kembali memasuki ruangan dengan tangan di belakang.
Ketika mencapai kota, Kak Farah berhenti sejenak karena teringat selembar puisi yang ditinggalkan Penyair Desa—nenekda Peri. Ternyata isinya hanya sebait. Dia membacanya dalam hati.
Seperti cahaya
mengecup lembut matamu
aku ingin jadi mata
bagi hatimu.
Kak Farah tersenyum. Dia melipatnya lagi dan melanjutkan perjalanan.
***
Editor: Ghufroni An’ars