emas doyan hutan doyan
kursi doyan nyawa doyan
luar biasa
tanah air digadaikan
masa depan rakyat digelapkan
dijadikan jaminan utang
(Wiji Thukul dalam sajak Momok Hiyong)
Ketika petani desa Wadas berjibaku mempertahankan sawah dan ladangnya dari ancaman penambangan batuan andesit untuk menyokong proyek pembangunan Bendungan Bener di Purworejo; di mana suara Gubernur Jawa Tengah yang mendaku sebagai ‘Marhaen’? Berada di garda depan bersama warga Wadas atau malah menyokong proyek penambangan batuan andesit di Wadas?
Ketika petani desa Wadas dipukuli dan ditembaki gas air mata di desanya sendiri demi menjaga tanah kelahirannya, dan berujung 11 orang digelandang ke Polres Purworejo; di mana advokasi dan demonstrasi “Wadas Melawan” dari petugas partai yang mendaku sebagai ‘Marhaen’? Malah membela si tukang gebuk atau berpihak ke rakyat?
Begitu kira-kira pertanyaan yang muncul setelah saya rampung menonton film dokumenter Wadas Waras di kanal YouTube Watchdoc Documentary.
Baca juga Menuai Badai di Pantura
Desa Wadas letaknya persis di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Desa itu yang bakal ditambang, bakal diambil batuan andesit-nya untuk menyokong pembangunan bendungan Bener. Padahal, bukit yang bakal diledakkan sudah menopang kehidupan warga desa yang mayoritas bertani.
Penambangan itu mendapat persetujuan pemerintah bahkan ketika izinnya sudah habis malah terus diperpanjang. Terbukti dari adanya Pembaharuan Izin Penetapan Lokasi (IPL) Penambanganan Batuan Andesit di Desa Wadas yang diteken langsung oleh Gubernur Jateng setelah masa berlakunya habis pada Juni 2021.
Dalam film dokumenter Wadas Waras ditunjukkan bagaimana semangat ‘Guru (Pembangunan) Revolusi’ ada dalam setiap jiwa petani di desa Wadas. Warga Wadas yang petani seperti Ngatinah, Khamim, dan Bustomi lebih mencerminkan jati diri seorang Marhaen daripada pejabat yang mengaku sebagai Marhaen. Warga desa menerapkan ide, narasi, dan laku berfikir Soekarno melalui Marhaenismenya, dengan memiliki sebidang tanah kemudian menggarap sendiri, alatnya pun milik sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya.
“Kalau menurut saya orang Wadas malah nggak punya kerjaan (kalau hutan ditambang), habis pekerjaanya itu, kalau ada pertambangan malah orang Wadas bisa kekurangan pangan, malah bisa kekeringan, lah, nggak bisa makan. Masak orang Wadas sudah subur makmur malah kita disuruh (kerja) buruh sama orang luar,” kata warga perempuan Wadas, perempuan paruh baya, Ngatinah.
Baca juga Hutan Dibabat, Pangan Terancam
Ucapan Ngatinah, terkonfirmasi oleh data. Komoditas pertanian Desa Wadas yang menopang kehidupan di antaranya, cengkeh 64,4 juta/tahun, kapulaga 156 juta/bulan, kemukus 1,35 miliar/tahun, durian 1,24 miliar/tahun, cabai 75,6 juta/bulan, kelapa 707 juta/bulan, pisang 202,1 juta/bulan, aren 2,6 miliar/hari, petai 241,3/tahun, vanili 266,5 juta/tahun, karet 131,8 juta/hari, jati 1,173 miliar/5 tahun, keling 258 juta/5 tahun, akasia 45,7 juta/5 tahun, mahoni 1,56 miliar/5 tahun, dan sengon 2,09 miliar/5 tahun.
Angka di atas belum semuanya, masih ada bambu yang secara kreatif diolah oleh Wadon Wadas menjadi besek. Jika kalian datang ke Wadas, kalian bakal menemukan rumah panggung kecil berukuran kira-kira 30cmX15cm. Di dalam rumah kecil itulah ada kehidupan lebah/tawon klanceng yang secara kreatif juga diolah warga Wadas menjadi Madu Klanceng Wadas.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan sapi, warga Wadas tidak perlu pergi keluar desa. Ya, cukup ke belakang rumah mengambil rerumputan di hutan dan semua sudah beres. Keuntungan warga dalam beternak ini belum masuk hitung-hitungan penghasilan warga Wadas dalam film Wadas Waras. Jika juga sebutkan, makin semakin kelihatan kehidupan warga Wadas yang sudah sejahtera berkat kemandirian mengolah sumber daya pangan.
Baca juga Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal
Soal air, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta menyebutkan penambangan batuan andesit di desa Wadas mengancam keberadaan sumber mata air untuk penghidupan masyarakat. Sebab, dalam rencana kegiatannya, penambangan bakal dilakukan dengan menggunakan peledakan dinamit (blasting) yang akan menyebabkan getaran yang cukup besar dengan jangkauan 300 meter. Sehingga, sangat berpotensi mengganggu kelestarian sumber mata air di Desa Wadas dan memicu penurunan kualitas air terutama untuk parameter kekeruhan air.
Padahal, sekarang ini warga Wadas sudah menikmati akses air tanpa ada gangguan. Tanpa mengeluarkan biaya jual beli kecuali hanya biaya untuk perawatan. Warga Wadas memanfaatkan kecukupan sumber daya air alam desa Wadas untuk kebutuhan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mandi, minum, BAB, dan kebersihan. Melimpahnya air juga dimanfaatkan untuk kepentingan peternakan warga, perkebunan, kolam ikan, dan pertanian dengan total kurang lebih 281 kepala keluarga memanfaatkan sumber daya air di desa Wadas.
Kini, warga Wadas terancam sumber kehidupannya hilang, bakal dibabat dan ditambang untuk pembangunan bendungan. Hutan-hutan penghasil komoditas pertanian di Desa Wadas bakal dijadikan objek wisata.
Untuk memenuhi bahan material Bendungan Bener, desa Wadas akan menjadi objek penambangan batuan andesit sebesar 8,5 juta meter kubik. Dari 400 hektare area Wadas, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) selaku pemrakarsa pembangunan Bendungan Bener akan membebaskan 114 hektare lahan Desa Wadas yang meliputi tujuh dusun. Dari 114 hektar akan ada 64 hektar yang ditambang.
Lalu, bagaimana sikap warga mayoritas di tujuh dusun tersebut? Jawabannya; mayoritas menolak!
One Reply to “Perlawanan Marhaen di Desa Wadas”