Aku ingin jujur kepadamu. Setiap kali kau memintaku tidur karena begadang tidak baik bagi kesehatan, aku selalu membayangkan Bang Rhoma menyanyi lagu legendaris itu.
Ketika aku pamit tidur, sebenarnya aku selalu terjaga lebih lama dari kemarin, dan bukannya aku ingin berbohong kepadamu, tapi tidur, bagiku seperti nyamuk yang gesit di hari hujan, dan butuh waktu lama untuk aku menangkapnya jika bukan karena tak disengaja. Padahal aku selalu membanggakan diri padamu bahwa aku bisa tidur 24 jam dalam sehari tanpa merasa lelah dan menyesal ketika terbangun.
Bukankah para penghuni gua di kitab suci yang sesekali kita baca itu tidur ratusan tahun, dan esoknya para penguasa lalim telah mati, sama seperti anjing mereka yang menjaga pintu gua, dan mereka merasa semua itu hanya butuh waktu semalam. Sementara hari ini perang terus membara dan tidak ada satu pun dari orang-orang kecil itu yang sanggup tidur tenang, mungkin tidak juga kita. Seorang wartawan ditembak mati dan orang-orang yang mengiringi jenazahnya ke liang kubur dipukuli oleh para penjajah. Lihatlah, hari ini mati pun bukan berarti tidur yang tenang di sisi-Nya.
Mengapa kisah-kisah ajaib hanya terjadi di masa lalu? Dan mengapa Tuhan berhenti berbicara dengan kita semenjak rasul-Nya mati? Tahukah kamu, pikiran-pikiran itulah yang membuatku tetap terjaga setelah berpamitan tidur dan meninggalkanmu, dengan perasaan bersalah tiap kali memikirkannya.
Yang membuatku merasa lega hanyalah keyakinanku, bahwa kau telah tertidur lelap jauh di sana, ketika perang di kepalaku mulai menyala.
Aku selalu suka tidur, tapi aku membenci jalanku menuju ke sana. Sepertinya aku belum sempat bercerita kepadamu, ketika sekolah dasar, teman-teman sekelasku pernah merayakan hari libur dengan pergi ke kolam renang yang baru dibuka di kota.
Kami berlomba mencapai sisi-sisi kolam untuk orang dewasa sedalam 2 meter, dan aku tak pernah menyentuh sisi satunya karena tenggelam di pertengahan jalan. Sejak itu aku baru menyadari, bahwa aku tak bisa berenang. Tubuh kecilku bergoyang hebat seperti ikan sial yang tersambar kail pancing: usaha menyelamatkan diri yang sia-sia belaka.
Itulah, Sayang, jika kamu tak mahir berenang dan tenggelam, jangan berusaha untuk mencapai permukaan. Jatuhkan saja tubuhmu jauh ke dasar dan tunggu kematian mengangkatmu naik perlahan seperti ubur-ubur. Namun, aku masih kecil waktu itu, dan aku masih takut mati. Aku seperti burung kecil yang baru lahir tanpa bulu, tapi tak kutemukan indukku di sana.
Aku berhenti berusaha ketika napasku terkuras habis dan kelelahan. Entah berapa liter air berkaporit memaksa masuk dari hidungku, dan aku melihat langit seperti berlapis-lapis, permukaan sangat jauh rasanya meski hanya berjarak sekilan, ingatanku mulai kabur dan tiba-tiba kutemukan badanku terkapar di pinggiran kolam renang dengan napas naik-turun dan muka memerah.
Aku masih hidup sampai sekarang, tapi aku selalu mengingat perasaan itu menjelang tidur. Setiap memejamkan mata dan berusaha pergi ke alam sana, aku merasa tenggelam. Aku toh tetap akan melupakannya besok pagi, tapi itu tetap terasa menyakitkan.
Mengapa tidur begitu susah, sih? Aku iri dengan para tentara yang katanya bisa tidur hanya dengan membayangkan tubuh mereka terapung di atas perahu di sebuah danau yang tenang. Aku pernah mencoba cara itu, tapi berakhir dengan bayanganku sedang memancing sendirian seperti lelaki tua yang delapan puluh empat hari tak kunjung dapat ikan. Itu akan berbeda jika aku benar-benar berada di atas perahu, karena aku dengan mudah pulas ketika naik kendaraan.
Aku pernah naik kereta dari bandara menuju rumah temanku setelah delapan jam perjalanan di atas awan. Aku terbangun dan melewati dua stasiun dari tempat temanku sebelum berhenti di kota berikutnya.
Aku meyakinkan diriku berkali-kali. Hei tolol, jangan ulangi kesalahanmu, hanya tikus got yang tak pernah belajar dari kesalahan. Setelah meratap beberapa menit, aku membeli tiket balik ke rumah temanku, dan tololnya aku kembali terbangun di bandara.
Tuhan memang tak pernah berhenti bercanda. Dia seperti menyuruhku untuk selalu bepergian tiap kali ingin tidur. Tentu saja aku merasa itu sungguh cara yang boros untuk mengistirahatkan badan dan pikiran.
Andai saja kamu ada di sini, kita tinggal bercinta dan setelahnya tak ada yang tersisa, selain tidur sampai pagi. Aku tak ingin kutukan susah tidur ini juga menimpamu, maka aku mulai belajar mendongeng, dan itu tak pernah mudah.
Kita belum pernah jadi orangtua, Sayang. Sejak dulu aku percaya kemampuan mendongeng itu hanya dimiliki orangtua atau siapa pun yang merasa betah mengasuh anak lama-lama. Aku merasa mereka lucu dan menggemaskan, tapi aku tak pernah sanggup bertahan lebih dari setengah jam bermain bersama mereka.
Jika bermain adalah pekerjaan elit yang digaji besar, tentu anak-anak akan menguasai setengah aset kekayaan di dunia, dan orangtua mereka tak perlu lagi sibuk memikirkan mau mewariskan apa. Anak-anak itu akan jadi Qarun dan butuh azab dari Tuhan untuk melenyapkan semua harta mereka.
Aku mulai sering meracau tanpa ujung seperti ini sejak memutuskan belajar mendongeng, karena dongeng yang kupelajari dari ibuku hanya akan berakhir setelah yang mendengarnya tertidur.
Aku ingin mendongengkanmu dengan keyakinan seperti itu. Dan seperti orang yang tak mahir berenang, pendongeng yang buruk baru benar-benar sadar tak mampu mendongeng ketika pendengarnya memutuskan tak lagi mendengarkan. Ia tidur karena bosan dan kelelahan, seperti anak kelas enam ketiduran membaca buku latihan soal ujian.
Aku yakin mendongeng tak hanya butuh cerita yang bagus, tapi juga pendongeng yang bagus. Tak kurang-kurang cerita bagus dari buku-buku yang kubaca, tapi cerita bagus di tangan pendongeng yang buruk membuat pendengarnya malah enggan membaca buku itu, dan akan berdampak buruk pada pamor sang penulis.
Kamu mungkin tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau pendongeng yang buruk dapat mempengaruhi penjualan di toko buku hingga mempertaruhkan nama baik seseorang, dan sekarang kamu tahu. Itulah mengapa aku berhenti mengambil cerita dari buku-buku, karena aku pendongeng yang buruk.
Terakhir kali aku mendongengkan kisah Baltazar si Beruang Kutub, ia berubah dari beruang berpikiran bebas menjadi hanya beruang di kebun binatang yang kehilangan gairah hidup. Setelah malam itu, tiap kali pekerjaanmu menumpuk dan harus dibawa pulang, kamu selalu bilang, “aku tak ingin jadi seperti Buldozer yang malang.”
Berkali-kali aku harus meralat keluhanmu, namanya Baltazar, Baltazar. Dongengku yang buruk bukan hanya mengubah nasib seekor beruang, tapi juga namanya. Aku merasa kasihan dengan semesta yang diciptakan sang pengarang.
Beberapa malam ini kutukan susah tidurku kian akut, tiap mencoba memejam, gambar-gambar di kepalaku malah semakin kentara, segala berita yang kubaca hari itu menjelma tiap malam seperti tiga jam durasi film Bollywood.
Seekor ular bertapa di bawah mobil dan kabur ke selokan sebelum dijembut dua mobil damkar. Dua mobil dan delapan orang diturunkan hanya untuk menangkap seekor ular yang tidak ada manusia di perutnya. Seorang tukang kulit menyarankan merendam sepatu boots dalam air hangat, mengangin-anginkannya sampai lembap, lalu memakainya berjalan setengah jam untuk membuatnya melekat pas di kaki. Aku akan menerapkan cara itu lain kali membeli sepatu kulit, dan aku yakin itu akan berhasil. Tapi mengapa panduan tidur cepat tak pernah ada yang mujarab?
Mungkin aku harus merendam kepalaku di air hangat dan mengeringkannya sampai lembap. Terkadang cara yang kelihatan tak masuk akal justru paling sering berhasil. Dulu ketika kecil dan tubuhku demam, Bapak selalu menyuruhku masuk di ketiaknya agar panasku menurun. Aku selalu menurut dan merasa kulitku semakin menghangat, tapi aku juga selalu merasa lebih baik. Sayang Bapak tak pernah mengajariku cara tidur cepat, atau bagaimana mendongeng yang baik.
Sebelas malam terakhir aku memikirkan dongeng apa yang akan aku ceritakan kepadamu pada Sabtu malam nanti. Aku mungkin pendongeng yang buruk, tapi aku tak ingin menceritakan dongeng yang buruk dan memberimu kesialan lain setelah lima hari bekerja di kantor yang kaku. Kurang dua malam lagi, dan dongengku sudah menemukan beberapa tokohnya.
Kita memang tak bisa mengatur seluruh dunia dalam genggaman kita, Sayang. Tapi setidaknya aku bisa mengatur semesta yang kuciptakan dalam dongeng ini, dan kuperingatkan lagi, aku tak akan mengasihani siapa pun.
Dalam semesta ini ada tiga belas orang sial berkumpul di satu meja, bukan untuk membahas ekonomi dunia, perang memperebutkan tanah yang dijanjikan, atau orang-orang hilang yang tak kunjung pulang.
Mereka bertiga belas berkumpul pada hari Jumat yang sial, lalu saling menceritakan dan mendengarkan kesialan-kesialan besar atau kecil yang mereka dapatkan sepanjang minggu.
Mereka bertiga belas merasa hidup seperti kuning telur yang dikelilingi berbagai kesialan sebelum mati. Dan seperti mengolok-olok hidup mereka sendiri, mereka menamakan perkumpulan itu dengan angka yang dianggap sebagai simbol kesialan: Perkumpulan Tiga Belas.
Anggota Perkumpulan Tiga Belas rutin berkumpul setiap Jumat, tepat pukul 13.00, dengan tempat pertemuan di setiap rumah anggota yang diundi saban habis kumpul. Mereka percaya undian adalah cara terbaik untuk menghindari perdebatan panjang.
Sejak awal, mereka bertiga belas tak mengetahui nama masing-masing dan merasa tak harus tahu, mereka lalu mendapatkan julukan sesuai identitas kesialan mereka, dan mulai dipanggil dengan nama itu. Mula-mula hanya ada empat anggota di perkumpulan itu, dan karena mereka muak dengan kesialan hidup ini.
Pada awalnya mereka memutuskan jangan ada angka empat di antara mereka, dan mulai saling menyapa dengan urutan angka 1, 2, 3A, dan 3B.
Lalu satu persatu anggota baru mulai bergabung seperti semut mengerubungi bekas tehmu yang tak habis semalam, hingga jumlahnya mencapai tiga belas orang, dan mereka mulai saling memberi dan menetapkan julukan masing-masing.
“Kita sudah menghindari angka empat, tapi kini sampai ke angka sial lain,” ujar Si Mata Satu pada pertemuan di minggu ketujuh belas, “kita harus mendapatkan dua anggota lagi untuk menghindari kesialan baru.”
Dan selama dua minggu setelahnya, ketiga belas anggota perkumpulan mencoba merekrut orang baru dengan berbagai cara, lalu masuklah dua orang sial lain pada pertemuan kedua puluh mereka. Dan pada pertemuan selanjutnya di rumah Si Pincang, hanya ada tiga belas orang yang berkumpul karena dua dari mereka mati kecelakaan.
“Kita memang harus setia pada kesialan, mari tetapkan perkumpulan ini sebagai Perkumpulan Tiga Belas,” tutup Si Mata Satu sebelum mengundi di rumah siapa mereka akan berkumpul minggu depan.
Si Mata Satu adalah anggota senior, salah satu dari empat pendiri Perkumpulan Tiga Belas yang dulu pernah menyandang angka 3A. Ia lahir dengan kedua bola mata cemerlang dan terhindar dari memakai kaca mata hingga usianya menembus lima puluh tahun.
Pada suatu pagi ia bangun dan mendapati pandangan dari sebelah mata kanannya mengabur dan berkabut. Ia menetesinya dengan insto dan pandangannya sekilas kembali. Namun, hari-hari berikutnya kejadian itu kerap terulang, sinar di matanya kian hari berlari kian jauh. Ia lalu pergi ke klinik pengobatan tradisional, enam belas titik di wajahnya ditusuki jarum akupuntur, dan sang tabib menyuruhnya kembali rutin selama sepuluh hari. Setiap pertemuan seharga dua gram emas dan ia memutuskan berhenti ke sana setelah hari keempat, karena uangnya kian habis dan pandangannya kian gelap. Tidak ada kapok-kapoknya, ia lalu mencoba pijat dan meminum ramuan obat herbal dari kenalan saudaranya, lagi-lagi pandangannya tak kunjung kembali. Hingga suatu malam, mata kanannya seperti ditusuk paku dan berubah menjadi kolam air mata. Ia tak bisa tidur sampai pagi karena merasa kepalanya bisa meledak kapan saja, barulah setelah itu ia mendengarkan saran anaknya untuk pergi ke dokter mata yang asli. Saat datang ke rumah sakit, sebelah matanya sudah padam dan tak akan pernah kembali seperti semula.
“Sungguh sial, glukoma memang tak bisa disembuhkan. Tapi kalau aku pergi ke dokter sejak awal, aku tak perlu menghabiskan uang untuk enam belas jarum di kepala dan racikan daun kelor yang pahit,” begitulah Si Mata Satu memperkenalkan kesialannya.
Sama seperti Si Mata Satu yang dulu bermata dua, Si Pincang juga dulu berkaki dua sebelum akhirnya harus menerima nasib kehilangan sebelah kaki kirinya dan menggantinya dengan kaki prostetik.
Kamu mungkin akan mengira ia korban tabrak lari, atau pernah mencoba bunuh diri dengan jatuh dari gedung tujuh lantai tapi gagal, atau kakinya terjepit mesin shredder saat mencoba menghancurkan ban bekas, atau akibat sengatan ular beracun yang tidak segera ditangani, dan kecelakaan-kecelakaan bombastis lain. Namun tidak, Si Pincang bukan kehilangan sebelah kakinya karena itu, melainkan kuku jempolnya yang terlepas setelah tak sengaja menendang kursi besi di terminal.
Tiga dari tujuh orang tertawa mendengar kecelakaan bodoh itu, dan Si Pincang harusnya hanya kehilangan sepotong kuku, tapi malah kehilangan sepotong kaki. Apalagi kalau bukan sial namanya? Jika bukan karena temannya yang meminta disusul ke terminal karena busnya baru akan datang setelah enam jam, ia membayangkan kakinya masih utuh sebelum akhirnya berbisik, barangkali kepada dirinya sendiri. “Harusnya aku tidak datang malam itu.”
“Atau, kamu bisa duduk daripada berdiri dan menendang-nendang tanah dengan kakimu,” sambung Si Ekspatriat, yang segera ditegur oleh Si Ateis karena telah melanggar peraturan nomor empat Perkumpulan Tiga Belas, yaitu tidak memberi saran apa pun. Ada tiga belas peraturan yang wajib mereka patuhi di perkumpulan ini:
1. Menceritakan kesialan yang dialami.
2. Tidak menceritakan kebohongan.
3. Tidak menyela cerita orang lain.
4. Tidak memberi saran apa pun.
5. Tidak berusaha menghibur.
6. Tidak menertawakan kesialan masing-masing.
7. Tidak membanding-bandingkan kesialan siapa yang lebih besar.
8. Tidak menceritakan kesialan anggota ke bukan anggota.
9. Membawa makanan dan minuman masing-masing dari luar.
10. Tidak mendokumentasikan pertemuan.
11. Tidak mengadakan pertemuan jika kurang dari tiga belas orang.
12. Membubarkan perkumpulan jika kurang dari tiga belas orang.
13. Menghadiri pemakaman tiap anggota.
Si Ateis adalah anggota paling keras yang menegur tiap anggota yang melanggar dan melewati batas, walau hanya keceplosan memberi komentar yang tidak perlu saat sesi bercerita. Ia juga yang merumuskan dari awal ketiga belas peraturan itu.
Si Ateis dikeluarkan dari Kartu Keluarga sejak ia terang-terangan mengaku tak percaya Tuhan dan meninggalkan segala ibadah yang diajarkan kedua orangtuanya sejak kecil. Ia dianggap aib keluarga, jadi bahan gunjingan tiap pertemuan keluarga besar, dan selalu jadi contoh manusia gagal oleh paman bibinya kepada para sepupu. Tapi semua itu bukan kesialan bagi Si Ateis, melainkan gagal menikahi satu-satunya perempuan yang bisa ia cintai.
“Seandainya aku tahu keluarganya bakal sangat menentang, aku pasti akan pura-pura menyembah Tuhan daripada harus kehilangannya seperti sekarang.”
Sementara Si Ekspatriat adalah mantan pembantu rumah tangga di Timur Tengah. Ia masih seorang istri ketika meninggalkan rumahnya, dan setelah lima tahun ia pergi dan pulang, ia telah menjadi janda yang dianggap mati. Suaminya sudah kawin lagi dan pindah keluar kota, sementara keluarganya menyangka kedatangan mayat hidup saat Si Ekspatriat muncul di depan pintu.
Lima tahun di Timur Tengah ia dipenjara dalam rumah majikan, alat komunikasinya disita paksa, ia sempurna terputus dari kehidupan. Ia tak bisa menghubungi keluarganya di rumah, tak mengetahui saat ibunya mati, dan tak akan mengira suaminya sudah bercinta dengan perempuan baru. Suatu ketika tetangganya melihat Si Ekspatriat mencoba kabur dengan muka babak belur sebelum diseret masuk.
Esok paginya, seorang dari kedutaan besar datang menjemput perempuan itu dan menghentikan kesialannya sepanjang lima tahun. “Semua laki-laki yang kukenal adalah bajingan, tak bisa dipercaya,” katanya sambil menangis pelan ditatap kedua belas pasang mata orang sial lainnya, “Kecuali Shah Rukh Khan, ia pasti laki-laki yang memegang omongannya.”
Si Itik Buruk Rupa pernah bertanya kepada ibunya, Si Janda, tentang siapa lelaki yang selalu disebut-sebut oleh Si Ekspatriat itu, dan apakah ia memang lelaki yang bisa dipercaya? Ibunya akan menggeleng dan memasang sikap angkuh. “Omong kosong,” bisiknya pelan.
Sejak Si Janda ditinggal kabur suaminya karena ia melahirkan seorang anak buruk rupa, perempuan itu memutuskan tak pernah lagi percaya kepada lelaki. Sejak awal menikah, Si Janda merasa cukup dengan seorang anak dan tak akan menambah lebih dari itu, tapi anak pertamanya keguguran.
Pada hamil kali kedua, anak perempuannya lahir selamat, tapi kontur wajahnya tak bisa diperbaiki lagi. Bidan yang membantu proses bersalinnya merasa menggendong anak haram jadah yang dikutuk Tuhan. Sang dokter berkata sepanjang karir profesionalnya, baru kali ini ia merasa bersalah telah membantu seorang anak lahir ke dunia. Anak itu kemudian dikenal sebagai Si Itik Buruk Rupa, dan ia selalu merasa beribu-ribu sial, mengapa kakaknya dulu mati di kandungan sehingga ia harus dilahirkan sebagai gantinya?
Bukan hanya mereka sepasang orangtua dan anak di Perkumpulan Tiga Belas, ada juga Si Lumpuh dan Si Durhaka yang selalu mendorong kursi roda ayahnya. Si Lumpuh adalah mantan atlet lompat galah yang masih prima hingga usia enam puluh, sebelum setengah badannya dari pusar ke bawah tak bisa lagi digerakkan sejak ia jatuh terpeleset di kamar mandi. Setelah kecelakaan memalukan itu, jangankan melompat, untuk mengibaskan kecoak mati pun ia tak mampu. Ia selalu datang ke pertemuan dengan sekalung medali perak dari masa kejayaannya, dan entah apa lagi yang bisa ia banggakan dengan itu.
“Aku akan gantung diri dengan pita medali ini,” ujarn Si Lumpuh sinis, dan dua belas pasang mata orang sial lainnya di sana tahu itu tak akan pernah terjadi selama ia tak mampu berdiri. Sementara Si Durhaka merasa ketiban sial saat mengetahui harus mengurus ayahnya hingga salah satu dari mereka mati.
Si Penjudi mungkin yang paling riang di antara anggota Perkumpulan Tiga Belas. Ia memiliki wajah yang selalu bahagia sejak lahir seperti pelawak Ryan Hamilton. Maka tak peduli ia habis kalah bertaruh puluhan juta atau berapa pun, orang-orang akan berpikir ia habis menang lotre ratusan juta hanya dengan melihat sekilas wajahnya. Ia adalah pejudi yang gagal, walaupun pamannya yang mengenalkannya dengan judi mewanti bolak-balik bahwa penjudi yang beruntung adalah ia yang tahu kapan harus berhenti.
Si Penjudi tak pernah berhenti, bahkan setiap datang ke pertemuan ia selalu terlihat sedang memasang taruhan baru di ponselnya. Dengan senyum lebar yang menghabiskan dua pertiga lebar mukanya, ia akan berkata kepada Si Bangkrut, “kali ini pasti menang.”
Si Bangkrut hanya akan tersenyum sambil menjawab, “coba lagi.”
Si Pejudi dan Si Bangkrut tampak akrab karena kesialan mereka sama-sama berkaitan dengan uang. Jika Si Pejudi terlalu percaya kepada kemungkinan, maka Si Bangkrut terlalu percaya kepada pertemanannya. Ia ditipu oleh orang yang dulu pernah tinggal bersamanya tiga tahun, perusahaannya lalu diambil alih, ia kehilangan dua apartemen dan seluruh asetnya yang didaftarkan atas nama sang teman.
Di antara anggota Perkumpulan Tiga Belas, ada pula yang dipanggil Si Bandar, tapi kesialan yang menimpanya tak berhubungan dengan uang. Saat usianya dua puluh tiga, ia menyewa seorang pelacur dari sebuah aplikasi pencari teman. Mereka berdua lalu berjanji untuk bertemu di sebuah kamar apartemen selepas jam enam.
Si Bandar benar-benar bertemu dengan perempuan yang wajahnya tidak terlalu mengecewakan itu, bajunya dilucuti hingga tinggal celana dalam, dan sebelum ia meraba-raba lebih jauh sudut-sudut tubuh perempuan yang terlentang di depannya, dua orang lelaki dengan tanda nama polisi menerobos masuk ke dalam kamar, memergokinya seperti tuyul, dan menggeledah celana jeansnya yang terserak di lantai.
Dari dalam saku celana sial itu, mereka mengeluarkan sekantong serbuk putih yang tak pernah ada di sana sebelumnya. Sadarlah pemuda hina itu kalau ia sedang dipermainkan dalam sebuah konspirasi busuk yang menargetkan laki-laki penuh nafsu sepertinya.
Ketika pertama kali menceritakan kesialan itu, punggung Si Bandar ditepuk oleh seorang laki-laki menjelang usia enam puluh, dan tangannya menetap di punggung pemuda itu untuk beberapa waktu. Mata di balik kacamata si orang tua menatap mata Si Bandar dengan prihatin. Lelaki tua itu tak berkata-kata atau menangis, ia berusaha menjelaskan segalanya dengan pantulan yang ada di kedua bola matanya, sebelum melepas genggamannya dari punggung Si Bandar. Lelaki tua itu salah satu anggota pertama Perkumpulan Tiga Belas seperti Si Mata Satu, Si Pincang, dan Si Penjudi, dan semenjak pertemuan pertama ia yang paling sedikit bicara. Satu-satunya cerita agak panjang yang ia sampaikan hanya saat memperkenalkan diri.
“Saya guru. Saya pulang mengajar setelah pukul tiga. Hari Jumat itu saya pulang lebih cepat. Saya melihat anak kedua saya ditabrak motor pas di depan rumah. Saya langsung membawanya ke rumah sakit. Anak saya masih sadar. Hanya ada luka-luka kecil di kaki, di tangan. Dokter bilang tidak ada yang salah dengan kepala anak saya. Tidak ada cedera otak. Tidak ada pendarahan dalam.
Lalu kami pulang. Anak saya mengeluh perutnya sakit. Saya bilang, kamu harus makan. Anak saya muntah, makanan tidak bisa masuk. Anak saya bilang perutnya sakit, perutnya sakit. Saya bawa lagi dia ke dokter. Ususnya sobek selebar telapak. Dokter bilang ini harus segera dioperasi. Tadi siang saya sudah bawa anak saya ke sini. Dokter bilang anak saya tidak apa-apa. Anak saya dioperasi dan hari itu juga dia meninggal.”
Setelah mendengar ceritanya, Si Itik Buruk Rupa menyenggol sang Ibu. “Aku bingung, Bu. Pak tua itu bukan orang yang sial, kan? Hanya orang yang malang. Lalu kenapa ikut perkumpulan ini?”
Si Janda mengelus kepala sang anak yang tak pernah diharapkan lahir oleh siapa pun kecuali dirinya. “Ia hanya pria tua yang malang, kan, Bu?” tanyanya lagi. “Memang, apa bedanya?” jawab Si Janda.
Anggota Perkumpulan Tiga Belas yang lain pada akhirnya memutuskan untuk memanggil pria tua yang ditinggal mati tiba-tiba oleh anaknya itu sebagai Si Malang.
Sayang, aku memikirkan tokoh-tokoh dalam Perkumpulan Tiga Belas ini selama sebelas malam, dan aku semakin tak bisa tidur.
Sabtu malam nanti, aku masih memikirkan bagaimana cara mendongengkan kisah orang-orang sial ini hingga kamu tak lagi melupakan mereka. Jujur saja, aku belum menemukan anggota ketiga belas hingga malam ini, aku terlanjur lelah.
Ternyata menghidupkan orang-orang yang tak pernah ada sama susahnya dengan mendongeng dari buku-buku. Mungkin karena itu, konon Tuhan beristirahat pada hari ketujuh penciptaan dan berhenti bekerja.
Aku ingin bergabung menjadi anggota terakhir Perkumpulan Tiga Belas itu, dan menceritakan segala kesialanku selama seminggu tiap hari Jumat, bahwa setiap malam aku selalu berdoa untuk mati dan selalu terbangun tiap paginya hanya untuk mengetahui doaku belum terkabul. Mungkin tiga belas pasang mata itu akan memanggilku Si Pendongeng dan tak akan bosan-bosan mendengar ceritaku. Malam ini aku belum menyelesaikan dongengku, Sayang, namun mataku mulai lelah dan mengantuk. Jika aku sampai tertidur nanti, tolong jangan bangunkan aku. Aku mohon.
Jakarta, 2022
Editor: Ghufroni An’ars