Tekstosteron.

Perkara Ganjil Sepasang Bibir

Den

4 min read

Aku percaya, sepasang bibir adalah takdir bagi sepasang bibir lainnya.

Bagaimana bibir-bibir itu kemudian hadir dalam hidupku, kuceritakan sekarang padamu. Bibir pertama yang berlabuh, berbuah dalam bentuk puisi. Sekecup puisi yang sedap dan bermekaran di taman sunyi. Bunga-bunga puisi bersemi warna-warni. Suara berat lelaki itu mengalun lembut seperti dandelion pasrah tertiup angin. Setiap kali suaranya merayap bersama sentuhan, tangannya serasa membuai serupa beludru menerpa tengkuk.

Aku mengenalnya pertama kali dalam suatu acara peluncuran buku puisi yang dia tulis. Orang banyak bilang, dia penyair jempolan yang telah pantas bersanding dengan nama-nama pujangga. Sebutlah dia Jati—betapa jantan lelaki. Tidak terlalu banyak lelaki yang kukenal selama ini kecuali sosok Bapak; dalam foto album berdebu di  gudang yang Ibu diam-diam pernah simpan. Dalam hitungan singkat, aku terhipnotis kata-katanya, dengan caranya menatapku yang magis. Kesepianku yang lapar segera dikoyak bahana dengan sajak puja-puji. Malam-malam gigil enyah tertumpas pelukan syair.

“Mengapa timbul titik rinai di kedua matamu?” tangannya mengelus ubun-ubunku seperti elusan halus tangan Ibu.

“Sudah berapa gadis yang takluk oleh puisimu?”

“Lebih sering aku yang terkapar sebelum puisi tercipta.”

“Gombal.”

“Sungguh mati.”

“Jangan ngawur. Nanti sungguhan mati.”

“Kalau aku mati, kamu jangan menangis.”

“Aku bacakan puisi di pusaramu.”

Dia lalu membisikkan banyak puisi sepanjang malam itu. Terlalu banyak hingga aku mabuk kepayahan.

***

Tak dinyana, perkenalan dengan Jati mengantarkanku pada bibir yang kedua. Sepasang bibir lelaki merah nyala. Brasco. Dia adalah lelaki petualang mara bahaya. Di hadapannya, aku seakan telur rawan yang layak untuk dilindungi. Dan dia anjing penjaga yang setia pada tugasnya. Kadang bicaranya kelewat keras alih-alih lugas. Menurutnya, itu demi kebaikanku. Aku terpaksa banyak mengalah. Brasco tak terlalu pintar menata kata agar terkesan persuasif. Gelagatnya sedingin lantai penjara. Kalau jengkel, segala umpatan bakal menyalak hebat dari bibirnya. Tapi jangan dikata kalau hasratnya datang bergelegak. Bibirnya seakan bara api membara. Seorang petugas parkir yang pernah memergoki kami tak akan menyangsikan itu. Namun, kala bibirnya berkelahi dengan bibirku, sekelebat aku jadi teringat Jati.

“Gila juga ya kamu, kalem-kalem main api dengan lelaki,” sulut Dona, rekan di kantorku yang gemar mengoleksi tas premium.

Ini bukan dendam. Aku tak pernah punya dendam pada lelaki. Aku hanya mendengar kata hati. Banyak keburukan terjadi di dunia ini akibat tak mendengarkan kata hati, bukan? Bila kalian menganggapku tak lebih dari objek sekian bibir-bibir lelaki, atau bersegera memancang stempel binal agar diri suci, baiknya kalian selesaikan dahulu membaca cerita ini.

Kita sampai pada sosok Hamdan, si bibir ketiga. Lelaki sopan dengan wajah setenang telaga perawan yang biru jernih airnya, hingga dasar palung terlihat dengan mata telanjang, bila dan hanya bila sesuatu dianggap penting saja baginya untuk berkata-kata. Berduaan dengan Hamdan, kau seolah mendengar kerisik serakan angin. Tak ada puisi atau luapan emosi. Namun, percayalah, bibir lelaki selalu lihai menyiasati kata demi keinginannya.

“Setiap bibir tercipta berpasang-pasangan menurut kodratnya,” Hamdan berdalil.

Sepertinya dia jadi tempat terakhir bibirku berlabuh sampai pada suatu hari ketika langit abu-abu, dia mengutarakan sesuatu yang membikinku terhenyak.

“Tuhan tak melarang bibir lelaki berpasangan dengan beberapa bibir perempuan dalam satu mahligai. Bibir pertama sudah siap dan rela untuk kehadiran bibirmu.”

“Dan bibir kedua mesti rela untuk bibir ketiga. Dan bibir ketiga…” Dona tak melanjutkannya kecuali menengadahkan kedua tangan ke udara. Raut mukanya terlihat gemas. Dia berusaha membobol pikiranku yang mampat. Cinta memang sering kali membuat orang jadi bebal.

Namun, Dona tak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dia telah kuanggap karib di antara sejawat kantor lain yang saling menelikung demi posisi, sampai kudengar rumor dari mulut ke mulut tentang kejalanganku pada sejumlah lelaki dan semuanya berawal dari bibir Dona yang ember soak kuadrat! Rumor itu menjadikanku buruk di mata semua orang. Jadi bahan guyonan yang sama sekali sampah. Prestasiku di bagian perencanaan bukan artinya berkuasa merencanakan segalanya, kan? Apalagi cinta. Kalau tiba-tiba hadir, apa daya menolak?

Aku pun tak bisa melawan hati ketika bibir-bibir lain datang bagai semut beriringan. Seperti Dola yang mengisi kekosongan partitur irama hidupku. Dia tahu aku menyukai lagu-lagu melankolis dan dia menyanyikannya dengan merdu lewat petikan gitar dari jemarinya yang mahir menggelitik apa pun. Setelah kami terkulai, Dola biasanya akan mengambil gitar dan refleks menciptakan sebuah lagu untukku. Komposisinya indah. Liriknya mirip puisi Jati. Tapi dia terlalu kaku untuk seorang flamboyan. Perempuan sesungguhnya menyukai lelaki humoris yang bisa membuatnya tertawa.

Seperti Boni yang kukenal di kemudian hari. Dia punya bakat melawak alami yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Teknik melucunya lengkap. Dia bisa slapstick atau mengoceh dengan banyak koleksi lelucon laksana mercon. Semakin satire, dia terlihat semakin berkarisma. Kelihaian bersatire pula kutemukan dalam sosok Rocky. Tak banyak lelaki mampu membahasakan isi kepala cerdas dengan argumen yang bersepadan bernas. Bibirnya lebih jago beretorika ketimbang Asisten Google, ibarat moto: tiada pertanyaan tanpa jawaban.

Tapi akhir-akhir ini moncongnya semakin ceriwis sok berpolitik. Panggungnya medsos. Telingaku jengah. Rocky tak lagi bercakap tentang pantai, atau gunung, atau kabut tipis yang menyelubungi jendela di sebuah pagi tanpa ingar dunia kecuali hanya tersisa kami berdua yang banyak menghabiskan setiap malam menjadi malam pertama. Atau sekadar duduk menikmati secangkir teh melati di beranda setiap senja yang tak pernah berumur senja sebagai impian bersama. Itulah mengapa ingatanku selalu kembali pada Jati. Lelaki hangat yang senantiasa memenuhiku dengan ribuan puisi.

***

Tetapi Jati kini telah mati.

Mayatnya terbujur lebam di kamar apartemen dengan banyak luka tusukan. Polisi melakukan penyelidikan. Menurut hasil identifikasi forensik, ditemukan banyak jejak bibirku di sekujur tubuhnya. Setiap orang yang mengenalku dimintai keterangan, termasuk Dona. Si jalang terselubung itu pasti mengoceh yang tidak-tidak!

“Baru kali ini ada pembunuh yang terlalu dungu meninggalkan jejak bibirnya pada korban.” Salah satu petugas datang menangkapku, menceletuk.

Ingatanku berperai-perai seperti selimut kabut pagi. Aku lupa dengan siapa terakhir kali menghabiskan waktu bersama hingga malam larut dan gerimis menyisakan rinai. Berkelebat bayangan terlintas. Aku lupa, dengan bibir siapa ketika itu bibirku berpautan mesra. Aku lupa kepada siapa sesungguhnya cintaku bertaut gelora. Bahkan aku lupa dengan sekian kenangan yang pernah bercokol di kepala.

Gila! Apakah bukan akibat dari kegilaannya sendiri, atau pernyataan-pernyataan politiknya di medsos yang membikin nahas dia punya nasib? Bisa saja ada pihak-pihak yang tersinggung dengan ucapannya, atau dianggap berbahaya oleh kekuatan besar karena ocehannya tentang skandal korupsi. Semua bibir itu punya satu kepala.

Ya, satu kepala.

Ketika itu, dengan perasaan gamang aku memberanikan diri menghubungi Jati. Seseorang mengangkat telepon dengan nada dingin. Aku sepenuh yakin, ia pasti mengenal lenguhanku ketimbang suara membosankan apa pun. Aku memastikan lagi nomor yang tertera di layar. Nomor Jati. Tetapi lelaki itu bilang, “ini Brasco. Mungkin Anda salah sambung.”

Aku menyangka, dia sedang berlatih lakon. Selain penyair, Jati adalah pemain teater yang lihai bermain watak. Pemain watak sejati selalu berlagak seolah-olah dia tak sedang bermain lakon. Sukar dibedakan mana penyair, mana politikus. Mana lelaki serius, mana sekadar bocah beringus. Mungkin dia sedang mendalami peran, pikirku.

Keesokannya aku datang ke apartemen. “Kamu kelihatan beda,” dia membuka pintu sambil menenteng gitar. Aku duduk di sofa. Hening. Detik-detik terasa enggan berlalu.

Tapi aku harus mengatakannya. Harus.

“Aku hamil.”

Dia menaruh gitar ke tempat dudukan dengan tenang layaknya adab seorang ningrat.

Tombol itu menyala.

Dia betul-betul tak sedang bermain drama. Aku mundur beberapa langkah. Sekian menit pupus, wajahnya tiba-tiba berubah. Dia menyalak kencang bagai anjing memergoki setan. “Sudah berapa bulan?” nadanya menyangsikan. Aku bilang, ini masuk kedua. Dia menyangkal apa-apa yang selama ini bablas terjadi. Kami berdebat hingga tangannya hampir melayang. Ia duduk, berdiri mondar-mandir, duduk lagi gelisah.

Tombol lain menyala.

Dengan tatapan menerawang, akhirnya dia tawarkan solusi. “Tuhan tak melarang bibir lelaki berpasangan dengan beberapa bibir perempuan dalam satu mahligai….” Wajahnya kembali berubah setenang telaga perawan yang biru jernih airnya.

Aku pulang dengan beribu tanya mencatuk kepala. Suara-suara gelap berhamburan di telinga.

Sampai suatu ketika aku memintanya bercerai dari bibir pertama, dia berubah menjadi Brasco dalam versi paling terkutuk yang pernah hidup, dan aku harus melindungi jiwa suci di perutku.

Kini tubuhku dipenjara bersama perut yang semakin hari semakin membuncit.

Setiap kali menatap cermin, aku selalu melihat bayangan perempuan lain di sana. Rambutnya merah marun. Senyumnya ganjil. Dia punya sepasang mata tajam yang mustahil dipakai untuk membunuh. Kedua bibirnya bergerak seolah bicara sesuatu padaku—rahasia gelap yang aku sendiri tak pernah tahu.

Den
Den Tekstosteron.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email