Pesepeda, pegrafis, pembaca dan pemimpi.

Perjuangan Melawan Lupa Bermain

Ferri Agustian Sukarno

2 min read

Saya adalah anak yang lahir dan dibesarkan di tengah-tengah kampung padat penduduk di Bandung. Diapit di antara riuh rendahnya transaksi jual beli di pasar tradisional, serta hiruk pikuk aktivitas kelas buruh di pabrik-pabrik tahu. Seperti pada umumnya anak-anak kampung, saya pun turut menikmati kegiatan bermain kucing-kucingan, perang-perangan, petak umpet, adu alung, kartu umbul, hingga anyang-anyangan. Untuk yang saya sebut terakhir, biasanya kami akan berjalan menyusuri lorong-lorong pasar untuk mengumpulkan sayur-sayuran yang sudah tidak layak jual.

Mainan, permainan, dan bermain merupakan kebahagiaan bagi semua orang. Tanpa terkecuali, terutama anak-anak. Maka tak heran bila ada istilah Homo Ludens, manusia yang bermain, yang dipopulerkan oleh Johan Huizinga. Bahkan Huizinga menyatakan, “bermain adalah esensi dari kehidupan.”

Baca juga:

Acap kali anak-anak memang bisa lupa segalanya tatkala sedang asyik bermain. Lupa makan, lupa mandi, bahkan lupa waktu. Bagaimana tidak, dalam permainan, wacana dan imajinasi bekerja sama secara kompak dalam diri setiap anak. Dengan kata lain, ketika bermain mereka sedang meleburkan dirinya secara total pada peran juga mekanisme permainan yang sedang digeluti. Gagang sapu awi yang menjadi pedang. Pelepah pisang yang menjelma sebagai senapan. Bahkan diri yang berperan selaku kucing atau tikus. Itulah sebagian dari hebatnya daya imajinasi dan kreativitas anak yang terus tumbuh dan berkembang melalui kegiatan bermain.

Anak-anak nyatanya memang selalu memiliki daya dalam melepaskan ikatan wacana pada suatu objek, untuk kemudian membangun kesepakatan atau diskursus baru yang mereka sepakati bersama. Hal ini penting bagi mereka, agar dengan peralatan apa pun permainan tetap bisa berjalan penuh totalitas juga kegembiraan. Sungguh menarik dan menyenangkan melihat imajinasi atau potensi kreatif anak-anak menari ke sana ke mari seperti rama-rama.

Ketika Rezim Fasis Bahasa dan Pengetahuan Datang

Namun seiring berjalannya waktu, suka-tidak suka, mau-tidak mau, mereka pada akhirnya harus dijejali oleh berbagai rumusan logika oleh rezim fasis bahasa dan pengetahuan, rezim dengan otoritas makna yang dogmatis, rasis, juga korup yang membuat pengetahuan menjadi seperti penggaris linier. Saya barangkali bagian dari pihak yang gagal paham, mengapa order pengetahuan dan bahasa mewajibkan daun harus berwarna hijau, gunung berwarna biru, dan matahari selalu kuning? Memang apa yang bisa diharapkan dari kehidupan yang dikemas dalam satu sistem baku yang konon adalah ‘proyek pencerahan’, selain mudarat di sana-sini: Perang Dunia I dan II, kerusakan lingkungan, genosida, ketimpangan ekonomi, dan banyak lainnya.

Barangkali perlu disadari jika kerja-kerja kreatif tidak bisa berangkat dari kerja pemaknaan rasional ala-ala order fasis bahasa. Kreativitas lebih bisa bertolak dari karakter Dionysos, dewa anggur dan kemabukan dalam mitologi Yunani yang dipakai Nietzsche dalam gagasannya. Dionysos adalah simbol bagi pendobrakan segala batas juga kekangan. Dengan demikian, mentalitas Dionysian adalah mentalitas yang melampaui segala aturan dan norma: mentalitas yang bebas, yang mengikuti dorongan hasrat tanpa dibebani dengan batas aturan, kaidah, dan segala macam kata gantinya.

Baca juga:

Mentalitas Dionysian bukanlah mentalitas antimoral (immoral), melainkan lebih sebagai sikap amoral. Immoral dan amoral adalah dua sikap yang beda. Amoral adalah tindakan netral alias tidak ada hubungannya dengan moral. Sedangkan immoral adalah tindakan yang melawan moral alias bertentangan dengan moral. Sebagai contoh, antara bubur diaduk atau tidak diaduk itu tidak ada hubungannya dengan moral. Itu Amoral. Seperti halnya memilih warna hijau atau merah sebagai warna daun. Beda kasus ketika kita melemparkan bubur ke wajah orang lain atau mencoret-coret sketsa milik teman. Itu adalah tindakan immoral.

Seni dan Bermain

Maka dari itu, jika bahasa diibaratkan sebagai rangkaian gerbong yang bermuatan ide-ide, kreativitas Dionysian berusaha untuk menghancurkan sambungan-sambungan itu supaya masing-masing gerbong dapat menjelajahi berbagai kemungkinan serta keterkaitan baru yang sarat ketidakterdugaan.

Dengan kata lain, bahasa perlu merayakan karnaval anarki diskursus tempat ide-ide dibiarkan dalam kondisi tidak nyambung, nakal, dan semena-mena sebab di situlah letak kreativitas–seni penjelajahan serba mungkin. Atau dengan kata lain, meminjam pengertian Kurt Vonnecut dalam Buku Manusia Tanpa Negara, manusia perlu pergi ke bidang seni. Bagi Vonnecut, seni bukan semata tempat mencari nafkah. Lebih dari itu, seni adalah cara yang sangat manusiawi untuk membuat hidup lebih tertahankan. Di sini kita memaklumi apa yang Vonnecut sampaikan bahwa seni sangat mungkin melakukan pendobrakan. Seni, kreativitas, dorongan bermain adalah garda depan bagi terciptanya ruang-ruang ketidakmungkinan sehingga tak ada lagi kemungkinan untuk berkata tidak mungkin.

Dalam kehidupan modern, manusia sudah terlampau tenggelam dalam kubangan serba serius, serba terencana, dan serba rasional sampai akhirnya hidup hanya membuat cemas. Hidup tidak lagi menggemaskan, apalagi menawan. Manusia-manusia modern tertular penyakit amnesia, mereka lupa tertawa, lupa bermain, lupa bergembira. Padahal bermain dan bergembira hingga menggila diperlukan sebagai obat mujarab untuk menjaga hidup tetap waras. Mengutip Milan Kundera, saya menutup esai singkat ini. Perjuangan melawan rezim pengetahuan adalah perjuangan melawan lupa: lupa bermain.

 

Editor: Prihandini N

Ferri Agustian Sukarno
Ferri Agustian Sukarno Pesepeda, pegrafis, pembaca dan pemimpi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email