mahasiswa biasa

Perjalanan Rohani Melintasi Ruang dan Waktu

Nurfikri Muharram

3 min read

Tidak berlebihan rasanya kalau menyebut Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah salah satu penulis Indonesia yang pemilihan sudut pandang tokohnya sangat out of the box. Salah satunya bisa dilihat pada karyanya yang berjudul Semua Ikan di Langit. Tokoh utama dari novel itu adalah sebuah Bus, belum lagi tokoh lainnya seperti kecoa dan ikan julung-julung.

Gambar-gambar yang dihadirkan di buku ini juga sangat indah sehingga mampu memanjakan mata setiap pembacanya. Tidak heran kalau buku ini menjadi juara sayembara novel DKJ 2016 dengan perbedaan yang cukup tajam dengan naskah-naskah lainnya seperti yang disampaikan pada laporan pertanggungjawaban dewan juri.

Perbedaan mutu yang tajam antara Pemenang Pertama dan naskah-naskah lainnya, membuat kami tidak memilih pemenang-pemenang di bawahnya. Karena itu, kami memutuskan Tidak ada Pemenang Kedua dan Pemenang Ketiga.

Buku ini bercerita tentang sebuah Bus yang dapat mengetahui cerita seseorang jika mereka menginjak lantainya. Suatu hari, dia bertemu anak kecil yang dipanggilnya “Beliau”. Beliau selalu dikelilingi oleh ikan julung-julung. Ikan julung-julung ini pula yang membuat si Bus melayang dan menyelami petualangan bersama Beliau.

Beliau

Mungkin ini akan terasa berlebihan, namun, saya merasa novel ini sangat religius dengan caranya sendiri. Novel ini mampu menjabarkan bagaimana sebenarnya hubungan antara sang pencipta dengan ciptaannya. Pencipta dalam hal ini adalah Beliau dan yang lainnya adalah ciptaannya.

Setelah bertemu si Bus, Beliau menyelamatkan seekor kecoa Rusia bernama Nad yang diselamatkannya dari siksaan manusia. Nad kemudian bergabung dalam petualangan mereka menjelajahi ruang dan waktu.

Baca juga ulasan buku Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie lainnya: Cerita dari Kota Suara

Beliau senang menjahit. Dia menjahit ratusan boneka yang masing-masing memiliki keunikan masing-masing. Ada yang dibuat tanpa tanpa mata, tanpa sebelah telinga, atau tanpa tangan dan kaki. Ada yang dihias dengan pakaian cantik dan ada juga yang dibuat kotor. Meski berbeda, semua boneka dikirim menuruni langit menuju ke Bumi. Manusia pun begitu, tidak ada manusia yang sempurna. Setidaknya itu yang dikatakan seorang lelaki muda di toko sepatu.

“Masalahnya kan manusia saja yang melihatnya dengan cara yang berbeda, membangun opini mereka sendiri tentang apa yang sempurna dan tidak sempurna. Mereka anggap sesuatu ini, anggap sesuatu itu; padahal sebenarnya penilaian mereka itu tidak ada artinya. Sempurna itu hanya konsep buatan, diciptakan karena mereka—kita—suka menilai dan menghakimi satu sama lain.” -Hal. 121

Beliau benci peperangan. Pada satu waktu, mereka tiba di Auschwitz, Jerman, tahun 1944. Saat itu, naiklah seorang wanita bernama Shoshanna di Bus. Usianya 19 dengan pakaian yang compang-camping, rambut yang dicukur habis dengan kepala ditutupi topi berlogo Nazi. Dia baru saja membunuh tentara yang sebelumnya membunuh kakaknya. Beliau menjahit hatinya yang tercabik-cabik karena perang. Ketika manusia yang memiliki kuasa saling berperang, darah manusia lain juga harus ditumpahkan.

Beliau marah pada segala bentuk diskriminasi. Suatu hari, Beliau keluar dari Bus karena marah melihat seorang lelaki muda menendang kakek-kakek kurus kering berkulit hitam. Beliau kemudian menjahit sebelah mata dari si lelaki yang senantiasa memandang sebelah mata orang lain. Manusia kerap kali merasa lebih tinggi dibanding manusia lain sehingga merasa berhak bertindak semena-mena.

Bus sangat menyayangi Beliau. Namun, dirinya kebingungan harus memanggil Beliau dengan sebutan apa. Apakah dengan sebutan “Maha Tuan” atau “Super Tuan”? Bus takut kalau Beliau tidak suka dipanggil Beliau. Beliau menjawab keraguan Bus dengan membuatkannya boneka yang berisi bintang-bintang kebahagiaan, pertanda bahwa dia sama sekali tidak mempersoalkan penyebutan namanya.

“Mungkin bagi Beliau, sebutan untuknya memang tidak jadi masalah. Beliau adalah Beliau. Tidak jadi masalah bagaimana caranya dan apa bentuknya; Bagi Beliau, yang penting adalah menyebut dan mengingat dirinya, dan terus menyayanginya.”-Hal. 91-92

Suatu hari, Nad mulai meragukan kuasa Beliau. Nad mulai mempertanyakan banyak hal kepadanya meskipun dia sudah banyak menyaksikan keagungan Beliau selama berpetualang bersamanya. Bus terluka mendengar berbagai keraguan yang terucap dari mulut Nad. Meskipun keajaiban yang disaksikannya tidak bisa dijelaskan dengan logika, bisakah rasa kebahagiaan menyaksikan berbagai keajaiban tersebut menjadi alasan untuk mempercayai Beliau?

Mengetahui keraguan Nad, Beliau menunjukkan kuasanya dengan memunculkan bunga berkelopak putih panjang di tepi pasir pantai yang luar biasa indahnya. Nad menyaksikan semua itu dengan perasaan tegang, malu, sekaligus takut, namun, dia tetap saja meragu dan mencari alasan-alasan di balik fenomena yang disaksikannya.

Keraguan Nad menyakiti hati Bus. Nad seolah memaksa Bus untuk ikut tidak percaya pada Beliau. Akan tetapi, kepercayaan tidak bisa dijelaskan, juga tidak bisa dipaksakan. Meskipun terpaksa, Nad keluar dari bus dengan pelan ingin mengakui kekalahannya pada Beliau, namun, ikan-ikan Beliau menjatuhkan batu di atas Nad hingga Nad menjadi penyek. Bagi Beliau, boleh saja tidak mempercayai dan menyayanginya, tapi jangan sakiti hati ciptaannya.

Akhir

Semua yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Di novel ini, kisah kehancuran alam semesta diceritakan dengan begitu apik. Diawali oleh kemunculan seorang anak lelaki jahat yang coba menghasut semua makhluk untuk mempercayai kekuatannya alih-alih percaya pada kekutan Beliau.

Lama kelamaan, semua tanah tidak lagi bisa menumbuhkan tanaman. Bumi diisi oleh gerombolan orang berkulit merah yang menggantungkan hidupnya pada anak lelaki jahat. Kulit mereka memerah karena memakan binatang dan manusia lain untuk terus menjadi lebih muda dan cantik.

Pada akhirnya, Bus hancur setelah melawan anak lelaki jahat, tetapi retakan dari kehancurannya berhasil memenggal kepala anak lelaki jahat. Dia mati. Matahari dan Bumi beserta isinya pun juga mati.

Meskipun telah dikhianati, Beliau tidak lelah mencintai manusia. Di dunia baru yang dibuatnya, Beliau tetap menciptakan manusia dengan segala rupa. Berharap agar manusia saling mencintai sebelum akhirnya mencintainya.

“Beliau menciptakan manusia dengan hati yang besar supaya bisa mencintai banyak, banyak hal, sebagaimana Beliau mencintai banyak, banyak hal. Beliau selalu memberikan kemampuan bagi setiap makhluk untuk mencintai dengan cara mereka sendiri. … Yang lebih penting daripada mencintai Beliau adalah mencintai segala hal yang Beliau cintai.”-Hal. 194

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email