Mengheningkan Cipta
Kami pendiam
Bertemu, ngopi
Tatap-tatapan
“siapa yang mau lebih dulu
membuka percakapan?”
Pelayan datang, buka pertanyaan
“Mau sampai kapan?”
Katanya menghitung waktu
Kami pendiam yang duduk bersama 5 jam
Menunggu pendiam yang lain membuka percakapan
–
Diam-diam
Diam-diam ia pendiam
Angin: yang keluar dari
mulutnya ketika bicara
“Hah, mana isinya?”
Diam-diam ia pendiam
Hurufnya ditelan sendiri
“Yang keluar dari mulutnya adalah angin
semriwing coba tebak dari apa asalnya?”
Puisi ini angin,
Bzzz, melewati mata
Muter di kepala
Perosotan di usus
Keluar dengan suara meletus
“Drud …”
Iya, tenang, kau hanya kentut
–
Mandiri dalam Diam
Kepada pendiam yang diam-diam tidak ingin diam—kenapa hanya diam pedahal isi kepala tidak bisa didiamkan?
Kepada yang sudah mencoba menjadi pendiam—pedahal mulut tidak mau diam dan ternyata kepala diam-diam mencari cara agar tidak diam—sampai mulut juga tidak mau diam
Kepada diam, kenapa hanya diam?
Toh kalaupun bicara, belum tentu didengar
Mari kita mandiri, bicara sendiri, dengarkan sendiri
–
Mana Bisa
Mana bisa aku diam
Kalau angin saja ingin bicara
Lewat kentut yang meletus
Lewat uap yang menderu
Lewat air mendidih yang blubuk-blubuk
Lewat kipas yang berputar
Lewat gluduk yang membelah langit
Lewat baju-baju bertabrakan di jemuran
Mana bisa aku diam
Kalau mau lewatin depanmu
saja aku harus berdoa terlebih dahulu
Biar ndak deg-degan, uwu
–
Di dalam Diam
Di dalam diam, ada:
Doa Ibu yang tiada ujungnya
Keringat Ibu yang dikeringkan
sebelum keluar
Utang Ibu yang dicicil sendiri
setiap bulan
Masakan Ibu yang terlewat
di jam makan siang
Marah Ibu yang ditelan
sebelum dilontarkan
Kecewa Ibu yang dihanyutkan
sebelum timbul di permukaan
Dan
Seribu kekhawatiran Ibu yang disaring menjadi: “Kamu akan baik-baik saja nak, Gusti Allah mahapenyayang nak.”
Di dalam diam juga ada: “Semoga semua Ibu di dunia sehat selalu dan tidak kena encok melulu.”
*****
Editor: Moch Aldy MA