Perayaan Menuju Masa Depan

Nara Lahmusi

5 min read

Robot termometer di dinding kamarku mengatakan temperatur pagi ini mencapai 50 derajat Celcius. Sungguh gila. Pantas saja, korban kanker kulit di distrik-distrik miskin sudah terlalu banyak diberitakan. Aku curiga, Mr. P sengaja tidak memberikan baju pelindung merata. Kepadatan penduduk membuat pagi menjadi berita duka.

Di pusat kota X, hampir sudah tidak ada manusia yang berani keluar rumah tanpa baju tertutup dan helm pengaman. Itu pun kalau kami terpaksa keluar. Ya, karena selain bantuan robot, semua masalah di kota ini hampir bisa diselesaikan lewat satu sentuhan monitor. Membeli sesuatu, menjual barang, sekolah, rapat, bahkan urusan seks-maksudku, teman-teman chatting-ku pernah bercerita setiap malam mereka bisa bercinta dengan perempuan berbeda. Cukup memesan wajah, bentuk tubuh, warna kulit, apapun yang menggairahkan, voila, beberapa menit kemudian perempuan pesanannya akan datang ke alamat rumahnya. Konyolnya, demi menekan jumlah angka fertilitas, perusahaan InterseX milik Mr.P ini ditetapkan sebagai salah satu badan milik negara. Tugas mereka menyediakan robot-robot kloningan manusia untuk dipesan, diprogram khusus lihai memberi kenikmatan.

Wakeup, Gema!” teriak Renda, robot yang kubeli dua tahun lalu sebagai pembantu rumahku. Kesal juga hidup dengan keteraturan kendali robot. Tapi Renda punya sensor untuk berisik jika temperatur di luar sana mulai naik, dan aku masih saja tetap berada di ranjang. Well, karena aku belum mau tuli karena suara cemprengnya, aku pun beranjak dari ranjang ionikku, dan melepas bantal serupa helm dengan aliran oksigen di dalam.

Renda menyalakan layar komputer otomatis. Saluran berita pagi dia pilihkan untukku. Suara Mr. President—Mr.P terdengar tegas dan misterius karena selalu menyembunyikan wajah aslinya dan memilih berpenampilan robot. Berita yang sama terdengar berkali-kali. Mungkin berita penting. Di layar terpampang pengumuman mendesak; PERAYAAN MENUJU MASA DEPAN! Judul besar itu tersemat di atas gambar surga.

Sial, aku salah tebak. Itu bukan surga, tapi gambar itu bernama ‘Desa’. Surga buatan itu terlihat hijau, sejuk, dan diasingkan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk. Tentu saja, dengan seleksi yang sangat ketat. Sejak pagi ini nonstop pamflet-pamflet dan suara Mr. P akan beredar di setiap media online kota X. Bagiku ini adalah sebuah lowongan masuk surga. Dan hanya manusia bodoh yang menolak untuk ikut.

* * *

Enam bulan kemudian di sebuah surga bernama “Desa”.

Pintu rumah dari kayu ini diketuk. Aku membukanya malas. Dia lagi, pikirku setelah pintu terbuka. Di depanku sudah berdiri seorang laki-laki dengan tangan menggenggam sebuah sertifikat. Dia menunjukkan kertas bercap itu. Aku memeriksanya dengan saksama sebagai prosedur. Namanya Ralp, laki-laki bersertifikat yang sudah hampir tiga kali datang.

“Ada minum?” tanyanya percaya diri, sambil duduk di kursi layaknya seorang tamu.

Aku diam, tapi tetap kuambil wine. Aku ikut duduk dan menyodorkan separuh gelas yang telah kuisi. Dia meminumnya hanya sekali teguk, dan aku masih diam mengamatinya. Dia tahu aku sedang mengawasinya. Tanpa menghasilkan suara, dia menggeser tubuhnya mendekatiku.

“Kau habis menangis?”

“Aku ingin pulang,” jawabku tegas.

“Kau tahu kan kenapa ada di sini? Bukankah kau sudah sepakat sebelumnya?”

“Aku hanya tahu di sini akan merayakan masa depan; udara segar, pohon-pohon menjulang, air bersih, coba manusia mana yang tidak mau itu? Kalau aku tahu ternyata aku harus melayani laki-laki tiap hari begini, aku tidak akan sudi.”

“Bukankah semua telah sesuai prosedur?”

“Persetan dengan semua prosedur itu! Sudah kulewati serangkaian tes sebelum masuk. Tes kecerdasan, volume otak, fisik, dan kesehatan, demi berebut untuk bisa hidup di Desa. Tak tahunya, di sini aku hanya dibutuhkan untuk beranak. Rahim sialan ini harus terisi oleh laki-laki seperti kalian. Lantas buat apa semua tes itu? Omong kosong!”

Aku marah. Lebih-lebih karena sampai sekarang rahim ini belum juga berpenghuni. Itu artinya aku masih lama tersiksa di sini. Hamil adalah cara pergi dari Desa ini ke kamp perawatan.

“Kau benar mau pulang?” tanya Ralp sambil menatapku tajam.

“Pertanyaannya sekarang, apa mungkin?”

“Memang sangat sulit melewati pemeriksaan depan gerbang, semua dijaga ketat. Karena ini adalah misi rahasia.”

“Misi rahasia?”

“Mr. P ingin mengadopsi konsep egenika.”

“Egenika?” Aku mengulang kata itu.

Ralp mengangguk. “Egenika berarti ‘perbaikan’ ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat. Menurut teori itu, ras manusia bisa diperbaiki dengan meniru cara bagaimana hewan berkualitas baik yang dihasilkan melalui perkawinan hewan yang sehat. Sedangkan hewan cacat dan berpenyakit dimusnahkan.”

“Kita manusia, bukan hewan!” teriakku marah.

“Asal kau tahu, orang-orang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan di kota X, dikumpulkan dalam pusat sterilisasi khusus karena dianggap parasit yang mengancam, maka atas perintah rahasia Mr. P, dalam waktu singkat mereka semua dibabat habis.”

Aku menutup bibirku dengan lima jari, menyadari betapa kejamnya Mr. P.

“Lalu, bagaimana dengan program perempuan terpilih Desa ini?”

Ralp menatapku kembali. “Mr. P ingin mengumpulkan semua gadis ber-gen unggul untuk menghasilkan keturunan yang unggul. Semua gadis akan diuji kecerdasan dan fisiknya.”

“Jadi itu alasan ada serangkaian tes sebelum masuk ke sini?”

“Dan semua laki-laki yang berhak masuk ke sini adalah yang telah tersertifikasi. Harus lulus serangkaian tes yang sulit.”

“Sudah kuduga. Desa ini didirikan sebagai ladang-ladang khusus reproduksi.”

“Sedang bayi-bayi yang lahir kemudian disiapkan menjadi prajurit masa depan,” lanjutnya mantap.

“Bagaimana nasib orang-orang yang tak terpilih?” tanyaku serius.

Ralp tak menjawab sepatah kata pun.

“Jangan membuat aku berpikir macam-macam,” ancamku melihatnya bergeming seperti ini.

Dia mengembuskan napas keras. “Semua telah dimusnahkan diam-diam.”

Rasanya, aku ingin tidak percaya dengan apa yang kudengar. Namun, semua ini logis. Informasi ini harus tersebar. Ya, sebelum seleksi perekrutan perawan terpilih dimulai lagi. “Keluarkan aku dari sini, Ralp. Tolong. Keluarkan aku….” mohonku kepadanya.

Ralp menatapku janggal, tapi akhirnya dia mengangguk.

Tidak sulit untuk melewati penjaga rumah, Ralp menyuntikkan sesuatu di lehernya dengan lihai sehingga penjaga terkapar. Namun, mobil kami masih harus melewati pemeriksaan gerbang Desa. Di belakang mobil Ralp, aku diam. Ingin rasanya tak bernapas, tapi sia-sia. Aku menunduk dengan penuh ketakutan. Pintu belakang dibuka, napasku memburu, keringat membanjiri semua tubuhku. Cahaya senter bergerak seperti kunang-kunang raksasa yang terbang. Dia menutup kembali pintu mobil dengan sangat keras hingga suaranya memekakan telingaku. Sayup-sayup kudengar suara Ralp.

“Apa!?” tanyanya kaget.

“Silakan pilih, Tuan!” terdengar suara penjaga gerbang Desa.

Hening dan sepi. Tak ada suara apa-apa kecuali jangkrik yang berdendang. Sepertinya Ralp berpikir sangat keras, aku pun tak mengerti apa maksud percakapan mereka. Tiba-tiba kudengar teriakan keras dari Ralp.

“Lariii!”

Aku keluar dari mobil, mengikuti imbauan Ralp. Aku berlari sekencang yang aku bisa. Berlari, dan berlari. Walau tanpa alas kaki, walau dengan baju setengah terbuka, aku terus berlari menjauhi gerbang Desa. Aku memejamkan mata dan berusaha berlari sekuat tenaga sejauh yang kubisa. Kudengar suara tembakan memecah sunyi, hingga dendang jangkrik terdengar berhenti. Kurasakan sesuatu panas menembus punggungku. Sakit. Ngilu terasa sampai ulu hati. Kudengar sayup-sayup suara tembakan lagi, dan sekali lagi punggungku terasa tertusuk peluru panas dari belakang. Aku tak mampu lagi berlari. Jantungku terasa bergerak melambat. Aku tak kuat dan tersungkur. Kabur dan aku memilih memejamkan mata. Hanya suara langkah kaki mendekat yang sanggup kudengar. Itu pasti Ralp, dia pasti akan menolongku. Susah payah, kubuka mataku perlahan. Benar, kulihat sesosok laki-laki tinggi tegap. Dia menunduk, pasti Ralp ingin memastikan, apakah aku baik-baik saja? Namun, sayup-sayup kudengar penjaga gerbang itu berbicara, “Kau telah berhasil menembaknya, Tuan. Lebih baik Perempuan ini yang mati daripada Tuan yang harus mati karena pasal A*.”

Kulihat senyum licik Ralp. “Asal kalian tahu, nyawaku lebih berharga daripada pelacur ini!” Kata-kata terakhir Ralp begitu jelas kudengar, tanpa isak, tanpa simpati, dengan pistol di tangannya.

* * *

Aku berada di sebuah ruangan yang tak kukenal baik. Tapi aku yakin ini bukan Desa. Ruangan ini terlalu canggih. Bahkan aku sudah memakai bantal oksigen dan ranjang ionik. Di mana aku? Mataku beredar ke sekitar. Bukan, ini bukan rumahku. Bukankah Ralp telah menembakku? Kenapa aku masih hidup? Kenapa ada kabel menempel di rahimku?

Bantal tiba-tiba terbuka, dan aku berjingkat duduk.

“Selamat, rahimmu telah terisi.” Suara lelaki yang memunggungiku terdengar tak asing. Dia masih sibuk melihat sebuah gambar embrio tumbuh dari layar monitornya.

“Ralp? Bagaimana bisa? Berapa lama aku di sini?”

Ralp berbalik. Dia menatapku lembut. “Peluruku hanya anastesi, Gema. Setelah petugas bodoh itu yakin kau mati, aku mengambil tubuhmu dan kusembunyikan di sini. Rumahku.”

“Lalu, bayi ini?”

“Dia calon penerusku.”

“Maksudmu?” Aku menatapnya curiga.

“Aku penguasa kota ini, Gema.”

Mataku membundar menyadari senyum itu. Inikah wujud asli Mr. P. Pantas saja, dia tahu semua program Desa, ternyata dia sendiri yang merancanakan ini.

Lalu, kulempar pandang ke luar, dinding-dinding rumah kaca tembus pandang. Tak ada kudapati lagi sebuah kota. Manusia. Mungkin hanya ada aku, dia, dan penghuni rahimku di sini.

“Sebentar lagi, kita akan membangun Desa di sini, Gema. Kota X akan menjadi surga untuk kita dan anak-anak kita.”

Aku diam. Terasa diperas dalam-dalam. Bahkan, aku tak tahu harus tersenyum atau menangis. Haruskah kubunuh bayi Mr. P?

End

 

* Pasal A; bagi Laki-laki bersertifikasi yang mencoba mengeluarkan gadis-gadis terpilih dari perkampungan, akan mendapatkan hukuman MATI.

 

Nara Lahmusi

One Reply to “Perayaan Menuju Masa Depan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email