Jawabannya dirasa cukup. Cukup mengisruhkan hati, tersentak gulana. Mata pun sudah begitu sembab. Lelah urat leher menengok ke arah jendela. Menyembunyikan wajah tak tentu raut, menekan dalam-dalam air mata yang ingin meluap.
“Adat yang terlalu berlebihan.” Ia bergumam dalam geming. Seolah aturan adat ini membawahi aturan agama.
Agama cukup bertoleransi akan kesalahan masa lalu. Ya, asal kita bertobat lalu diri diperbaiki. Isi kepala itu ingin dijelmakan kata-kata, namun diam masih menjadi pilihan. Bukanlah waktu yang tepat, rasanya.
“Itu adat yang elok, bukan?” seru Ahsan meliriknya sejenak. Mata teduh itu lalu menatap kembali jalanan. Tangannya tidak berpindah dari setir mobil.
“Dulu, istri dibunuh karena kedapatan tidak lagi perawan,” seru Ahsan lagi.
Sungguh kalimat yang meremukkan jiwanya. Memulangkan batinnya pada tempat yang dulu. Tempat Ia kalut bersama dosa. Disusul cinta kasihnya yang harus digugurkan karenanya.
“Adatmu tidak menghargai HAM.” Protesnya keluar juga.
“Bukan. Adatku menjunjung kehormatan perempuan,” bela Ahsan
Hatinya dirasuki kedongkolan. Lidahnya mendiam kelu, tidak lagi mampu mengutarakan kekacauan otaknya.
“Kita punya tanah berbeda, adat negeri berbeda, tapi kita bersepakat bahwasanya adat itu sakral. Adat turunan agama. Menjaga lalu memuliakan manusia,” tegas Ahsan.
Perdebatan kecil tanpa tahu ada hati pilu yang menangisi dosa. Ahsan tidak tahu itu. Dua bulan terakhir mereka saling mengutarakan cinta lewat isyarat-isyarat tanpa kata aku menyukaimu.
Keluarga sudah mengenal perempuan ayu nan berwatak tegas itu. Ia Lani, perempuan cerdas dari kota metropolitan. Bukan tanpa alasan ia berada di kota adat bersendikan sara, sara bersendikan kitabullah. Ia telah dibuai adat yang rupawan, tradisi yang memesona. Kemudian luka hati dari kota gurindam memudahkan langkahnya. Daripada ke Riau, lebih baik ke Gorontalo.
“Bagiku adat adalah cerminan agama. Adat adalah sakral.” Kata-katanya waktu itu yang kembali diingatkan Ahsan. Kata-kata yang keluar spontan saat Ahsan berseru adati lo hulondalo to tadiya. Adat Gorontalo sudah disumpah. Pantang bagi orang Gorontalo menanggalkan sekecil apa pun benda adat yang mesti disiapkan dalam upacara adat, atau sesederhana apa pun prosesi yang harus dilalui dalam melaksanakan adat.
“Kelak akan menjadi bumerang bagi diri dan keluarga. Lebih baik tidak daripada setengah-setengah,” jelas Ahsan.
Lani adalah perempuan zaman modern yang sangat menyegani adat. Ia meletakkan adat sebagai aturan hidup yang tak bisa diganggu, tak boleh disisih, persis seperti aturan agama.
“Tapi manusia bisa salah, melakukan dosa.” Kalimat berharap iba dari Ahsan.
“Dosa layak mendapatkan hukuman di dunia, biar kelak ringan hukuman kita di akhirat.” Lagi-lagi tanggapan tegas. Ucapan yang menyimpulkan sikapnya. Perkara ini tidaklah bisa ditawar-tawar. Mutlak baginya. Perempuan haruslah seperti yang diinginkan adat.
Dua manusia walau sudah memadu kasih, belum tentu diterima sebagai yang halal. Ada pemenuhan adat yang tidak bisa ditanggalkan sebagai syarat bagi yang nanti mengenakan bili’u[1]. Bili’u tidak berakhir pada filosofinya, tapi benar pada perlakuannya.
Banyak orang Gorontalo yang sudah kian lunak dengan adat yang satu ini, tapi tidak dengan keluarga Ahsan.
Lani bersembunyi sejak malam itu. Malam ketika matanya ingin menyatu dengan hujan. Malam ketika tubuhnya ingin menari di bawahnya, meski itu tarian nelangsa.
“Aku mau kencing.” Ia membuka pintu mobil lalu berlalu lekas. Pelupuk mata tidak boleh menoleh ke sebelah. Beruntung pikiran yang ditinggalkan tidak menerka sesuatu yang salah. Walaupun belakangan tanda tanya satu persatu menguap ke permukaan.
Lani mengusap pipinya yang basah. Merah merona polesan blush on hilang serta. Wajah pucat nan redup telah kembali. Ia mengutuk dirinya sendiri, juga adat yang menghempaskan sesuatu yang suci dari bilik hatinya. Aib seperti itu seakan tidak punya tempat di dunia kebaikan. Tidak diterima. Ia divonis buruk ketika yang baik dilakukan. Ia tetaplah buruk bagi manusia kendati matanya tertutup dari dosanya. Lebih parah, ia tidak berhak atas kesucian rasa manusia yang dititipkan Tuhan.
Kota Gurindam ada lagi, menghadirkan keputusasaan hingga nanti tubuh dihimpit tanah. Ah, kain putih pembungkus tubuh itu tidak se-ngeri kain putih perawan. Manusia dihakimi jalang sebelum sempat berkisah kepiluan kelam, juga tanpa memandang perjuangan sepanjang jalan penyesalan. Lembar bersih itu menjadi buktinya. Bukti yang kelak dipertontonkan pada sanak kerabat bahwa sundi[2] layak ada di kepalanya, bide[3] layak menutupi paha dan tungkai bawaahnya. Sedangkan madu yang bersisian nampan yang terlipat kain di atasnya itu hanyalah pemanis. Mereka mengantarkannya dengan wajah sumringah pada pengantin. Mengetuk pintu lalu menggoda dua insan yang telah halal.
“Jangan lupa madunya diminum.” Kata-kata yang bukan inti dari seserahan nampan di tangan mereka. Lagi-lagi bukan madunya, tapi kain itu. Lani tidak bisa membayangkan air mukanya nanti. Kelak, pasti tak sama dengan dua mempelai yang ia lihat malam itu. Mereka malu-malu, tidak khawatir akan sesuatu di atas nampan. Sesuatu yang bagi Lani adalah bencana.
***
Ahsan mencari cintanya yang hilang setelah mencuri keping hati yang dipatahkan lima bulan lalu. Susah payah ia sambung hingga nyaris utuh. Kemudian perempuan metropolitan itu mematahkan lagi. Dosa apa yang membawanya pada cinta yang selalu berakhir tidak jelas?
Lalu kehadirannya tak lagi seperti biasa. Hambar. Sikapnya aneh, seaneh pertanyaan-pertanyaan yang terdengar telinga Ahsan saat mereka bersama ahli adat. Kemarin, ketika bersama hulango[4] Hano, ia hanya membicarakan tentang pengalaman malam pertama hulango itu. Ia meminta hulango Hano bercerita kisah-kisah malam pertama ketika adat belum ada pembatasan apa-apa, masih terjaga kemurniannya. Ia menyimak khusyuk sembari jemari mengabadikan dalam coretan-coretan di atas kertas.
“Untuk apa pisau disimpan di bawah bantal?” pertanyaan Lani jelas terdengar.
Hulango Hano melempar senyum malu padanya. Lalu seperti biasa, Ahsan harus duduk di samping mereka berdua untuk menjelaskan maksud hulango Hana.
“Itu adalah amanah orangtua mempelai laki-laki. Itu bukan ancaman melainkan syarat adat yang sempurna,” jelas Ahsan lembut.
Lani sudah paham. Pertanyaan-pertanyaannya bukanlah untuk memberi sanggahan. Dirinya hanya meyakinkan jika mata dan telinganya tidak salah. Adat adalah adat. Aturan tetaplah aturan. Sedangkan cintanya tidak mampu menembus aturan, karena sepihak saja tidak cukup. Berjalan sendiri tidaklah kuat, karena langkah pastilah rapuh. Pergi bukanlah meninggalkan yang buruk, namun karena sesuatu terlalu baik dipertahankan dalam genggaman. Melepaskan tidak selamanya membiarkan. Nanti, ia akan berteduh di tempat paling teduh bagi hatinya. Ia hanya butuh waktu untuk menemukan tempat yang pas.
Ia lalu meronta dalam diam. Takdir. Entah hukuman atau ujian, semua adalah takdir baginya. Biar saja takdir mengaturnya. Pasrah, meskipun kata seandainya menjadi penyesalan. Seandainya… seandainya… seandainya, perawan kedua itu ada.
[1] Pakaian adat Gorontalo untuk mempelai perempuan
[2] Hiasan kepala mempelai perempuan
[3] Sarung atauu rok mempelai perempuan pada pakaian adat Gorontalo
[4] Bidan kampung yang memahami adat
Bagaimana jika wanita tdk perawan oleh si pasangannya dan ingin menikah? Aturan adat apa yg berlaku???