Akhirnya kau sampai di neraka. Alas kakimu panas menginjak tanah yang mengelupas, berongga-rongga selebar telunjukmu sendiri. Di ujung jalan bergerunjal di bawah pohon jati gundul, orang-orang tanpa baju berbaris rapi. Para perempuan hanya memakai kutang dan jarik, laki-lakinya nyaman telanjang dada dengan celana kumal tanggung yang menutup pangkal paha.
Mereka setara; sama-sama kehausan, sama-sama memeluk drum bekas, sama-sama membebat kakinya dengan karung goni, dan sama-sama berbau kecut. Mereka berbaris di depan gubuk reyot menunggu giliran menimba.
Kemarau kelewat panjang adalah cobaan. Warga hanya bisa mengharapkan air dari langit. Namun, setahun ini langit tak lagi ramah dan tampaknya marah. Hitam mendung yang dirindu bukan karena keberkahan, melainkan pencemaran. Terik membakar kulit dan menyisakan sengatan teramat sakit. Itulah kenapa Desa Sumber Gede disebut desa neraka.
Kau dan rombongan mempercepat langkah, menyusuri rumah-rumah dari kayu beralas tanah. Kau yakin, Emak dan Bapak pasti sudah menunggu. Kalau bukan karena Emak sakit-sakitan dan perlu ada yang merawat, kau tidak akan sudi pulang.
Beruntung kau tak sendiri. Ada kelompok pecinta alam yang bersedia mengantarmu pulang. Mereka juga sangat penasaran dengan desa pelosok tempatmu dilahirkan. Ya, ini sudah kau rencanakan jauh-jauh hari. Namun, ketika kau melewati barisan budak sumur itu, mata-mata menghakimi tertuju kepadamu. Usahamu untuk beramah-tamah juga tidak membuat situasi lebih baik. Sebaliknya, mereka semakin tambah aneh.
Orang-orang itu kini tidak hanya memandangmu, tapi perlahan-lahan berjalan ke arahmu. Bersama-sama. Kompak. Seperti ada energi dari dirimu yang menarik mereka untuk mendekat. Dekat. Makin dekat.
Mereka sekarang berjarak satu lengan denganmu. Kau ingin menghindar, tapi langkah mereka semakin buru-buru mendekat. Dan sebelum hal ganjil ini semakin mengerikan, kau mengomando teman-temanmu untuk segera berlari. Tapi sial, lebih dulu mereka dihadang warga. Ya, barisan para pencari sumber air berbondong-bondong melingkari kau dan kawan-kawanmu itu. Mengunci kalian di tengah-tengah, mengeluarkan tatapan yang tetap sama, keji. Kalian pun bergeming tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Pira umurmu sak iki, Roro?”
Suara bergetar itu akhirnya kau dengar lagi setelah bertahun-tahun kau pergi dari neraka ini. Itu suara Mbah Bongkrek. Dia berjalan mendekatimu, membelah kerumunan seperti tongkat Musa menyibak lautan. Semua warga menunduk tanda hormat. Tentu saja kecuali dirimu.
“Selikur tahun.” Suara Mbah Bongkrek menjawab pertanyaannya sendiri.
Mendengar kalimat itu, sorak-sorak warga terdengar hingar. Senyum mereka lebar. Mata keji tadi sekarang terisi harapan.
“Puji Ki Cakrasenggama! Puji Ki Cakrasenggama!” teriak mengerikan Mbah Bongkrek sambil membuka kedua tangannya ke atas. Satu matanya yang rabun menatap langit. Kemudian menumpahkan tubuhnya ke tanah. Diikuti semua warga. Mereka bersorak, menangis, bersuka cita, dan saling berpelukan satu sama lainnya.
“Segera persiapkan ritual!” pungkas Mbah Bongkrek dengan senyum miring.
“Ritual?”
Suaramu tertahan karena tiba-tiba tangan semua warga seperti kesurupan. Menjulur saling berebut untuk menyentuhmu dan kawan-kawanmu. Wajah-wajah kelaparan mendekat tanpa acuan. Mereka meraihmu. Mencengkeram semua yang ada di tubuhmu. Kau berteriak. Tapi mereka semakin buas. Menari. Menyanyi. Lirik-lirik lagu Jawa yang membawa ingatan masa lalumu kembali.
Mereka bersuka cita. Merayakan kepulanganmu. Kau berusaha melepaskan diri, tapi tiba-tiba Bapak datang menghadang. Kau ingin meminta pertolongan kepadanya, kau ingin memohon perlindungan dari tubuh kekarnya. Namun, harapanmu itu sia-sia.
“Manut saja, atau kanca-kancamu mati?” tanya Bapak sebelum memukul berat kepalamu.
Kau lihat dia tersenyum miring seperti senyum Mbah Bongkrek. Emakmu pun mendekat, menarik hijabmu kasar hingga rambutmu yang panjang terurai. Kau menangis, tapi mereka tersenyum. Tanpa suara, mereka berdua pun berhasil menggandengmu pulang ke rumah.
* * *
Desamu kemarau. Tak ada satu aral sungai pun yang melaluinya. Nama Sumber Gede yang juga sebuah doa dari leluhur—Ki Cakrasenggama, seperti tak ada pengaruh apa-apa. Nyatanya, tiap musim kemarau panjang semua lahan kerontang terbakar habis oleh panas yang merongrong buas. Tak ada panen berarti tak ada makan, pun tak ada uang. Mereka harus bersiap lapar di batas musim.
Kau menyisir rumahmu yang terbuat dari dabak, anyaman bambu. Sudah bertahun-tahun lalu, dan rumah ini tampak menua. Genting semakin hitam karena lumut-lumut mengering dan hampir gosong. Sepertinya sejak kau pergi, atap rumah ini belum pernah diganti. Kau sentuh melingkar pilar kokoh batang bambu kuning yang licin. Terlalu sering disentuh, membuat permukaan kulit bambu terasa lebih halus. Ada empat pilar bambu yang menegakkan belandar.
Pintu rengsek dari kayu dibuka kasar oleh Bapak. Kau masuk. Sinar yang menerobos dari celah-celah dinding bambu langsung menyerbu seperti kunang-kunang.
Kau didudukkan Emak di lincak kayu tempat kalian biasa melakukan semua hal; makan, mengiris sayur, menghitung uang, ngaji, di situ pula dulu tak jarang kau lihat Emak dan Bapak bersebadan. Emak ikut duduk di sebelahmu. Sedang Bapak tetap berdiri membelakangimu.
“Ki Cakrasenggama itu sudah memilihmu. Emak dan Bapak bangga, Nduk. Kamu penyelamat Desa ini,” kata Emak sambil menyugar rambutmu.
“Jadi berita kalau Emak sakit itu bohong?” pertanyaan bodohmu yang sebenarnya tak perlu. Tapi, kau marah dijebak seperti ini. “Bukannya aku sudah bilang, jangan percaya sama Mbah Bongkrek. Mana kampung kita yang dulu, Pak? Suar langgar terdengar lantang. Salawat tiap malam—”
“Wis! Menengo!” bentak Bapak dengan mata seperti ingin mencelat. “Aja koe pikir merga wis isa sekolah duwur, lunga nang kota, nutup rambutmu karo kain, koe isa ngelawan Bapak? Melawan Ki Cakrasenggama?”
“Aku nggak takut sama Ki Cakrasenggama.”
“Kepengin sial koe?!” bentak Bapak dengan tangan yang siaga memukul. Untung Emak mencoba menengahi.
“Nduk, ini demi Desa. Upacara minta hujan harus dilaksanakan. Cuma kamu Nduk, perawan selikur tahun dari desa ini. Kami sudah lama nunggu kedatanganmu,” kata Emak tersenyum. Gurat-gurat keriput di wajahnya memancarkan sebuah permohonan. Matanya basah.
“Lagian koe ya ora isa nolak. Pengin konco-koncomu kui dadi tumbal sumur Mbah Bongkrek tha?”
“Pak!” teriakmu marah. “Nabi sudah ngasih tahu cara meminta hujan. Dengan salat. Berdoa.”
“Asu!” potong Bapak menarik kerah bajumu, mendekatkan wajahnya ke wajahmu. “Koe ngerti apa?” mata Bapak melotot tepat ke matamu. “Berpuluh-puluh tahun kami sudah ikuti ajaran nabimu. Mendirikan langgar sesuai ajaran Kyai pendatang itu. Setiap jam, hari, bulan, bahkan tahun kami berdoa siang malam di sana. Nyatane, udan ya ora tahu tiba. Tanah isih kekeringan. Wabah kelaparan nang ngendhi-ngendhi. Ke mana perginya doa-doa kami itu dulu?” napas Bapak tersengal-sengal. Dia lalu melemparkanmu ke tanah. Dengan amarah dia mendekatkan bibirnya ke telingamu, membungkuk dan berbisik. “Mbah Bongkrek sing ngaweh harapan nyata. Dia yang lebih patut disebut nabi! Ora kyaimu sing wis mati.”
“Kyai Ibnu udah nggak ada, Pak?”
“Atas perintah Mbah Bongkrek, dia harus berkorban. Toh, setelah dia dikubur di dekat sumur, hujan jadi turun.”
Astagfirullah….
Kau menangis sejadi-jadinya mengingat bahwa Kyai Ibnu yang menyelamatkanmu dulu. Sekarang kau baru tahu, inilah alasan Kyai Ibnu memintamu agar kau pergi dari sini. Demi terbebas dari ritual Mbah Bongkrek, Kyai Ibnu mengurus semua kepergianmu ke kota secara diam-diam.
“Emak juga tahu ini?” tanyamu pelan sambil menatap lekat mata kendur Emak.
“Aku nyesel manut Kyai edanmu iku nggawa koe nang kota, nak hasile jebule kayak ngene,” jawab Emak menghindari tatapanmu.
* * *
Mbah Bongkrek datang ke rumah, matanya yang kecil dan satu irisnya yang putih mengamatimu dalam-dalam. Dengan kepayahan, dia melangkah ke belakang rumah tempat gentong tanah liat berada.
Kau lihat dia menjampi-jampi air gentong yang sudah semerbak wangi bunga. Entah mantra apa yang diucapkannya. Setelah bibirnya selesai berkomat-kamit, dia melirikmu lagi. Kemudian menatap Emak dan Bapak yang berdiri sigap mengapitmu. Kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Nggak!” teriakmu yang langsung membuat tangan kukuh Bapak menguncimu. Kau tak bisa bergerak. Seluruh tenaga kau kerahkan, tapi sia-sia. “Nggak sudi aku!”
Teriakmu dibalas tamparan Emak. Tanganmu masih dikunci Bapak. Sedang tangan Emak mulai meraba-raba bajumu dan melepasnya perlahan.
Kau menangis.
Kau seperti manusia pertama yang dilahirkan di bumi tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhmu. Kau tertunduk malu. Dengan kasar kau didorong Bapak ke mulut pintu kamar mandi. Bau kemenyan Mbah Bongkrek semerbak mengisi seluruh ruangan yang hanya terbuat dari dabak bambu. Air matamu menetes, menyaksikan mata-mata warga muncul dari celah-celah dabak.
Kau merasa seperti hewan kurban yang akan disembelih, ditonton seluruh warga dengan tanpa penutup apa-apa. Kau lemas. Rasanya seperti diperas keras-keras. Tetes-tetes air bunga pun seperti keluar dari tubuh bugilmu, lalu terjun ke comberan berbaur dengan pesing kencing anjing. Mantra-mantra diucapkan. Tapi, mulutmu tetap merajah diri dengan salawat nabi.
Setelah prosesi itu, kau merasa telah mati. Mata-mata iblis yang malu-malu mengintip tubuhmu dari balik anyaman bambu terus menyerbu. Mata yang berahi. Mata yang penuh hasrat atas tubuhmu. Bayangan itu menggerusmu dari dalam. Merobek kehormatan. Kau merasa tak berdaya, terpelintir kuat-kuat dalam balutan sesal dan jijik. Kau telah kehilangan dirimu.
Emak mulai merias wajahmu, memakaikanmu kemben batik yang berbau kemenyan. Dengan dandanan menor sinden, kau dibopong dengan tandu dan diikuti oleh semua warga desa untuk berkeliling. Dari dulu, kau sudah mengutuk ritual minta hujan. Bukankah Nabi telah mengajarkan cara yang benar, dengan berdoa kepada sang Khalik dengan salat? Bukan malah percaya dengan kata-kata Mbah Bongkrek. Namun, fitnah keji dan akal culas Bongkrek telah mewabah. Putus asa di ambang kematian saudara, anak, istri, bahkan dirinya sendiri telah mendorongnya memprotes cara kerja Tuhan. Menyalahkan cara-cara nabi dan mengutuk Kyai Ibnu. Seluruh warga telah gelap mata.
Setelah diiring ke seluruh kampung, kau diturunkan dari keranda di depan rumah Mbah Bongkrek. Gubuk reot kayu bambu dengan atap yang masih terbuat dari jerami itu terlihat sangat remang. Aura mistis membiusmu seketika saat menginjak serambi rumah beralaskan tanah retak-retak.
“Ayo, bawa Roro mlebu! Ikat tangannya nang ranjang. Tak resikkane jiwane!” kata Mbah Bongkrek kepada salah satu warga. “Kumpullah kalian ke tanah lapang. Tunggu. Setelah ritual ini selesai, hujan akan membasuh Sumber Gede.”
“Njih, Mbah,” serentak seluruh warga desa yang sudah putus asa menanti hujan tiba menjawab. Lalu mereka berbondong-bondong pergi setelah memaksamu masuk ke gubuk Mbah Bongkrek, mengikatkan tali di kedua tanganmu di pilar ranjang.
Pintu dari bambu apus yang telah kering tersusun tegak berbunyi ringkih saat tangan keriput dengan kesepuluh jarinya berakik menutup kembali. Mbah Bongkrek masuk. Jantungmu berpacu hebat. Salawat kau baca semakin cepat dan rekat. Kau masih mencoba menggerak-gerakkan tanganmu untuk lepas. Tapi, ikatan talinya sangat erat.
Kau menangis di rumah yang gelap dan pengap. Hanya lampu teplok yang sedikit memberikan cahaya remang-remang hingga kau bisa melihat di mana pintu dan jendela untuk jalan kabur. Barangkali, teman-temanmu akan segera menolong? Mungkin, Emak sadar dan menghentikan semua ini?
Namun, pikiran-pikiran itu hanya semakin membuatmu menangis. Karena toh kenyataannya sekarang hanya ada Mbah Bongkrek, mungkin juga beribu jin yang tak bisa kau lihat berjubal di sini.
Mbah Bongkrek menatap tubuhmu yang terlentang di dipan yang usang dan berdebu itu. Di atasnya terpasang kain kelambu yang telah berlubang di ujung-ujungnya. Kau memikirkan apa yang dulu dirasakan gadis-gadis lain sebelum dirimu di rumah ini.
Mbah Bongkrek mendekat.
Napasmu tercekat.
Mata satunya memandangmu lekat.
Kau terus mencoba dengan kuat, berusaha menggerak-gerakkan badan, tapi tua bangka itu malah menelanjangi dirinya sendiri di depan dipan. Tanpa sehelai kain pun, dia mendekatimu dengan tubuh yang bergelambir, peyot, hampir sekarat. Kau menggigil jijik. Rasanya ingin muntah seketika.
Sejengkal kini jarak kalian. Kau menangis, tapi tidak ingin hanya diam dilecehkan. Kau terus bergerak, bergerak, dan bergerak. Namun, ikatan talinya terlalu kencang.
Saat tanpa malu Mbah Bongkrek mencoba menindih pahamu, kau pun menendang keras-keras tubuhnya. Dia kehilangan keseimbangan, dan terjungkal di depan dipan.
Mbah Bongkrek bangkit penuh murka. Menyeringai luber rasa benci. Wajah rusaknya berhasil membuatmu merinding. Dia kembali berjalan mendekat. Tangannya berusaha meraih kainmu. Segumpal penuh ludah dari mulutmu pun meluncur sempurna di wajahnya. Dia mengusap kasar wajahnya. Dia tertawa keras, lalu mengatakan perlawananmu sia-sia.
“Warga Desa ini terlalu goblok buat percaya padamu. Mereka lebih percaya aku, Bongkrek sang pawang.”
“Aku punya Tuhan yang memberiku hujan. Bukan kamu,” balasmu yang terbakar api kesombongan Mbah Bongkrek. Ketakutan yang menjalar di tubuhmu tadi seperti lenyap dan menguap. Imanmu membaja mengendus berahi lelaki uzur ini.
Namun, cahaya kilat datang seperti menjilat-jilat di atas atap. Suara petir pekak menyambar-nyambar. Tawa Mbah Bongkrek keras. Kesombongan Mbah Bongkrek terlukis jelas tak hanya di wajahnya, tapi seluruh tubuh menjijikannya.
Hatimu perih kala terdengar teriakan seluruh warga menyambut tetesan air hujan sambil meneriakkan nama Mbah Bongkrek.
***
Editor: Ghufroni An’ars