Perahu Pertiwi

Joko Setyo Nugroho

4 min read

Prajurit hidung belang di sampingnya sudah mendengkur, ketika Tiwi menepi ke pinggir ranjang, mengambil celana dalam dan kutangnya yang berserak di lantai, duduk dan mengenakannya perlahan.

Jendela yang masih terbuka mengantar pandangannya ke Hutan Kiri. Hutan yang selalu membuat perasaannya tidak keruan. Perasaan yang sulit ditemukan istilahnya. Semacam perasaan gelisah, rindu, cemas, atau entahlah. Sebagai seorang pelacur kampung, ia tak peduli terhadap istilah apa yang tepat untuk perasaannya itu. Yang ia tahu, bila sudah seperti ini, ia perlu menenggak segelas arak, menyalakan rokok, dan mengatur irama detak jantungnya. Ia sudah khatam terhadap perasaan itu. Setelah ayahnya lenyap, terbenam di Hutan Kiri, hampir setiap malam perasaan itu muncul.

Memang, setiap matahari tenggelam, di benaknya, justru ada sesuatu yang terbit. Kenangan yang seperti matahari pagi, pelan-pelan muncul dan membuat ingatannya berpendar kembali. Ingatan yang selalu akan semakin menyala setiap ia melihat Hutan Kiri.

Setiap melihat Hutan Kiri, ia selalu berharap pohon-pohon akan menjaga ayahnya sebagaimana ayahnya telah menjaga hutan selama ini. Baginya, hutan itu tidak hanya penuh dengan belukar semak dan pohon-pohon tua. Tapi juga penuh dengan belukar tragedi dan peristiwa yang ruwet. Namun bagi penduduk kampung, hutan itu hanyalah hutan yang pernah dihuni oleh seseorang yang tangan kanannya buntung, yang kaki kanannya kerdil, yang hanya mempunyai tangan kiri, yang hanya bertopang dengan kaki kiri, yang karena itu, penduduk kampung menyebutnya Hutan Kiri.

***

“Tiwi, bila sampai besok pagi Ayah tidak pulang, kamu pergilah ke kampung. Temui ibumu.”

Ia menyaksikan ayahnya digiring oleh beberapa orang berseragam tentara. Dengan sedikit terseok, ayahnya tampak menjauh dari gubuk. Tentara- tentara itu bergantian memukul kaki kanannya yang kerdil. Menarik tangan kirinya. Beberapa kali membentak. Lalu bentakan-bentakan itu semakin jauh dan perlahan hilang di balik gelap hutan.

***

Prajurit tua di sampingnya masih mendengkur, ketika Tiwi berdiri dengan segelas arak dan sebatang rokok. Melangkah ke arah jendela. Melihat hutan yang terus menerus merengkuh seluruh ingatannya. Hutan itu seperti sihir yang mengalir melalui matanya, menyusup-nyusup ke setiap saraf di otaknya, mengobrak-abrik rak-rak yang menyimpan tragedi ayahnya. Bentakan tentara-tentara itu seperti masih menggema dari balik gelap hutan itu.

Sudah berbatang puntung rokok yang ia buang ke luar jendela. Sudah bergelas arak yang ia kirim ke usus dan otaknya. Namun, kegelapan hutan itu masih memikat, membuat perasaannya yang tak terdefinisikan itu didominasi oleh perasaan rindu. Setiap mengisap rokok, ia selalu berdoa dan berharap ayahnya masih ada di balik kegelapan hutan itu, masih tertidur di sebuah gubuk, di delta, di tengah danau, atau masih memanggang seekor monyet sebagaimana yang selalu ayahnya lakukan dulu. Pandangannya mengarah ke hutan itu, seperti tatapan bayi yang penuh permohonan.

“Hutan Kiri, jagalah setiap ringkih tubuh ayahku sebagaimana ayahku menjaga setiap belukar tubuhmu.”

Sebuah pelukan tiba dari belakang. Tangan prajurit itu berputar sangat pelan di telanjang perutnya. Rambutnya terseka. Satu persatu.

kecupan mendarat di leher. Pelukan itu semakin mesra dan menggairahkan. Namun, ia tidak berbalik. Ia menenggak araknya kembali, mengisap rokoknya kembali, membiarkan tubuhnya terus digerayangi, membiarkan kutang dan celana dalamnya dilepas lagi.

***

Dulu, danau ini begitu sering Tiwi susuri. Namun kini terasa sangat asing. Pernah ia memberi nama setiap pohon di tepi danau ini, di delta ini. Pohon- pohon yang menjadi temannya selama ia tumbuh dewasa.

Sebagai anak satu-satunya yang dilahirkan oleh seorang pelacur kampung, anak yang harus dibawa ayahnya dalam pelarian, anak yang harus hidup di tengah hutan, Tiwi nyaris tidak memiliki teman bermain. Ia hanya hidup bersama ayahnya dalam rimbun Hutan Kiri, meski sesekali pergi ke kampung untuk beberapa keperluan.

Sejumlah tragedi dan peristiwa yang menimpanya membuat alur hidup menjadi lain. Kelenyapan ayahnya telah membawa ia pada kehidupan ibunya di kampung, menjadi seorang pelacur, pergi dari Hutan Kiri, hutan yang justru kini menjadi asing. Bahkan ia telah lupa pada nama-nama pohon di sana, pada lekuk tepi danaunya, pada aroma tanah delta ini.

Hari sudah gelap, perasaan rindu yang teramat kepada ayahnya telah melampaui nyali. Ia masih berputar-putar di delta ini. Mencari pertanda yang menunjukkan ayahnya masih ada di hutan ini. Barangkali ada gubuk yang didirikan di tengah delta, ada bekas-bekas tulang monyet bakar, atau sebuah sampan kecil di tepi danau. Tapi ia tak menemukan apa pun. Ia malah semakin merasa kesasar. Semuanya tampak asing. Hutan semakin gelap. Bahkan ia sudah lupa jalur kembali ke arah sampannya dilabuhkan.

Hutan yang semula sangat karib ini menjadi tidak ia kenali. Hutan Kiri ini menjadi sangat ngeri. Pohon-pohon di sepanjang jalan setapak yang ia lintasi seolah mengeluarkan suara-suara aneh. Suara desahan prajurit tua yang menyewanya, suara bentakan tentara-tentara kepada ayahnya, suara kegelapan. Semuanya saling bergantian menelusup ke telinganya. Semula pelan, lalu mendadak sangat lantang. Suara-suara itu seperti sengaja ditabuhkan angin malam lewat daun-daun.

Delta yang dulu ia kenal sangat kecil, kini menjadi seperti pulau yang bahkan ia merasa telah menempuh perjalanan yang amat jauh, tetapi hanya tempat-tempat asing yang ia temukan. Tempat dengan hawa pekat. Tempat yang udaranya mungkin adalah tarikan sekaligus embusan napas Hutan Kiri. Hutan yang mencoba menunjukkan sisi lainnya. Hutan yang seolah ingin memberitahu bahwa ada yang belum dikenali oleh Tiwi. Ada sesuatu yang amat tersembunyi, amat rahasia, dan amat misterius di sekujurnya.

Serangga-serangga kecil yang sesekali menabrak tubuhnya, terasa seperti belai jari jemari prajurit tua yang menyewanya, layaknya ciuman yang menggairahkan di lehernya. Serangga-serangga itu seperti telah piawai bagaimana merangsang seorang pelacur. Perasaan gentar, ngeri, dan syahwat menjadi satu di tubuh Tiwi.

Serangga-serangga kecil yang seperti membelai itu terasa semakin nyata. Beberapa ekor terasa masuk ke sela-sela susunya. Menggelitik dan menggerayanginya. Sesekali muncul gigitan-gigitan kecil di putingnya. Tiwi berhenti dan berbaring di rerumputan yang basah dan lembut. Serangga- serangga itu semakin menjadi-jadi. Bahkan ada yang sudah masuk ke celana dalamnya. Berputar-putar di selangkangannya. Tiwi mendesah, jantungnya berdegup lebih cepat, tubuhnya tak bisa dikendalikan. Bahkan rumput yang ia tindih seperti kecupan-kecupan pria tampan kepada tengkuknya. Rumput-rumput itu seperti hidup dan amat bergairah. Setiap pucuk rumput itu seolah menjelma jemari. Melepaskan satu persatu kancing bajunya. Menyingkap kutangnya. Mengelus dan meraba setiap jengkal tubuhnya.

”Ayo! Cepat! Cepatlah sedikit!”

Suara bentakan tentara-tentara kepada ayahnya terdengar kembali. Tiwi terbangun dari syahwatnya. Tak ada serangga-serangga kecil yang bergairah. Tak ada rumput yang menggerayangi tubuhnya. Tak ada satu helai pakaian pun yang terlepas.

”Ayo! Cepat! Cepatlah sedikit!”

Suara teriakan itu semakin lantang. Tiwi bangkit dan mencari-cari sumbernya. Ia berputar-putar, menyibak semak belukar. Ia melangkah ke arah suara itu. Menuju gelombang suara yang semakin lantang. Setiap langkah yang ia tapakkan terasa semakin mendekat pada suara itu. Terus dan terus melangkah. Sampai pada akhirnya ia menyibak semak belukar yang amat rimbun, kemudian ia menemukan sebuah pohon yang amat besar dan kokoh. Pohon yang tampak tidak asing. Pohon yang sepertinya sangat ia kenali. Pohon yang pernah ia beri nama.

Pohon itu tampak misterius, tampak hidup, tampak seolah-olah memanggilnya. Setiap kali angin menggoyangkan cabang-cabang dan rantingnya, akan keluar suara-suara aneh. Suara desahan prajurit yang menyewanya, suara bentakan-bentakan tentara yang menyeret ayahnya, suara gelap, suara ayahnya.

“Siapa pun kau! Apakah kau bisa berbicara? Apakah kau pernah melihat seseorang yang pincang, yang hanya mempunyai tangan dan kaki kiri?”

Angin mendadak kencang. Cabang-cabang dan ranting pohon itu bergoyang tak terkendali. Sebuah suara.

“Tiwi, putriku, tebanglah aku. Jadikanlah aku perahu. Lalu bawalah berlayar dan menjauh dari sini, dari Hutan Kiri, dari kenanganmu.”

***

Beberapa lembar uang jatuh di perutnya. Tiwi membuka mata.

“Sudah bangun? Mimpi apa kau, Pertiwi? Terima kasih. Malam ini kau begitu hebat di ranjang.”

Prajurit tua itu keluar dari kamar. Meninggalkan Pertiwi yang belum sadar betul dari tidur yang panjang.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Joko Setyo Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email