Terbongkarnya fakta bahwa penulis skenario film peraih 12 Piala Citra 2021 yang juga film terbaik FFI 2021, Penyalin Cahaya, adalah pelaku kekerasan seksual, membuat kita terperangkap dilema: Bolehkah kita menonton film yang bercerita tentang kekerasan seksual itu? Haruskah kita memboikot film itu? Perlukah kita menuntut Netflix untuk membatalkan rencana menayangkan film tersebut? Haruskah penghargaan pada film dan khususnya penghargaan pada penulis skenario dicabut?
Ketika Guy Sorman membongkar kelakuan pedofil Foucault selama di Tunisia sekitar tahun 1969, saya tidak terlalu ambil pusing. Alasan utamanya adalah, saya belum pernah membaca Foucault. Baik tulisannya atau pemikirannya tidak membekas sama sekali di saya. Namun, bagi teman-teman saya yang pernah menyelami dan terinspirasi pemikiran Foucault, berita itu, tentu saja menjadi dilema.
Tentang Foucault:
Saya tidak menemukan perumpamaan yang tepat untuk dilema itu, tapi mungkin kira-kira begini, misalnya kita mengagumi orangtua kita yang menua berdua dan saling mencintai, lalu suatu waktu, tepat saat kita berpikir akan senang menjadi seperti mereka di hari tua nanti, kita memergoki mereka sedang asyik berselingkuh.
Semoga perumpamaan tadi bisa diterima, karena menurut saya hal seperti itu sering ditampilkan di film, dan lebih sering lagi terjadi di kehidupan nyata, jadi mungkin akan banyak yang merasakan kedekatannya.
Ketika berita Foucault keluar, tentu terjadi patah hati masal di kalangan akademisi. Mereka berada di persimpangan jalan antara “pria ini yang menulis Arkeologi Pengetahuan dengan sumbangsih besar terhadap ilmu pengetahuan” dan “si bangsat ini bercinta dengan bocah-bocah di tengah kuburan dan meneken petisi untuk legalisasi hubungan seks dengan anak usia 13 tahun!”
Bayangkan juga, betapa syoknya para pemuda kulit hitam mendengar idola mereka, Bill Cosby, melakukan kekerasan seksual kepada puluhan wanita. “Itu jumlah yang banyak Bung! Dia memperkosa 54 orang?!” seru Dave Chappelle dalam salah satu materinya di The Age of Spin, “Andai dikurangi 30 korban, itu masih dua lusin loh!”
Dave Chappelle, seorang komedian Amerika, jelas salah satu pemuda kulit hitam yang terinspirasi oleh Bill Cosby. Ia mengungkapkan “dilema” ini dengan ironi berikut: Cosby memperkosa, tapi ia juga menyelamatkan banyak nyawa, tapi ia tetap pemerkosa.
Dilema semacam tadi mungkin selalu membayang-bayangi kepala kita—juga saya. Seberapa dekat seseorang dengan karyanya? Seberapa jauh ia bisa dipisahkan dari karyanya? Seberapa berpengaruh seseorang terhadap karyanya? Atau seberapa banyak karya mempengaruhi pengarangnya? Dan seberapa sanggup kita memisahkan keduanya dan membuat batasan di antara mereka?
Pangarang Telah Mati?
Beberapa malam lalu, saya membicarakan hal ini dengan seorang kawan, tentang bagaimana sebaiknya kita memperlakukan sebuah karya. Toto Sudarto Bachtiar pernah bertanya pada H.B. Jassin dalam puisinya, “Keterangan”. Di mana berakhirnya mata seorang penyair? pertanyaan itu dijawabnya sendiri: Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia. Kuburan yang dimaksud Toto mungkin tepat setelah puisi rampung ditulis, maka penyair sudah mati.
Kasus Sitok Srengenge barangkali bisa memberi ilustrasi yang lebih dekat dan nyata bagi kita. Penyair itu diduga memperkosa mahasiswi Universitas Indonesia (UI) hingga korban hamil dan enggan bertanggung jawab. Kawan saya itu masih punya buku puisi Sitok di rumah, dan ia masih membacanya hingga hari ini. Namun, saya tidak merasa pantas untuk menghakimi kawan saya. Bagaimana pun, saya juga pernah nonton pembacaan puisi Sitok di acara Membaca Indonesia, dan saya menikmatinya. Teganya saya?
Kawan saya mengambil posisi yang jelas, ia ingin memisahkan karya dari pengarangnya. Baginya, kita sedang membaca karya, bukan pengarang, dan andai saja ada buku tergeletak tanpa dicantumkan siapa penulisnya, lalu setelah membacanya kita merasa itu adalah sebuah mahakarya, apakah kita akan mengoreksi penilaian kita jika tahu sang penulis ternyata seorang pembunuh? Kan tidak. Itu alasan yang bisa diterima.
Saya ingin berada di posisi itu, sejujurnya—memisahkan yang saya baca dengan sosok di baliknya. Namun, saya belum sanggup, dan sampai hari ini pendirian saya masih begitu rapuh. Saya menghentikan nonton Hometown Cha Cha Cha di episode 4 setelah mendengar kabar Kapten Hong menghamili anak orang dan tidak bertanggung jawab di kehidupan nyata, dan saya tidak pernah membaca puisi Sitok lagi.
Baca juga Pesohor Predator: Selebritas Korea Selatan dalam Pusaran Kekerasan Seksual
Ukuran Keadilan
Apakah memutuskan untuk berhenti menonton dan membaca karya dari pelaku kekerasan seksual adalah sebuah keputusan yang adil? Tentu setiap orang punya pandangan yang berbeda. Bagi kawan saya, itu tidak cukup adil. Dan saya setuju.
Agar cukup adil, menurut saya (dan ketika saya bilang cukup, itu bukan berarti adil) ada tiga pendekatan dalam membaca sebuah karya dengan pengarang yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Tergantung bagaimana karya tersebut tercipta dan apa motivasinya.
Pertama, jika karya tersebut berisi nilai-nilai yang telah disepakati secara umum, tanpa ada penyimpangan nilai walau setelah pembacaan yang teliti, atau secara sederhana begini: itu berisi hal-hal baik yang sebenarnya juga baik untuk diketahui lebih banyak orang, maka silakan ambil apa yang ia sampaikan. Walau kebenaran itu datang dari setan, bukankah kita tetap menganggapnya kebenaran?
Tentang karya problematik: Karena Kita Bukan Cinderella
Kedua, katakanlah sebuah karya berisi ide-ide baik, tentang keadilan, kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, dan lain-lain, tetapi di saat bersamaan sang pengarang mengingkari dan mengkhianati nilai-nilai yang ia sampaikan sendiri.
Misalnya, seseorang menulis tidak boleh ada relasi kuasa dalam hubungan seksual, tapi ia juga menyuruh muridnya untuk menghisap penisnya di kantor. Pada kondisi seperti itu, saya akan mengambil ide-ide baik pengarang sekaligus mengutuknya sebagai munafik, hipokrit, asu! Dan siapa pun nanti yang mau membaca karya itu, mereka harus diwanti-wanti dan harus tahu tentang kejahatan sang pengarang.
Terakhir, jika sang pengarang menyisipkan agenda terkutuknya dan menyusupkan ideologi setannya ke dalam sebuah karya, atau, dengan kata lain: ia jelas-jelas menunjukkan penyimpangannya dan membuat alasan untuk penyimpangan itu agar semua orang memakluminya, maka hanya ada satu pendekatan: LAWAN!
Jakarta, 2022