Pada abad ke-19, terkenal sebuah anekdot yang menceritakan tentang kaisar India paling terkenal dan berpengaruh pada masanya, yaitu Jalaludin Muhammad Akbar. Suatu ketika Jalaludin Muhammad Akbar bermimpi semua giginya tanggal kecuali satu giginya yang dapat bertahan. Untuk mencari jawaban dari maksud mimpi tersebut, pergilah ia ke beberapa ahli tafsir mimpi. Namun, semua jawaban para ahli tafsir mimpi akan makna dari mimpi Muhammad Akbar tersebut selalu sama: “Semua keluarga Anda akan mati sebelum Anda, Baginda, meninggalkan hanya Baginda seorang diri yang tersisa.” Begitu jawaban para ahli tafsir mimpi yang di temui Muhammad Akbar, tentu hal ini membuatnya marah dan tidak percaya dengan para ahli tafsir mimpi tersebut. Maka dari itu, dipanggilah teman Muhammad Akbar yang bernama Birbal dan terkenal cerdik untuk menafsirkan mimpi tersebut. “Hai Birbal, kamu kan kabarnya orang cerdik, maksud mimpiku itu apa? Apa iya semua keluargaku akan mati?” tanya Muhammad Akbar. “Oh tidak begitu, Baginda. Maksudnya mimpi itu bukan semua keluarga Baginda meninggal dan hanya meninggalkan Baginda seorang diri. Tetapi maksud mimpi itu Baginda akan hidup lebih lama di bandingkan dengan keluarga baginda yang lain.”
Anekdot tersebut memberikan sedikit gambaran tentang apa yang disebut dengan retorika. Retorika merupakan ilmu dan seni dalam berbicara, mengatur komposisi kata, menyampaikan atau mengajak orang lain sehingga mudah dipahami dan diterima pendengar serta memberikan kesan atas apa yang diucapkan. Retorika dalam bahasa Inggris disebut rhetoric, dalam bahasa Latin rethorika, dan dalam bahasa Yunani yakni rethor yang artinya ilmu berbicara, seni bicara atau mahir berbicara. Retorika merupakan bentuk komunikasi di mana seseorang menyampaikan buah pikirannya baik lisan maupun tertulis kepada hadirin yang relatif banyak dengan pelbagai gaya dan cara bertutur, serta selalu dalam situasi tatap muka, baik langsung maupun tidak langsung. Dahulu kemampuan berbicara yang baik hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai status atau fungsi tertentu seperti kepala suku saat upacara adat, pemakaman, kelahiran, dan sebagainya. Penguasaan mantra, kata-kata bijak, dan nasehat untuk diberikan kepada masyarakat menjadi kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan orang lain. Maka dari itu, mulanya retorika tidak dipandang sebagai ilmu, tetapi sebagai kecakapan berpidato.
Kaum Sofis bahkan memandang retorika sebagai alat untuk memenangkan suatu kasus. Untuk memenangkan kasus, mereka menekankan pada pembinaan kecakapan menggunakan ulasan-ulasan atau argumen-argumen dengan pemakaian contoh-contoh dan bukti-bukti yang menguntungkan gagasan yang sedang ditampilkan. Mereka memilih kata, istilah, ungkapan, kalimat yang dapat menarik perhatian pendengar. Pemakaian bahasa mereka amat berbunga-bunga. Dengan konotasi agak negatif, retorika kaum Sofis ini dikenakan pada orang-orang yang pandai bersilat lidah atau berdebat kusir, yakni mereka yang pandai sekali bertutur, tetapi tidak menampilkan hal-hal yang berguna atau berisi dalam tuturnya.
Retorika Menampilan Kebenaran
Aristoteles dengan tegas mengatakan bahwa retorika itu adalah ilmu tersendiri yang kedudukannya sejajar dengan ilmu lain. Sebagai sebuah ilmu, retorika menampilkan kebenaran dengan menata tutur secara efektif dan etis, bukan bombastis dan kosong tanpa isi. Aristoteles menegaskan bahwa retorika tidak boleh dimasukkan ke dalam jenis ilmu lain atau dianggap sebagai bagian dari ilmu lain, justru ilmu lain itulah yang memanfaatkan retorika, terutama ketika ilmu lain itu mendeskripsikan hasil-hasil temuannya. Ajaran retorika Aristoteles tetap dipertahankan sampai masa keruntuhan kerajaan Yunani dan Romawi. Ahli-ahli retorika sampai awal abad ke-20 telah mampu menempatkan ajaran retorika Aristoteles sebagai tradisi studi retorika. Inilah yang akhirnya dikenal sebagai retorika tradisional.
Baca juga:
Retorika dalam kehidupan sehari-hari terbentuk secara spontan atau intuitif, tradisonal atau konvensional, dan terencana. Pemamanfaatan retorika secara spontan atau intuitif ini sering terjadi dalam kehidupan bertutur sehari-hari. Biasanya pembicara tidak banyak mempersiapkan bahan materi yang akan dibicarakan sehingga lebih bersifat spontan. Pemanfaatan retorika secara tradisional yaitu dengan mengikuti konvensi atau kesepakatan yang sudah diberikan oleh generasi sebelumnya. Seperti penghormatan kepada pejabat dengan menggunakan kalimat “yang terhormat”. Retorika terencana adalah penggunaan retorika yang sebelumnya diarahkan secara sadar ke suatu tujuan yang jelas. Pemanfaatan retorika secara terencana terdapat dalam bidang politik, usaha atau ekonomi, bahasa, kesenian, dan pendidikan. Terlepas dari pentingnya retorika sebagai konsep yang diperlukan sebagai sarana membangun komunikasi yang baik di lingkungan sekitar,mereka juga menekankan bahwa retorika amat dibutuhkan bagi para siswa khususnya dalam bekal berkecimpung di dunia pendidikan.
Retorika bagi Siswa
Dalam dunia pendidikan, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, berbicara menjadi kompetensi yang harus dimiliki siswa. Berbicara menjadi kompetensi penting di samping menyimak, membaca, dan menulis. Bila satu saja dari keempat keterampilan itu tidak ada, dapat dipastikan orang tersebut akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Sayangnya, kemampuan berbicara sering terabaikan karena yang ditekankan dan mendapat perhatian lebih adalah kemampuan menulis. Padahal tujuan utama pembelajaran bahasa ialah untuk berkomunikasi, bukan hanya tulisan melainkan juga lisan.
Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus untuk melatih kemampuan berbicara. Diperlukan keseriusan dalam hal ini. Diperlukan strategi dan metode yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Menurut Larry King, orang sukses adalah pembicara yang sukses. Hal ini bisa tercapai jika retorika dapat lebih cepat di perkenalkan bagi siswa di bangku sekolah.